Parameternya, paling tidak semua elemen yang terlibat dalam suksesi pilkada aman, sehat, dan tidak tertular virus corona.Â
Ihwal, siapa pun yang terpilih dalam pilkada kali ini tentu tantangannya jauh lebih berat bahkan lebih kompleks.Â
Tantangan resesi ekonomi, kesenjangan, dan tantangan menyelesaikan pandemi corona. Oleh karena, pilkada kali ini jadi momentum adu gagasan mengenai penyelesaian pandemi corona, sekaligus ajang menawarkan visi-misi serta flatform yang terukur dan terarah di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Memang bukan perkara mudah menggelar pilkada dalam suasana pandemi, dan tak cukup bermodalkan optimisme untuk mewujudkan pilkada sukses.Â
Tetapi butuh keterlibatan yang maksimal dari semua pihak terutama yang punya peran aktif, semisal penyelenggara yang terdiri dari KPU, Bawaslu, Kepolisian untuk menjaga dan mengamankan pilkada sukses.Â
Sementara rakyat punya "kewajiban moral" menyeleksi dan memilih pemimpin secara langsung sehingga yang terpilih sejalan dengan kehendak dan kemauan rakyat.
Pilkada bukan semata-mata soal regenerasi kepemimpinan, tetapi yang jauh lebih penting adalah soal kelangsungan pemerintahan di suatu daerah yang mengalami vacum of power.Â
Dalam konteks legitimasi serta proses pengambilan keputusan dan kebijakan (decision making and policy processes) seorang Plt (Pelaksana Tugas) kewenangannya sangat terbatas selain faktor legitimasinya tidak kuat.Â
Tentu hal tersebut akan menghambat akselerasi pembangunan terhambatnya kesejahteraan rakyat.Â
Oleh sebab itu, menunda pilkada bukan solusi tetapi justru mendatangkan masalah baru. Alasan mendesak pilkada ditunda sangat subyektif bahkan kontradiksi dengan realitas yang terjadi saat ini, maka kita tetap komitmen pada kesepakatan awal yaitu melaksanakan pilkada sehat, rakyat kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H