Tetapi jika dikaji dengan pendekatan Demokrasi digital, maka kita akan menemukan titik terangnya dimana rangakaian agenda pilkada seperti kampanye, konser musik serta orasi calon sangat memungkinkan digelar secara online.
Era teknologi sangat relevan bagi demokrasi termasuk di dalamnya pilkada. Teknologi informasi sangat membantu jalanya demokrasi.Â
Dengan teknologi informasi, sosialisasi visi-misi calon bisa dilakukan jarak jauh. Tak perlu lagi mengerahkan fisik untuk melakukan sosialisasi atau kampanye.Â
Cukup melalui media sosial. Sejalan dengan itu, masyarakat tidak perlu mengerahkan energi untuk mendatangi sebuah lapangan kampanye.Â
Cukup dengan media sosial sudah bisa berpartisipasi. Inilah gambaran nyata demokrasi digital. Demokrasi yang ditandai dengan partisipasi politik masyarakat melalui media sosial.
Van Dijk mendefenisikan demokrasi digital sebagai praktik demokrasi dalam pandangan apapun menggunakan media digital dalam komunikasi politik.Â
Termasuk kampanye politik. Proses komunikasi politik dapat dilakukan melalui media digital dalam hal ini media sosial.
Kampanye melalui media sosial secara penuh memang akan sedikit mengejutkan publik. Tetapi hal ini bukanlah peristiwa baru tanpa perkiraan sebelumnya. Alvin Toffler dalam buku karyanya "Future Shock" pernah mengatakan bahwa banyak orang yang akan tersentak dan tersadarkan akan perkembangan teknologi yang sangat cepat.Â
Kata "tersentak" diikuti dengan kata "tersadarkan" mengandung makna bahwa efek kejut kampanye online akan segera menyadarkan publik bahwa efektifitas kampanye tetap bisa terjaga meski dilakukan secara online.Â
Secara bersamaan dapat menyadarkan publik bahwa pilkada serentak tetap bisa dijalankan dalam suasana pandemi.
Dari kaca mata demokrasi digital Van Dijk serta prediksi Alvin Toffler di atas, kita bisa menemukan angin segar dari keraguan publik terhadap penyelenggaraan pilkada serentak 2020.Â