Trilema Pilkada di tengah pandemi belakangan menjadi buah bibir yang diperbincangkan banyak kalangan. Pandemi global ini menjadi pemicunya untuk pilkada diurun rembuk ulang secara serius sekalipun keyakinan pemerintah dan DPR tidak goyah atas atas gelembung peundaan tersebut.Â
Bahwa problem kesehatan, ekonomi dan demokrasi menjadi teorema baru yang mengharuskan semua elemen padu dalam menyikapinya.Â
Sebab jalan satu-satunya di era ketidakpastian ini untuk selamat dari bencana non alam hanya dengan cara itu negara bangsa dapat keluar dari jurang terpuruk.
Mengingat Pilkada 9 Desember 2020 nanti adalah spirit konsolidasi demokrasi, maka sebagai pesta rakyat, suka cita perlu disambut meski harus dengan penuh kehati-hatian.Â
Dua hal dalam menyikapi Pilkada di masa pandemi, pertama dilihat sebagai kebutuhan, ini dalam kacamata administratif di pahami prosesi hajatan lima tahunan di pemerintahan daerah yang kali ini melibatkan 270 daerah masuk schedule election.Â
Kedua, dalam kacamata urgensitas, menyimpulkan bahwas Pilkada barang sesuatu yang duduk perkaranya dibutuhkan dengan sangat, sehingga pengtingnya Pilkada sama berharganya dengan aspek ekonomi, dan kesehatan pula secara bersamaan.Â
Sisi lain yang tak kalah pentingnya adalah pilkada merupakan nomenklatur konsolidasi demokrasi dalam perspektif politik.
Di luar itu, hanya menyikapi situasi dan kondisi bagaimana Pilkada benar-benar menjadi barang antik yang tidak berkarat sekalipun ada banyak tantangan dan rintangan.Â
Disinilah power pemerintah dan rakyatnya akan diuji, seberapa tangguh mengawal resepsi demokrasi yang secara bersamaan juga mengurus hajat ekonomi dan kesehatan dari sebelumnya yang semua negara tidak punya pengalaman ini sekaligus.Â
Ketangguhan ini pada gilirannya bukan hanya prestasi satu pihak semata (pemerintah), melainkan suksesi negara dan bangsa dalam menjalani era post truth.Â
Sementara dalam kancah internasional, ini menjadi ajang kompetisi bagi suatu pemerintahan untuk berebut legalitas prestasinya menyelamatkan negaranya dari pandemi.