Pilkada serentak Desember 2020 menghadapi sejumlah tantangan. Hal yang paling krusial, yaitu mengenai penanganan pelanggaran, termasuk dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan. Regulasi pun perlu dimutakhirkan, terutama pengawasan dan penindakannya.
Karena dalam Pilkada menjadi kompleks secara in absentia atau penanganan perkara tanpa dihadiri tergugat. Hal ini tampak terlihat dari UU No.10/2016 tentang Pilkada.
Dalam memeriksa kasus Pilkada, pengumpulan alat bukti tidak selalu mudah. Karena harus melibatkan sejumlah pihak terkait, dan barang bukti seperti alat peraga kampaye maupun dugaan pelanggaran tentu perlu dihadirkan secara fisik ke Bawaslu. Upaya ini terkedala karena wabah korona membuat sebagian orang khawatir terjangkit virus tersebut.
Untuk itu, peran Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan Agung sebagai Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) perlu dimaksimalkan. Sedangkan waktu yang dimiliki untuk memeriksa pengaduan ke tahap selanjutnya tidak terlalu panjang; Bawaslu hanya punya waktu 5 hari kerja, Polri 14 hari, dan kejaksaan 5 hari untuk meneruskan kasus tertentu.
Maka Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis akan mengganjar jajarannya dengan reward atau penghargaan apabila berhasil mengawal dengan sukses Pilkada melalui Sentra Gakkumdu.
Tugas berat pemerintah bagaimana memastikan tidak terjadinya masalah yang biasa mewarnai perhelatan Pilkada, mulai dari kampanye hitam bernuansa SARA, politik uang, potensi pengerahan ASN demi kepentingan politik praktis.
Belum lagi ada peluang bansos dipolitisir untuk mendulang suara.  Yang terakhir, sempat viral, bupati yang memasang foto wajah mereka pada kemasan bansos  korona. Bukan mustahil hal sejenis akan terulang di masa kampanye.
Tindakan tersebut dapat dikategorikan 'kampanye terselubung' dan masuk pelanggaran pidana pemilu, sebagaimana Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada. Ancamannya bisa sanksi pidana sepanjang merugikan paslon lain.
Merujuk aturan yang ada, jika sebelum seseorang resmi ditetapkan sebagai paslon sudah terbilang melanggar. Terlebih menggunakan program kerja pemerintah. Tampaknya, banyak kepala daerah yang mencuri start berkampanye meskipun belum resmi menjadi paslon yang baru akan ditetapkan pada bulan ini.
Sejumlah kepala daerah yang memasang fotonya pada paket bansos sebelum penetapan paslon, di antaranya: klaten, Pesawaran, Way Kanan, Pangandaran, Lampung Tengah, Bandar Lampung, Jember dan Sumenep. Tampang mereka, tertempel pada sembako yang berisikan beras, minyak, gula, dan lainya. Artinya, ada dugaan bansos dimanfaatkan untuk sosialisasi, pencitraaan dan mendongkrak elektoral.
Selain itu, ujian berikutnya bagaimana menegakan pelanggar protokol kesehatan yang berisiko menjadi kluster baru korona. Sebab menurut data terkini Satgas Penanganan Covid-19, September 2020 ini, dari 9 pemilihan gubernur/wakil dan 261 pilkada di kabupaten/kota, terpantau terdapat 22 daerah yang masih berisiko tinggi dari penyebaran korona.
Dengan demikian, KPU dan pihak terkait perlu merumuskan atau memperbaiki prosedur Pilkada, terutama yang mengatur tentang tatap muka yang mengundang kerumunan massa. Sesungguhnya, kampanye virtual dapat menjadi opsi sekaligus menguntungkan kandidat karena tidak perlu mengeluarkan dana lebih banyak untuk menggalang massa, sebagaimana kampanye di masa normal.
Apalagi zona di masing-masing daerah masih sangat dinamis, mungkin saja hari ini berzona merah, bukan mustahil seminggu kemudian hijau, dan begitu sebaliknya. Tapi yang pasti belum ada temuan bahwa adanya kluster baru akibat Pilkada hingga saat ini.
Sejauh ini, pemerintah dan KPU tetap berkomitmen bakal melanjutkan tahapan Pilkada berdasarkan PKPU No.5/2020 dengan tetap menjaga kualitas keterpilihan kepala daerah yang terselenggara dengan prinsip demokratis.
Sesungguhnya, sudah tersedia sanksi administratif sebagaimana diatur dalam PKPU No.6/2020 meskipun belum adanya bentuk sanksi secara jelas dalam aturan tersebut. Sehingga KPU perlu merumuskan jenis sanksi secara rincis dan tegas terkait protokol kesehatan tanpa terjebak dalam nuansa politik yang dapat dimanfaatkan pihak berkepentingan.
Di samping itu, kepolisian sebagai unsur dari Sentra Gakkumdu, dapat menggunakan UU No.4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No.6/2018 tentang Karantina Kesehatan maupun KUHP terutama pasal 212 dan 218.
Di tengah kompleksitas yang dihadapi bangsa ini, mau tidak mau roda pemerintahan harus tetap berjalan, dan kita perlu menyadari dalam sebuah sistem apapun tidak ada yang sempurna, termasuk mengatur pengawasan dan penindakan potensi pelanggaran yang bisa saja terjadi pada pesta demokrasi Pilkada.
Sebagai penutup, penulis ingin membaca kepada kita semua untuk melihat ke depan, tidak mundur ke belakang. Proses tahapan Pilkada Serentak sudah setengah jalan lebih. Sejauh ini masih bisa dikendalikan. Jika sebelumnya ada parade pelanggaran protokol kesehatan dengan banyaknya arak-arakan Paslon Kandidat, hal itu menjadi evaluasi dan pelajaran berharga bagi seluruh pemangku kebijakan pelaksanaan Pilkada.
Ditambah lagi, telah diterbitkannya Maklumat Kapolri tentang kepatuhan menjalani protokol kesehatan di saat Pilkada 2020, dan penyempurnaan Peraturan KPU serta kajian mendalam untuk Presiden menerbitkan Perppu Pilkada terbaru yang berisi penambahan aturan Protokol Kesehatan dalam Pilkada 2020.Â
Khusus untuk Perppu Pilkada terbaru, Pemerintah sedang mengkajinya. Semoga dengan berbagai regulasi yang ada bisa diiringi dengan penegakan hukum yang tegas agar ada efek jera bagi pelanggar protokol. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H