Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada dan Upaya Memilih Pemimpin Hasil Meritokrasi

17 September 2020   17:29 Diperbarui: 18 September 2020   13:27 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural tentang ajakan menolak politik uang dan mengawasi pemilu yang adil menghiasi tembok rumah warga di Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/6/2020). KPU memutuskan untuk menggelar pilkada serentak 2020 pada 9 Desember mendatang. (Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Menurut Siti Aminah dalam buku (Kuasa Negara pada Ranah Politik Lokal: 2014), Pilkada secara langsung adalah perkembangan menarik dalam sejarah perpolitikan lokal di negeri ini. Pilkada merupakan momentum peletakan dasar bagi fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di aras lokal. 

Pilkada secara langsung bisa dimaknai sebagai operasionalisasi otonomi masyarakat untuk menentukan sendiri kepala daerahnya.

Bergulirnya Pilkada langsung merupakan bagian dari wacana desentralisasi yang menjadi ciri orde reformasi, dan hal tersebut menjadi antitesis dari pemerintah otoriter Orde Baru yang sentralistik. 

Oleh sebab itu, dapat dikatakan pemilihan kepala daerah langsung adalah keniscayaan orde reformasi. Adapun Pilkada langsung ini, mula-mula didasarkan pada UU No. 32 Tahun 2004 pada 15 Oktober 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang di dalamnya memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah langsung.

Namun, wacana Pilkada di tahun 2020 ini menimbulkan suatu debateble dan dianggap problematis. 

Bisa juga dikatakan, Pilkada 2020 ini amatlah unik bila dibandingkan Pilkada-pilkada sebelumnya. 

Hal tersebut tentu saja berkaitan karena saat ini kita tengah menghadapi wabah Corona yang juga menjadi permasalahan global, dan negara belum kembali stabil seperti semula.

Oleh sebab itu, Pilkada 2020 menghadirkan tantangan-tantangannya sendiri. Tantangan tersebut, tentu dimulai dari masalah keselamatan dan keamanan warga di tengah Pandemi yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda di negeri kita tercinta. 

Ujian Tuhan tersebut haruslah tetap mampu membuat masyarakat optimis menggelar Pilkada.
Akan tetapi, meski demikian, saya berpandangan bahwa Pilkada serentak 2020 tetap diadakan. 

Karena, jika Pilkada serentak mengalami penundaan, yang jadi pertanyaan, akan ditunda sampai kapan? Mengingat tidak ada jaminan bahwa di tahun depan, wabah ini sudah berhenti.

Berkaca dari hal tersebut, maka yang perlu dilakukan pemerintah, yakni menjamin tersedianya fasilitas-fasilitas tambahan selama prosesi Pilkada yang dapat menunjang keselamatan dan keamanan warga. 

Dalam konteks tersebut, warga pun harus mempunyai kesadaran mengenai pentingnya mematuhi protokol kesehatan, dan tentu saja harus disistematisasikan.

Saya sendiri menyadari, kemungkinan masalah ketersediaan dana yang dapat menjadi hambatan. Akan tetapi, menunda Pilkada pun bukanlah pilihan yang ideal, mengingat ketika di daerah-daerah dipimpin oleh Plt, tentu kewenangan Plt amat terbatas karena tidak bisa membuat kebijakan-kebijakan strategis.

Pilkada dan Legitimasi Politik

Ilustrasi menolah politik uang. (sumber: Tribunnews)
Ilustrasi menolah politik uang. (sumber: Tribunnews)
Secara teoretis, adanya Pilkada merupakan upaya untuk menguatkan demokratisasi di tingkat lokal. Pilkada erat kaitannya dengan upaya membangun legitimasi politik. 

Menurut Leo Agustino dalam buku Politik dan Otonomi Daerah (2005), kepala daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagian besar warga masyarakat. 

Legitimasi menjadi modal yang sangat penting (modal politik) dan diperlukan oleh suatu pemerintahan yang akan/tengah berkuasa.

Sementara itu, untuk Pilkada 2020 ini, merupakan batu uji yang lebih berat bagi keberlangsungan demokratisasi di Indonesia, teruatama di aras lokal. 

Akan tetapi, dengan adanya Pilkada di masa Pandemi ini, harusnya membuat kita sebagai warga lebih mempunyai kejelian, mengingat salah satu yang bisa menjadi permasalahan selama kontestasi, yakni petahana yang memanfaatkan momentum Pandemi ini untuk kepentingan pribadi, seperti personalisasi diri di tengah gencarnya bantuan negara. 

Oleh sebab itu, Pilkada di masa Pandemi ini, bisa semakin menjernihkan pandangan kita terutama menyangkut kredibilitas dan akuntabilitas pemerintah.

Sehingga dapat memberi gambaran, mengenai pilihan politik kita ke depannya. Selain itu, kita bisa semakin melihat bagaimana kinerja dan keefektivan pemerintah daerah dalam menangani wabah tersebut dan tentu saja itu bisa menjadi bahan pertimbangan untuk preferensi politik kita tahun ini.

Bagi saya, di masa Pandemi ini, penguatan legitimasi politik justru amat diperlukan, dan hal itu salah satunya melalui Pilkada. Bagaimanapun juga, warga memerlukan sosok pemimpin yang sesuai dengan pilihan dan keinginan mereka, termasuk memimpin mereka dalam menghadapi Pandemi yang tak kunjung usai ini.

Meritokrasi, Mungkinkah?

Bagi saya, Pilkada di masa pandemi ini, harusnya dapat menjadi motivasi kuat bagi kita untuk memilih pemimpin yang kompeten. Artinya, melihat dari rekam jejak dan mendasarkan pada politik programatik, sesuai dengan nilai ideal atau normatif dalam demokrasi.

Pilkada di masa Pandemi ini, harusnya menyadarkan kita, agar kita tidak lagi tergiur dengan praktik-praktik klientisme, atau hanya mendasarkan pada politik uang, karena bagaimanapun juga kita memerlukan pemimpin yang benar-benar kompeten, berintegritas, dan sebagainya, agar tidak membawa kita ke dalam krisis yang semakin parah.

Singkat kata, Pilkada di masa Pandemi ini, harusnya mampu menyadarkan kita agar bersungguh-sungguh mengupayakan terwujudnya meritokrasi, salah satunya yaitu dengan memilih pemimpin yang berkualitas, berintegritas, sehingga diharapkan mampu memberi pelayanan publik yang maksimal, termasuk di dalamnya membuat program-program yang efektif dan tepat sasaran.

Demokrasi yang mendasarkan pada kepemimpinan meritokrasi pun, akan mampu menghadirkan kebijakan yang responsif, serta mampu mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja birokrasi. 

Bagi saya, semua itu dibutuhkan untuk menghadapi Pandemi ini. Oleh sebab itu, sekali lagi, di tengah Pandemi yang menyesakkan seperti ini, inilah saatnya kita mengupayakan terwujudnya kepemimpinan yang meritokrasi, dan tidak lagi mempedulikan praktik klientisme ataupun politik uang yang hanya untuk kebutuhan sesaat tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun