Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ikhtiar Kemendagri Hilangkan Tradisi Birokrasi "Amplop" yang Mengakar

26 Februari 2020   11:17 Diperbarui: 26 Februari 2020   11:19 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Dalam Negeri Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. - Foto: dokpri Kemendagri


Oleh: Reza Fahlevi (Direktur Eksekutif The Jakarta Institute)

TANPA teks, Menteri Dalam Negeri Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. dengan tegas mengingatkan agar Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memudahkan segala urusan pelayanan masyarakat dengan menghilangkan tradisi suap atau memberikan uang dalam amplop agar lancar urusan perizinan.

Hal itu dikatakan Mendagri dalam Rakornas Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) di kantor BPSDM Kalibata, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Dan untuk mematangkan mentalitas ASN agar mempermudah masyarakat dalam pelayanannya, BPSDM Kementerian Dalam Negeri diminta terlibat aktif menyelenggarakan diklat yang dapat mengubah 'mental ASN' di bidang pemerintahan.

Dari Diklat itu para jajaran BPSDM Kemendagri seluruh Indonesia harus fokus pada peningkatan integritas mental aparatur pemerintah. Salah satu tujuan utamanya adalah agar  'budaya amplop' atau uang sogokan, atau suap yang masih banyak melekat di perilaku beberapa aparat  di sektor pelayanan publik dan urusan perizinan, bisa dikikis habis.

Keinginan Kemendagri itu memang berbasiskan hal faktual. Bukan rahasia apabila urusan pelayanan publik di negeri ini masih rentan budaya amplop.

Masih ada uang suap yang kerap diberikan masyarakat agar urusan mereka ketika mengakses pelayanan publik menjadi lancar.  

Suap dalam bidang pelayanan publik memang masih kasat mata. Belum lama berlalu, tepatnya pada Agustus 2018 , Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terkait urusan korupsi.

Mereka yang disurvei yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Ada 1520 responden survei yang dipilih dengan metode multi-stage random sampling. Diperkirakan margin of error sebesar 2.6% pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil survei itu menunjukkan, dalam urusan kelengkapan administrasi publik mulai dari pengurusan KTP, KK, hingga akta kelahiran masih ada ruang melakukan korupsi. Dari 55 persen responden yang berurusan dengan administrasi publik, ada 14 persen responden yang mengeluarkan uang dalam proses mengakses layanan publik itu.

Sehingga, arahan Kemendagri untuk mengubah mental para birokrat agar terbebas dari mentalitas budaya amplop bisa segera terwujud.

BPSDM Kemendagri harus menjadi 'ujung tombak' dalam melakukan revolusi mental para birokrat melalui berbagai Diklat yang intensif.

Tentu diklat-diklat itu harus disertai dengan tindaklanjut yang nyata, seperti pengawasan ketat bagi para ASN pasca mengikuti Diklat BPSDM.

Jika ada yang membangkang dari pakem yang sudah diinternalisasikan dari diklat, maka sudah selayaknya ASN itu dievaluasi, bahkan 'ditendang' dari kursi. Dengan begitu, titah Mendagri Tito pun bisa berbuah.

Birokrasi Amplop

Mental birokrasi kita yang masih melekat warisan Kolonial Belanda yang selama menjajah bangsa kita dengan membenturkan strata sosial. Dan mengutamakan pelayanan publik dalam sistem pemerintahan berdasarkan kelas.

Hierarki birokrasi yang digagas Max Webber, Sosiolog dan Ekonom asal Jerman memang secara organik akan melahirkan kepemimpinan yang feodal.

Birokrasi sebagai alat kekuasaan pemerintah, dalam mengatur suatu jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan ke samping dengan konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.

Sejak zaman kolonial, bangsa kita dibentuk oleh sistem yang diciptakan VOC, Korporasi Dagang Hindia Belanda sehingga masih sering kita temui ada gila hormat di kalangan para petinggi birokrat, dan menganggap birokrasi itu abdi-dalem dan dalam strata sosial rakyat tak lebih adalah wong cilik.

Sudah menjadi rahasia umum ketika para birokrat melakukan praktek pelayanan publik yang kaku, rumit, berbelit-belit, sangat hirarki adalah cerminan pengaruh pemerintahan Hindia Belanda.

Kembali ke seruan Kemendagri untuk mengikis habis budaya amplop dalam proses birokrasi, seperti yang ditekankan Mendagri Tito di hadapan 500 Kepala BPSDM seluruh Indonesia dan perwakilan dari Badan Kepegawaian Negara, BPIP, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, juga harus kita ejawantahkan dalam dunia kerja yang profesional diberbagai bidang. Karena bagaimanapun, mental koruptif itu bisa dicegah dimulai dari diri kita sendiri.

Hal yang paling sederhana ialah malu untuk menerima yang bukan hak kita dan jujur dalam berbagai hal.

So, wahai para ASN, masih mau menyusahkan masyarakat dengan kode: "ada uang urusan lancar", Ujung-Ujungnya Duit (UUD)? Berani tolak amplop itu hebat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun