Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cegah Korupsi di Daerah dengan Transaksi Non-Tunai

17 Februari 2020   12:03 Diperbarui: 17 Februari 2020   12:15 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyusunan KUA-PPAS yang asal itu diakui oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Sri Mahendra. Ia mengungkapkan, 'anggaran siluman' (istilah para politisi Kebon Sirih) seperti lem aibon Rp 82 Miliar, atau anggaran bolpoin senilai Rp 635 Miliar di Rancangan APBD DKI Jakarta itu diinput tanpa menyusun rincian komponen riil untuk setiap mata anggaran.

KUA-PPAS merupakan cikal bakal rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD). Jika perencanaannya saja serampangan, bagaimana realisasi anggarannya? Apakah selama ini transaksinya dilakukan tunai? Jika memang tunai, sulit dideteksi jejak digitalnya, bukti transaksinya. Meskipun sistem penganggaran Pemprov DKI Jakarta sudah menggunakan e-Budgeting, namun dalam praktik transaksinya masih terjadi transaksi tunai. Siapa yang bisa mengawasi jika sudah seperti itu?

Kita tahu, transaksi tunai dengan uang cash rentan untuk dimanipulasi. Dalam praktiknya, pihak ketiga sering memainkan angka atau belanja fiktif namun ada kuitansinya.

Modus lain yang biasa digunakan bisa dilihat dari laporan keuangan pemda berupa pos utang kepada pihak swasta dengan nilai puluhan hingga ratusan Miliar Rupiah.

Setelah ditelusuri, ternyata utang proyek itu berasal dari sejumlah proyek yang dikerjakan dulu oleh swasta dan pemda baru membayar dengan APBD tahun berikutnya. Akhirnya, terjadilah praktik lapping, utang proyek tahun ini disembunyikan dan ditunda pembayarannya di anggaran tahun depannya.

Hal itu untuk menyembunyikan adanya kekurangan uang tunai. Praktik tersebut bisa terjadi dengan sistem pengawasan yang lemah ditambah lagi proses tender dan pengadaan barang dan jasa di lingungan pemda kerap menabrak aturan perundang-undangan.

Dalam pengelolaan keuangan daerah ada aturan tidak boleh melakukan kegiatan yang menimbulkan beban jika tidak ada anggarannya. Aturan ini disiasati dengan kolusi antara oknum pejabat pemda dengan oknum DPRD dalam proses penganggaran. Caranya dengan menggelembungkan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga seolah-olah pemda cukup memiliki dana untuk membiayai belanjanya. Padahal, PAD tersebut hanya akal-akalan yang tidak mungkin tercapai.

Dengan cara seperti itu, rencana belanja dalam bentuk proyek-proyek bisa dianggarkan karena tersedia dana yang berasal dari PAD. Siapa yang akan mengerjakan proyek sudah diatur antara oknum pejabat pemda dengan anggota DPRD. Pada akhir tahun, ketika realisasi PAD tidak tercapai maka timbullah utang proyek tersebut. Dengan akal-akalan APBD, utang tersebut dibayar ketika Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yang berasal dari transfer pemerintah pusat bisa dicairkan.

Kongkalikong seperti itu menjadi praktik yang lumrah di pemda selama ini. Jika dalam laporan keuangan pemda ada utang proyek kepada pihak swasta dengan jumlah yang signifikan hampir pasti ada korupsi di situ.

Pengawasan yang lemah dalam kegiatan pemda juga menyuburkan praktik korupsi. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membuktikan bahwa berbagai proyek di dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas pendidikan, dan sekretariat daerah menjadi tempat yang subur terjadinya korupsi. Umumnya terkait dengan proyek infrastruktur serta pengadaan barang dan jasa. Lelang dilaksanakan dengan melanggar aturan atau pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan spek.

Kewenangan dan dana untuk pemerintah daerah ditambah dan hal ini juga menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun