Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Pakar tidak jelas

Manusia biasa yang biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memimpikan Indonesia Maju, Kompromi Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme

30 Juni 2024   08:31 Diperbarui: 30 Juni 2024   13:07 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ROOMINESIA - Bangsa ini punya mimpi untuk maju, bahkan sejak sebelum merdeka semua bermimpi untuk bisa maju, sejahtera, makmur, bahagaialah intinya. 

Namun sampai sekarang slogan dalam kampanye masih sama setiap lima tahunan, saya yang baru saja tiga kali dengan sadar mendengar kabar pemilu seolah tidak ada perubahan, kesejahteraan, demi bangsa dan negara, kemakmuran, korupsi dan lain sekawannya terus digaungkan tanpa henti dan dalam perjalanannya kita tetap menemukan kasus kaya semakin kaya, miskin semakin miski, korupsi terus terjadi lalu citra menutupi itu semua dengan kecanggihan media yang membuat kontruksi masyarakat bahwa negara sedang baik dan akan terus baik, pemerintah telah bekerja dengan baik.

Survei-survei dilakukan entah sebagai data atau menjaga citra semua pada akhirnya akan tidak berguna, dulu saya pernah bangga saat sipil yang tanpa lebel masa lalu, jaringan, keterkaitan, keluarga, keturunan maju sebagai Presiden Republik Indonesia. 

Saat itu juga saya kagum dengan Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia (PDIP), seolah reformasi telah membuka jalan bagi siapa saja untuk punya hak dan kesempatan yang sama, saya berkeyakinan bahwa Presiden itu akan sangat mengerti apa yang menjadi kebutuhan masyarakat menengah ke bawah, sederhana dan dapat memberikan perubahan.

Semestinya kata tidak pernah pudar, memang berharap hanya pada Tuhan bukan manusia agar kecewa tidak membuat kita sakit jiwa melihat fakta bahwa semuanya sama saja, sipil, meliter ataupun konglomerat yang menjabat tetap dalam posisi untuk diri, eh negeri maksudnya hehe. Rasa-rasanya korban ghosting pasti nestapa saat telah percaya yang didapat adalah kecewa lalu kemana rakyat mengadu dan bersandar ketika pemerintah benar dengan sendirinya sebab hukum tidak mengahalangi kelakuan pejabat yang diluar nurul seharusnya.

Lalu kejadian Pemilihan Presiden membuat luka yang membekas, mungkin ini maksud dari pidato Jokowi bahwa dia akan mempertarukan reputasi politiknya demi anak, eh bangsa dan negara. Semua tidak pernah menyangak Gibran hari ini secara de facto dan de jure sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, orang yang dulu dengan songong mengatakan intinya "saya ini sibuk, dikira orang penangguran" sama halnya juga Kaesang yang mengatakan intinya "gak perlu la anak muda ini bergantung atau memanfaatkan orang tua yang sedang menjabat". Tapi akhirnya mungkin sadar, mumpung masih menjabat sebaiknya digunakan dari pada kayak Agus Harimurti nyalon ketika Susilo Bambang Yudhoyono sudah lengser, kalah akhirnya kan.

Berbeda sama Jokowi yang telah belajar dari pengalaman, ya pengalaman bapak SBY hehe. Saya tidak ingin pesimis bahwa negara ini tidak akan maju, saya akan terus berkeyakanin negara ini pasti maju, mari terus percaya negara ini akan maju. 

Mungkin saja maksud Jokowi mendukung Gibran agar seluruh jaringan oligarki yang selama ini merajalela di Indonesia bisa terputus karena Gibran orang yang cukup baru di dunia politik, tidak banyak mengikuti alur sogok menyogok atau budaya pembagian sehingga ia akan membuat ritme dan budaya politik baru, menentukan kebijakan dengan merdeka tanpa intervensi siapapun.

Atau memang Jokowi sadar dari pada baik dan tidak mendapat apa-apa lalu dihilangkan kekuatan setelah regenerasi mending ikut dalam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme biarlah keadilan serta kesejahteraan dapat juga dirasakan, karena negara ini terlalu kaya untuk tidak dinikmati atau dilewatkan. 

Akhirnya pilihan kita di Indonesia ini terlibat dan kompromi dalam kolusi, korupsi, nepotisme atau melarat, ada pilihan lagi sebagai alternatif yang mustahil jika sadar dan bersama tidak mengiringi langkah, regenerasi total orang-orang biasa menyebutnya revolusi dan bagi saya ada dua revolusi pada sistem serta sikap para elit di republik Indonesia, semangat generasi muda pemegang tonggak masa depan bangsa, semoga kemajuan bukan mimpi bagi kita, assek haha.

Kenapa sistem, ada satu kontruksi fakta di Indonesia bahwa kita berlabel negara hukum tapi hukum dikendalikan oleh kekuasaan, jadi kita ini negara kuasa, apapun yang menghalangi hasrat, mimpi, keinginan penguasa kita buatkan hukumnya, meskipun seharusnya hukum menjadi batasan agar perilaku elit, pejabat dan penguasa tidak keluar dari batas-batas wajar yang tidak boleh dilakukan. 

Eits disambung lagi buat apa ada aturan kalau tidak dilanggar, ngapain punya kuasa kalau tidak bisa memuluskan keinginan, semua ini kan bisa diatur sebentar saya hubungi si A dulu, oke acc, kita karyakan bersama dinda, haha. Yah begitulah kira-kira.

Sehingga perilkau elit semacam ini yang tau banyak hal mengendalikan dengan buruk lalu membuat kontruksi sosial melalui media bahwa ia telah bekerja dengan baik, melayani masyarakat, melakukan pembangunan, memberikan bantuan sosial sehingga citra terus dipupuk subur, sesubur kolusi, korupsi dan nepotisme yang dilakukan. 

Lalu muncul pemikiran tidak apa-apalah si B anaknya si A yang bekerja untuk rakyat dari pada si C atau D bisa saja mereka korupsi dan lain-lain, akhirnya Indonesia adalah lingkaran elit yang setiap masa ada orangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun