Mohon tunggu...
Khoiro Aulit Taufiqo
Khoiro Aulit Taufiqo Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Rahasia Dibalik Denda Pada Kartu Kredit Syariah

26 Juni 2015   23:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   23:04 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Akan tetapi praktik denda pada perbankan syariah tidak menggunakan skema ta’zir, melainkan menggunakan skema ta’widh karena alsan kemaslahatan. Ketentuan mengenai ta’widh telah diatur dalam fatwa DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh. Kemunculan fatwa ini dilatarbelakangi dari munculnya resiko dalam setiap transaksi pada perbankan syariah dikarenakan akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian, sekaligus untuk melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun lembaga keuangan syariah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya.


Namun terdapat perbedaan antara ta’widh yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dengan praktik ta’widh di perbankan syariah, khususnya dalam hal kartu kredit syariah. Dalam fatwa DSN MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh dalam ketentuan umum ayat empat, disebutkan: “Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss) atau al-furshah al-dha-i‟ah”. Sedangkan praktik ta’widh pada produk kartu kredit syariah ditetapkan jumlahnya berdasarkan jangka waktu, bukan kerugian riil yang terjadi, dan jumlahnya telah ditentukan diawal akad. Hal ini jelasnya menyalahi ketentuan yang ada dalam fatwa DSN-MUI tentang ta’widh.


Kemudian, menurut KH. Ma’ruf Amien, menegaskan bahwa ongkos yang harus diganti dalam ta’widh haruslah kerugian yang riil bukan kerugian yang diperkirakan terjadi dan karena kehilangan kesempatan atau time value of money. Karena jika berdasar time value of money, maka kategorinya mirip dengan riba sehingga tidak dibolehkan. Akan tetapi pada kenyataannya, hal itulah yang dipraktikkan pada perbankan syariah. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun