Saat ini ekonomi Islam sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik di negara berkembang, maupun di negara maju. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam industri keuangan dan berbagai bentuk lembaga ekonomi Islam yang tumbuh subur dijagat raya, mulai dari Timur Tengah, kawasan Asia, maupun negara-negara Barat. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan lembagalembaga yang menggunakan label syariah. Maka tak heran jika aktifitas lembaga keuangan di Indonesia semakin tumbuh dengan menggunakan nama syariah, seperti Perbankan Syariah, Pegadaian Syariah, Asuransi Syariah dan lain-lain.
Salah satu yang turut meramaikan pasar syariah di Indonesia yaitu perbankan syariah yang terus bermunculan hingga saat ini. Alasan lain semakin berkembangnya bank syariah di Indonesia dikarenakan bank syariah mampu bertahan pada saat krisis pada tahun 1997, yang pada saat itu segala sektor keuangan mengalami kemerosotan yang cukup tajam sehingga mengganggu stabilitas keuangan secara makro.
Di sisi lain, kebutuhan masyarakat modern saat ini semakin kompleks sehingga menuntut para praktisi, regulator, dan bahkan akademisi bidang keuangan syariah untuk senantiasa aktif dan kreatif dalam rangka memberikan respon terhadap perkembangan tersebut, sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Salah satu kebutuhan masyarakat pada zaman modern saat ini di bidang ekonomi adalah kebutuhan akan pelayanan jasa keuangan yang memberikan keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam melakukan transaksi, diantaranya penggunaan kartu kredit yang dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi ekonomi.
Untuk mempermudah transaksi ekonomi, Bank Syariah dianggap perlu menyediakan sejenis produk kartu kredit syariah (syariah card). Syariah card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah, sehingga beberapa perbankan syariah telah menerbitkan kartu tersebut. Sistem kartu kredit adalah suatu jenis penyelesaian transaksi ritel (retail) dan sistem kredit. Sebuah kartu kredit berbeda dengan kartu debit dimana penerbit kartu kredit meminjamkan konsumen uang dan bukan mengambil uang dari tabungan.
Kartu kredit sering disebut dengan credit card (bahasa Inggris) yang berarti kartu kredit, dimana dalam kamus bahasa Indonesia kartu berarti kertas tebal yang segi empat bangunnya dan kredit adalah pinjaman. Sedangkan dalam bahasa Arab kartu kredit sering disebut dengan bithaqah i’timan atau bithaqah al-iqrad. Bithaqah dalam kamus bahasa Arab berarti kertas/kartu, i’timan secara bahasa berarti kondisi aman dan saling percaya, dan iqradh dalam bahasa Arab berarti peminjaman. Dalam Islamic finance kartu kredit dikenal dengan istilah Islamic card atau syariah card yang berarti kartu kredit syariah.
Kartu kredit syariah merupakan jenis kartu yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran transaksi jual beli barang atau jasa, dimana pelunasan atau pembayarannya dapat dilakukan sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu, dan hubungan hukum antara para pihak berdasarkan prinsip syariah.
Di pandang dari sudut syariah, maka dalam penggunaan kartu ini telah terjadi tolong menolong, dimana pemegang kartu tertolong dalam hal kebutuhan, dan disisi lain pedagang juga tertolong dengan terjualnya barang dagangan yang pembayarannya dilakukan oleh pihak penerbit kartu kredit syariah.
Dalam praktinya, kartu kredit syariah terdapat beberapa macam akad yang meliputi kafalah, ijarah dan qardh. Penggunaan akad kafalah dalam hal ini penerbit adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan merchant. Atas pemberian kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee. Kemudian penggunaan akad ijarah dalam hal ini penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap pemegang kartu. Atas ijarah ini, pemegang kartu dikenakan membership fee. Sedangkan penggunaan akad qardh dalam hal ini penerbit kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada pemegang kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank penerbit kartu. Ketiga akad diatas adalah akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit syariah. Hukum islam memang memperbolehkan menggunakan ketiga akad tersebut, selama sesuai dengan syariah.
Kartu kredit syariah banyak tersedia dan digunakan terutama oleh kalangan menengah keatas, meskipun sebagian besar ada yang dianggap belum layak menggunakannya. Sehingga hal ini memunculkan beragam masalah yang justru menyulitkan si pengguna. Dari penggunaannya sendiri, syariah card merupakan salah satu bentuk dari hutang piutang yang modern, dimana selain qardh (hutang piutang) juga terdapat akad lain yaitu kafalah dan ijarah. Dari akad kafalah dan ijarah bank mendapatkan fee atas jasa yang dilakukan, dan itu memang dibenarkan dalam hukum Islam. Namun bagaimana dengan akad qardh, yang menggunakan denda finansial bagi nasabah yang terlambat membayar tagihannya.
Istilah Arab yang digunakan untuk denda adalah gharamah. Secara bahasa gharamah berarti denda. Denda merupakan salah satu jenis dari hukuman ta’zir. Ta’zir menurut bahasa adalah ta’dib, artinya memberi pelajaran. Ta’zir juga diartikan dengan Ar-Raddu Wal Man’u, yang artinya menolak dan mencegah. At-ta’zir adalah larangan, pencegahan, menegur, menghukum, mencela dan memukul. Hukuman yang tidak ditentukan (bentuk dan jumlahnya), yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk maksiat yang tidak termasuk hudud dan kafarat, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi.
Akan tetapi praktik denda pada perbankan syariah tidak menggunakan skema ta’zir, melainkan menggunakan skema ta’widh karena alsan kemaslahatan. Ketentuan mengenai ta’widh telah diatur dalam fatwa DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh. Kemunculan fatwa ini dilatarbelakangi dari munculnya resiko dalam setiap transaksi pada perbankan syariah dikarenakan akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian, sekaligus untuk melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun lembaga keuangan syariah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya.
Namun terdapat perbedaan antara ta’widh yang difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dengan praktik ta’widh di perbankan syariah, khususnya dalam hal kartu kredit syariah. Dalam fatwa DSN MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh dalam ketentuan umum ayat empat, disebutkan: “Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss) atau al-furshah al-dha-i‟ah”. Sedangkan praktik ta’widh pada produk kartu kredit syariah ditetapkan jumlahnya berdasarkan jangka waktu, bukan kerugian riil yang terjadi, dan jumlahnya telah ditentukan diawal akad. Hal ini jelasnya menyalahi ketentuan yang ada dalam fatwa DSN-MUI tentang ta’widh.
Kemudian, menurut KH. Ma’ruf Amien, menegaskan bahwa ongkos yang harus diganti dalam ta’widh haruslah kerugian yang riil bukan kerugian yang diperkirakan terjadi dan karena kehilangan kesempatan atau time value of money. Karena jika berdasar time value of money, maka kategorinya mirip dengan riba sehingga tidak dibolehkan. Akan tetapi pada kenyataannya, hal itulah yang dipraktikkan pada perbankan syariah. Wallahu a’lam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI