Dalam praktik perbankan maupun praktik-praktik bisnis, sudah menjadi kebiasaan bahwasanya dalam memberikan fasilitas kepada para pengguna jasa atau nasabah, hubungan hukum antara bank dan para nasabah dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Begitu juga dalam perjanjian pembiayaan serta bentuk-bentuk kemitraan yang lainnya. Pengertian dari perjanjian pembiayaan ini adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum antara bank dengan nasabah dalam hal bank berjanji untuk memberikan fasilitas kepada nasabah dan pihak nasabah berwenang untuk mengelola pembiayaan tersebut.
Pembiayaan adalah merupakan sebagian besar asset dari bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga kualitasnya, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-undang Perbankan Syariah bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Pada penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten. Penerapan prinsip kehati-hatian dijabarkan dalam bentuk rambu-rambu kesehatan bank.
Perwujudan prinsip kehati-hatian diatur dalam rambu-rambu kesehatan sebagaimana pada Pasal 23 Undang-Undang Perbankan Syariah. Pada Pasal 23 (1) Undang-Undang Perbankan Syariah mengatur bahwa “Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/ atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah Penerima Fasilitas”. Untuk mendapatkan keyakinan maka bank syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas (character, capacity, capital, collateral, condition). Pada Pasal 36 Undang-Undang Perbankan Syariah diatur bahwa “Dalam memberikan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya”, sehingga bank syariah dalam memberikan pembiayaan wajib mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan dari nasabah penerima fasilitas. Adapun tujuan dari diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank-bank selalu dalam keadaan sehat, sehingga antara lain selalu dalam keadaan likuid, solvent dan menguntungkan (profitable). Dengan diberlakukannya prinsip kehati-hatian itu diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbakan selalu tinggi sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.
Pada kenyataannya, walaupun bank telah menerapkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah, akan tetapi masih juga ditemui masalah dalam pembiayaan tersebut pasca terjadinya akad, mulai dari penurunan kemampuan dalam pembayaran, sampai yang terfatal adalah pembiayaan macet, yang dapat mengancam kesehatan bank. Sehingga hal tersebut harus mendapatkan perhatian yang serius dari pihak yang terkait.
Pada dasarnya, ketika ada suatu pembiayaan yang bermasalah maka pihak bank harus melakukan penyelamatan terhadap pembiayaan itu. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/9/PBI/2011 Tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui :
1. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
2. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank, antara lain meliputi:
a. perubahan jadwal pembayaran;
b. perubahan jumlah angsuran;
c. perubahan jangka waktu;
d. perubahan nisbah dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah;
e. perubahan proyeksi bagi hasil dalam pembiayaan mudharabah atau musyarakah; dan/atau:
f. pemberian potongan.
3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan yang antara lain meliputi :
a. penambahan dana fasilitas pembiayaan bank;
b. konversi akad pembiayaan;
c. konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; dan/atau;
d. konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah.
Dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut diatas memberikan beberapa solusi atas pembiayaan bermasalah yang dialami oleh lembaga keuangan syariah. Menariknya, lembaga keuangan syariah ketika menghadapi persoalan pembiayaan bermasalah lebih memilih mengkonversi akad dari pada alternatif yang lain. Seperti mengkonversi akad murabahah yang juga telah diatur melalui Fatwa DSN-MUI. Yang menjadi perhatian penulis adalah adanya konversi akad mudharabah, karena secara aspek yuridis tidak diatur juga dalam Fatwa DSN-MUI.
Akad yang paling populer dipilih untuk mengkonversi adalah akad qardh, dengan alasan sesuai dengan karakteristik akad tersebut yaitu akad tolong menolong yang mana tidak diperbolehkan pengembalian pinjaman dengan tambahan. Konversi dari akad mudharabah kepada akad qardh ini dalam rangka penyelamatan pembiayaan karena nasabah mengalami penurunan kemampuan dalam pembayaran, yang dalam hal ini nasabah dirasa masih prospektif dan masih memungkinkan untuk memenuhi semua kewajibannya kepada bank.
Disamping berdasar pada Peraturan Bank Indonesia yang telah penulis sebutkan diatas, konversi akad tersebut juga berdasar pada keputusan Dewan Pengawas Syariah selaku dewan yang ditunjuk sebagai pembuat fatwa bagi bank terkait. Konversi akad dari pembiayaan mudharabah kepada akad qardhu menurut Dewan Pengawas Syariah boleh dilakukan apabila pembiayaan mudharabah tersebut, pihak nasabah belum dikatakan bankrut, melainkan nasabah tersebut masih memiliki potensi untuk diajak kerjasama.
Kemudian, kebijakan untuk mengkonversi akad tidak semata-mata kebijakan yang dipilih sepihak oleh bank, melainkan telah dimusyawarahkan dengan pihak nasabah terkait. Ketika beberapa opsi penyelamatan terhadap pembiayaan ditawarkan kepada nasabah, maka didapatkanlah satu keputusan bersama yang disepakati antara bank dan nasabah.
Akan tetapi sebelum menetapkan konversi akad untuk penyelamatan pembiayaan, haruslah dipertimbangkan opsi-opsi yang lain, misalnya opsi rescheduling atau opsi reconditioning. Kalau dilihat dari bentuk akadnya, konversi yang dilakukan secara garis besar hanya dilakukan perubahan jangka waktu pembayaran dan perubahan jumlah angsuran. Sebenarnya tanpa adanya konversi akad pun pembiayaan mudharabah tersebut bisa diselamatkan dengan opsi reconditioning, yang mengharuskan bank memberikan kelonggaran waktu dan keringanan angsuran kepada nasabah, sehingga nasabah dapat menjalankan dan memenuhi kewajibannya kepada bank.
Ketika melakukan konversi akad, maka ada akad baru yang akan dipakai, dan hal tersebut menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda sehingga mengancam keabsahan akad. Disamping itu juga, ketika dilakukannya konversi akad kepada akad baru, maka akan ada penambahan biaya bagi nasabah karena bersepakat untuk membuat akad yang baru, yang secara administratif akan mengakibatkan pengeluaran biaya tambahan yang akan dipikulkan kepada nasabah. Hal ini jelaslah merugikan nasabah.
Maka dari itu, meskipun konversi akad mudharabah kepada akad qardh telah sesuai dalam rangka melakukan penyelamatan terhadap pembiayaan bermasalah yang telah terjadi tersebut berdasarkan prinsip kemaslahatan bersama, akan tetapi alangkah lebih maslahat jika penyelamatan pembiayaan tersebut hanya dilakukan melalui upaya reconditioning saja, dengan memberikan beberapa kelonggaran yang secara garis besar sama dengan konversi akad. Karena ketika dilakukan konversi akad akan menimbulkan konsekwensi hukum dan kerugian yang lebih besar lagi bagi nasabah. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H