Mohon tunggu...
Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016
Dept. Kajian dan Aksi Strategis BEM FMIPA UI 2016 Mohon Tunggu... -

Kanal sosial politik BEM FMIPA UI 2016 | Mahasiswa eksak juga bergerak | Narahubung 081314261261 (Afkar)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontraproduktif Draft Revisi UU KPK di Tengah Agenda Pemberantasan Korupsi Indonesia

22 Februari 2016   22:17 Diperbarui: 22 Februari 2016   22:31 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, waktu penyadapan dan perekaman pembicaraan yaitu 3 bulan dan bisa diperpanjang untuk waktu yang sama. Dalam hal ini, yang lebih berbahaya adalah jika mekanisme perpanjangan waktu itu sendiri malah dipersulit. Wewenang penyadapan memang tidak dicabut melainkan dibatasi, namun pembatasan ini jelas sangat melemahkan kinerja dari KPK itu.

KPK Berhak Mengeluarkan SP3

Dalam pasal 40 UU no. 30 Tahun 2002, menyatakan bahwa “Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi". Pasal ini menjelaskan bahwa KPK tidak memiliki wewenang untuk melakukan SP3. Konsekuensi dari tidak adanya wewenang untuk menerbitkan SP3 ini adalah agar KPK harus berhati-hati dalam melakukan penegakan hukum.

Sebagai lembaga yang tidak bisa menerbitkan SP3 sebagaimana Kepolisian dan Kejaksaan, kasus-kasus yang ditangani KPK haruslah melalui perencanaan yang sangat matang. Beban yang ditanggung dengan tidak adanya SP3 adalah keharusan bagi KPK untuk memperoleh bukti-bukti yang sangat kuat untuk dibawa ke pengadilan. Hal ini terbukti dari kinerja KPK yang selalu bisa membuktikan bahwa orang-orang yang ditanganinya bersalah di pengadilan .

Pemberian wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap KPK dalam undang-undang revisi ini, dikhawatirkan malah akan menurunkan kualitas KPK. Adanya SP3 disinyalir memberikan rasa aman bagi KPK untuk bertindak gegabah dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, karena tidak lagi ada tuntutan untuk mengusut suatu kasus sampai tuntas.

Lebih jauh, pemberian SP3 pada KPK memberikan peluang terjadinya transaksi kasus-kasus korupsi. Dengan adanya SP3, siapapun bisa saja menghentikan penyelidikan atau penyidikan suatu kasus, selama ia bisa melobi petinggi KPK untuk menerbitkan SP3.

KPK dan Dewan Pengawas

Dalam draft perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dinyatakan bahwa Dewan Pengawas merupakan bagian integral dari KPK. Dewan Pengawas dinyatakan memiliki wewenang untuk memberikan izin bagi KPK untuk melaksanakan beberapa mekanisme kerja, seperti penyadapan dan perekaman pembicaraan. Dewan pengawas pun berwenang dalam menetapkan kode etik pimpinan KPK.

Sayangnya, meskipun dikatakan bahwa Dewan Pengawas merupakan bagian dari KPK, namun mekanisme pemilihannya tidak dijabarkan dalam rancangan reviso UU KPK. Hal ini menunjukkan bahwa semuanya tergantung pada hak prerogatif Presiden. Dengan demikian, Dewan Pengawas justru terlihat sebagai intevensi eksekutif kepada KPK.

Lembaga KPK dipresepsi menjadi lembaga superbody, sehingga dibuatlah Dewan Pengawas yang diharapkan dapat mengawasi komisi antirasuah ini. Namun, kewenangan Dewan Pengawas dirasa terlampau jauh dan hanya akan menimbulkan dualisme kekuasaan dalam tubuh KPK. Ada Dewan Pengawas yang mengawasi KPK dan bertanggung jawab kepada Presiden, di sisi lain ada Komisioner KPK dengan segala kewenangannya masing-masing.

Hilangnya Kemandirian Rekruitmen KPK

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun