Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jokowi Menghapus FABA dari Daftar Limbah B3, Langkah Strategis atau Pengabaian Keselamatan dan Kesehatan?

15 November 2021   21:29 Diperbarui: 15 November 2021   21:31 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ditulis oleh Michael Harry Hotmaendri Manurung

        Jakarta, 12 Maret 2021 -- Presiden Joko Widodo menghapus limbah batu bara hasil pembakaran yaitu fly Ash dan bottom ash (FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya beracun (B3). Hal ini tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penetapan aturan ini tidak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan tahun 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya. Keputusan ini merupakan turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama terkait persetujuan lingkungan (perizinan lingkungan pada No. 32 Tahun 2009) yang diintegrasikan dengan perizinan berusaha.

Apa itu FABA?

        Limbah batu bara FABA merupakan partikel halus (berupa abu) sisa hasil pembakaran batubara, abu yang naik dan terbang disebut fly ash sedangkan yang tidak naik yang disebut bottom ash.  Sumber utama dari FABA berasal dari proses pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Material FABA yang dihasilkan berdasarkan jenis prosesnya terbagi menjadi dua, yaitu FABA yang berasal dari proses pembakaran batubara pada fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri (tetap dikategorikan sebagai limbah B3) dan FABA yang berasal dari proses di luar jenis itu, seperti PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker (dikategorikan sebagai sebagai limbah non-B3). Dengan kata lain, jenis FABA yang dihapus oleh Presiden Jokowi merupakan limbah FABA yang berasal dari PLTU

        Direktur Jenderal PSLB3 (Pengelolaan Sampah Limbah dan B3) Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan bahwa pembakaran batubara di kegiatan PLTU dilakukan dengan temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. Hal tersebut yang menyebabkan FABA (dan juga CCP/Coal Combustion Products) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining) serta restorasi tambang. Selain itu Vivien menegaskan, meskipun FABA dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah non-B3, persyaratan pengelolaannya tetap harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan, persyaratan teknis dan tata cara penimbunan FABA, persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA, sehingga precautionary principle untuk perlindungan lingkungan tetap menjadi kewajiban penghasil atau pengelola limbah (Perusahan dan Industri pengelola). Selain pembakaran batubara pada PLTU, pembakaran batubara dilakukan pada temperatur rendah seperti yang terjadi di tungku industri masih memiliki unburnt carbon di dalam FABA yang cukup tinggi. Hal ini mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna dan relatif tidak stabil saat disimpan sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3. 

Alasan  mengambil keputusan penghapusan limbah FABA dari B3

        Jika diamati kembali, Presiden Jokowi tidak memberikan secara jelas alasan dan latar belakang di balik keputusan tersebut. Akan tetapi, ada beberapa alasan logis di balik pengambilan keputusan ini. Saat ini jumlah FABA di Indonesia terus bertambah seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan industri manufaktur serta meningkatnya kebutuhan listrik yang dipasok PLTU. Hal ini menyebabkan FABA yang dihasilkan oleh PLTU pada 2021 mencapai 12 juta ton dan pada tahun 2027 diproyeksikan menjadi sebesar 16,2 juta ton. Hal ini menimbulkan permasalahan karena FABA yang dimanfaatkan kembali jumlahnya sangat sedikit sehingga sisanya harus disimpan atau ditimbun (landfill) menurut pernyataan Kementerian Perindustrian yang diunggah pada official website. Maka disinilah keputusan tersebut berperan dengan melakukan pemanfaatan besar-besaran terhadap limbah FABA tersebut. Industri semen merupakan industri yang bisa menjadi pengguna FABA terbesar sebab pada produksi semen Portland komposit FABA dapat digunakan hingga mencapai 35% (SNI 7064:2014). Melihat dari produksi semen portland komposit di Indonesia pada 2020 mencapai kurang lebih 34 ton maka kemungkinan FABA yang digunakan dapat mencapai 11,9 juta ton sehingga potensi pemanfaatan FABA oleh industri semen cukup besar. 

        Jika dilihat dari komposisi secara fisik, FABA memiliki kemiripan fisik dengan tanah berukuran lempung. Didalamnya terkandung banyak silika, digunakan sebagai pupuk sekunder untuk perkebunan kelapa sawit, persawahan, dan sebagainya. Melihat  sifat-sifat dan struktur dari limbah FABA, pemerintah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan banyak peluang dan cara yang dapat digunakan untuk memanfaatkan FABA dalam mengatasi peningkatannya sekaligus memberikan banyak manfaat bagi berbagai pihak. Selain itu, Vivian juga menyatakan hasil data dari uji karakteristik terhadap FABA PLTU yang dilakukan oleh Kementerian LHK tahun 2020 menunjukkan bahwa FABA PLTU masih di bawah baku mutu karakter berbahaya dan beracun. Hasil uji karakteristik menunjukkan bahwa FABA PLTU tidak mudah menyala dan tidak mudah meledak, suhu pengujian adalah di atas 140 derajat Fahrenheit. Hasil dari data inilah yang menyebabkan mengapa FABA seharusnya tidak dikategorikan sebagai limbah B3 menurut hasil riset dari KLHK.

Penghapusan FABA dari Limbah B3 di mata masyarakat dan pejuang lingkungan hidup

        Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batubara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batubara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya, yakni abu terbang dan abu padat (FABA). Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.

        "Unsur-unsur ini sifatnya karsinogenik, neurotoksik dan beracun bagi manusia, ikan, biota air, dan satwa liar. Alih-alih memperkuat implementasi pengawasan dan penjatuhan sanksi pengelolaan abu batubara dari pembangkit yang akan memperkecil risiko paparan, pemerintah justru melonggarkan aturan pengelolaan abu batubara dengan mengeluarkannya dari daftar Limbah B3," ujar Fajri Fadhillah dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Banyak laporan dan fakta atas terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga di sekitar PLTU.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun