Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Kepercayaan Bereskalasi Menjadi Ekstremisme

28 April 2021   12:47 Diperbarui: 28 April 2021   14:00 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Adityamaspurbo Nurwahyu Wibowo

“A fanatic is one who can’t change his mind and won’t change the subject”

(Winston Churcill) 

Pendahuluan tentang Fanatisme

Kata fanatik atau fanatisme berasal dari bahasa Latin, yaitu fanatice (kobaran, amukan) dan fanaticus (antusias, gembira luar biasa, fanatik, berapi-api). Secara istilah, fanatisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan atau minat ekstrem (berlebihan) yang dapat menimbulkan perilaku yang tidak masuk akal atau tindak kekerasan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa fanatik atau fanatisme merupakan antusias yang berlebihan dan tidak rasional terhadap sesuatu hal yang ada atau sebagai sebuah pengabdian terhadap suatu teori, keyakinan, ataupun tindakan yang menentukan sikap sangat emosional dan praktis tidak mengenal batas-batas (Budi, 2004).

Menurut Goddard (2001) terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi fanatisme, yaitu besarnya minat dan kecintaan pada suatu hal atau jenis kegiatan, sikap personal maupun kelompok terhadap suatu hal atau kegiatan, durasi atau lamanya individu menekuni suatu hal atau jenis kegiatan tertentu, dan motivasi dari lingkungan keluarga yang memiliki pengaruh terhadap suatu hal atau kegiatan yang ditekuninya.

Sejarah Singkat Fanatisme

Bila ditarik benang merah mengenai eksistensi fanatisme, sebenarnya fenomena ini telah muncul di tengah masyarakat pada beberapa waktu abad silam. Salah satu contoh populer mengenai fanatisme yang timbul di masyarakat adalah sikap fanatisme gereja pada Abad Pertengahan di Benua Eropa atau lebih dikenal sebagai Abad Kegelapan (Dark Ages). Sebutan tersebut muncul karena antipati dan sikap skeptis yang ditunjukkan oleh masyarakat Eropa pada saat itu terhadap kebenaran yang diajarkan oleh gereja.

Sumber ketidakpercayaan yang mendalam terhadap ajaran gereja bermuara dari begitu banyaknya korban akibat memegang keyakinan secara membuta (blind devotion) terhadap dogma gereja beserta segenap ajarannya, tanpa dilandasi dengan fakta yang objektif. Gereja Katolik pada masa itu juga terkenal dalam mencegah fakta kebenaran maupun ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan ajaran gereja yang bersumber pada kitab suci. Begitu banyak orang yang dipenjarakan, disiksa bahkan dibunuh karena hal tersebut.

Salah satu ilmuwan yang mendapat tindak persekusi akibat pemikirannya yang dianggap sesat dan bertentangan dengan ajaran gereja pada saat itu adalah Galileo Galilei, seorang ilmuwan penemu teleskop yang mendukung teori Corpenicus mengenai matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris) yang mendapat penolakan keras dari pihak gereja. Hal itu disebabkan oleh gereja yang masih mempercayai teori Ptolomeus yang mendapatkan pembenaran dari Alkitab, bahwa bumi sebagai pusat tata surya (geosentris). 

Mirisnya, fanatisme ini masih terus berlanjut hingga pada masa Aufklarung (Abad Pencerahan) pada kisaran Abad XVIII. Hal itu dapat dibuktikan dengan prinsip Absolutisme yang banyak dianut oleh sebagian dari para penguasa di Eropa. Adapun para tokohnya adalah Raja Phillipus II, Louis XVI, Ratu Elizabeth I dari Inggris, dan masih banyak lagi penguasa Eropa lainnya, terutama wilayah Eropa Barat.

Paham Absolutisme ini dapat berkembang dengan baik pada saat itu dikarenakan secara sosial, masyarakat pada saat itu hidup di dalam sistem hierarki yang kental, sehingga begitu seseorang lahir, mereka hanya memiliki satu tugas, yaitu hanya melaksanakan tugas-tugasnya saja. Hal itu diperparah dengan adanya privilege (hak istimewa) yang dimiliki oleh sebagian kecil kelompok dan paham tersebut terus dipertahankan dengan ketaatan buta, di mana masyarakat percaya bahwa mereka yang memiliki privilege terus mengumpulkan harta, kekuasaan, kedudukan, status sosial, dan sebagainya. Sedangkan, mereka unprivilege (tidak memiliki hak istimewa) terus menjalani hidup dalam keadaan ekonomi memelas, tidak memiliki hak berpendapat, dan tidak memiliki hak politik sama sekali.

Sebagai contoh, para penguasa secara politis menyatakan diri bahwa mereka bebas (absolutus) dan luput dari setiap otoritas lain (yang berasal dari pihak eskternal), serta mengenal istilah rex in suo regno est imperator! yang artinya “seorang raja di dalam kerajaannya adalah seorang kaisar”. Lalu, pandangan politik mereka terhadap pihak intern adalah penguasa melakukan pemusatan kekuasaan sehingga muncul istilah “Di tangan raja terkumpullah semua kekuasaan secara menyeluruh, tidak terbagi dan tidak dapat diganggu gugat.” (summa in cives ac subditor legisbusque soluta potestas). (Bussi, 1985 : 445).

Faktor Yang Dapat Memunculkan Fanatisme

Fanatisme dapat timbul karena disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Andar Ismail (2008), antusiasme berlebihan yang didasari atas emosi yang tak terkendali, bukan berdasarkan akal sehat, dapat membuat orang yang fanatik melakukan hal yang tak sebanding dengan hal yang ingin dicapai, sehingga melakukan hal-hal negatif dan cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain. Faktor lainnya adalah pendidikan yang dapat dipahami sebagai suatu keadaan ketika seseorang diberi pengajaran secara terus menerus tanpa diimbangi oleh wawasan yang luas sehingga menghasilkan pembentukan diri yang dipaksakan dengan kecenderungan penanaman bibit fanatisme yang negatif dalam diri individu tersebut.

Selain itu, Haryatmoko (2003) berpendapat bahwa terdapat faktor yang dapat mempengaruhi fanatisme seseorang, yaitu memperlakukan kelompok tertentu sebagai ideologi, hal ini dapat terjadi ketika ada suatu kelompok yang mempunyai pemahaman eksklusif dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Lalu, terdapatnya standar ganda, yaitu antar kelompok yang berbeda selalu memakai standar yang berbeda untuk kelompoknya masing-masing. Fanatisme juga dapat timbul ketika komunitas dijadikan legitimasi etis hubungan sosial, maksudnya bukan sikap yang mensakralisasi hubungan sosial, tetapi pengklaiman tatanan sosial tertentu yang mendapat dukungan dari kelompok tertentu. Faktor terakhir ialah klaim kepemilikan organisasi oleh kelompok tertentu yang artinya seseorang sering kali mengidentikkan kelompok sosialnya dengan organisasi tertentu yang berperan aktif dan hidup di masyarakat.

Fanatisme Yang Marak Sekarang

Belakangan ini, fanatisme seakan menjadi kebiasaan dan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, bentuk fanatisme yang paling marak dan terkenal adalah fanatisme para K-popers (sebutan bagi para penggemar aliran musik K-pop) yang kebanyakan berusia remaja. Perilaku tersebut telah menimbulkan kontroversi, di mana terdapat pihak yang menganggap hal tersebut positif, yaitu sebagai wadah solidaritas antar sesama K-popers dan pihak yang menanggapi hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif, yaitu menjadikan mereka kurang produktif karena sibuk menghabiskan waktu mereka dengan segala hal yang berkaitan dengan K-pop.

 Terdapat beberapa perilaku fanatik (fanatical behaviors) yang ditunjukkan, dari hal yang ringan, seperti menghabiskan banyak waktu untuk mencari informasi terbaru mengenai idola mereka, meniru gaya hidup (lifestyle) idola mereka, hingga meningkat ke tingkat yang lebih berat, seperti celebrity worship sindrome (individu menjadi terobsesi kepada seseorang dan pengidapnya tidak terima idolanya memiliki pencitraan yang buruk atau dihina oleh orang lain) ataupun perilaku agresif verbal antar penggemar (K-Pop Fans) di media sosial, yaitu dengan cara menyakiti, mendebat, dan menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan atas idola masing-masing atau lebih dikenal dengan sebutan fanwar.

Dampak Yang Ditimbulkan Fanatisme

Fanatisme sebagai suatu kepercayaan atau minat yang ekstrem terhadap suatu hal tentu akan memicu beberapa gangguan pada beberapa aspek kehidupan, seperti aspek psikologi dan aspek sosial. Berdasarkan aspek psikologi, fanatisme dapat memicu gangguan disosiatif pada individu yang terkait. Kondisi ini dapat terjadi  ketika seseorang mengalami gangguan parah pada identitas, ingatan, serta kesadaran diri sendiri dan lingkungannya. Kondisi seperti ini dapat disebut sebagai kepribadian ganda.

Secara aspek sosial, fanatisme dapat menimbulkan berbagai implikasi, salah satunya adalah etnosentrisme. Menurut King (2014 : 213) etnosentrisme merupakan kecenderungan seseorang untuk mendukung kelompok etnisnya sendiri daripada kelompok lain. Individu yang mempunyai sikap seperti ini menganggap kelompoknya lebih unggul daripada kelompok lain, baik berupa nilai-nilai, norma sosial, maupun budaya kelompoknya. Etnosentrisme juga termasuk ke dalam sikap diskriminatif dan menghasilkan sinisme yang mengakibatkan terjadinya sebuah permusuhan antarkelompok.

Kesimpulan

Sebagai makhluk yang berakal dan berbudi, sudah sewajarnya jika manusia memiliki minat atau rasa ketertarikan akan suatu hal, baik berupa kepercayaan maupun benda. Tetapi, hal ini akan mengancam jika rasa ketertarikan tersebut menjadi ekstrem (berlebihan) dan hal itu disebut sebagai fanatisme.

Individu yang fanatik cenderung akan memaksakan gagasan pikirannya ataupun hal yang ia percayai agar diterima oleh masyarakat, bahkan dengan cara anarkisme dan kekerasan sekalipun. Padahal, hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat dan gangguan lainnya, bahkan gangguan pada mental individunya. Maka dari itu, penulis mengajak para pembaca untuk memercayai atau menyukai suatu hal dalam batas wajar dan lebih menghargai perbedaan yang ada di masyarakat dengan pikiran jernih dan penuh toleransi.

Daftar Pustaka

Abidin, Z., Tayo, Y., & Mayasari. (2018). Fanaticism of a Korean Boy Band, “Shinee” as Perceived by K-Popers "Shinee World Indonesia" in Karawang Regency. International Journal of Engineering & Technology, 74-79. Dipetik April 24, 2021.

Anonim. (t.thn.). GEREJA DAN ILMU PENGETAHUAN: Sejarah Panjang Perjuangan Mencari. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata. Dipetik April 20, 2021.

Bosanquet, B. (1902). The Dark Ages and the Renaissance. The International Journal of Ethics, 195-204.

Eliani, J., Yuniardi, M. S., & Masturah, A. N. (2018). Fanatisme dan Perilaku Agresif Verbal di Media Sosial pada Penggemar Idola K-Pop. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikolog, 59-72. Dipetik April 21, 2021.

Herlambang, B. (2018). Hubungan antara kesepian (loneliness) dengan kecenderungan fanatik terhadap hewan pada komunitas pecinta hewan. Undergraduate thesis, 7-23. Dipetik April 20, 2021.

Kristiyanto, E. (2005). Absolutisme Negara dan Lembaga Agama : Pasca Aufklarung di Eropa. Melintas, 211-230.

Marimaa, K. (2011). The Many Faces of Fanaticism. KVÜÕA toimetised, 29-55. Dipetik April 21, 2021.

Mulyapranata, A. S. (t.thn.). Apakah Fanatisme Merupakan Gangguan Kejiwaan ? Diambil kembali dari RS Awal Bros.

Supelli, K., & dkk. (2011). Fanatisme, Ekstremisme, dan Penyingkiran Cara Antropologis Pengetahuan. Jakarta: Mizan Publika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun