Paham Absolutisme ini dapat berkembang dengan baik pada saat itu dikarenakan secara sosial, masyarakat pada saat itu hidup di dalam sistem hierarki yang kental, sehingga begitu seseorang lahir, mereka hanya memiliki satu tugas, yaitu hanya melaksanakan tugas-tugasnya saja. Hal itu diperparah dengan adanya privilege (hak istimewa) yang dimiliki oleh sebagian kecil kelompok dan paham tersebut terus dipertahankan dengan ketaatan buta, di mana masyarakat percaya bahwa mereka yang memiliki privilege terus mengumpulkan harta, kekuasaan, kedudukan, status sosial, dan sebagainya. Sedangkan, mereka unprivilege (tidak memiliki hak istimewa) terus menjalani hidup dalam keadaan ekonomi memelas, tidak memiliki hak berpendapat, dan tidak memiliki hak politik sama sekali.
Sebagai contoh, para penguasa secara politis menyatakan diri bahwa mereka bebas (absolutus) dan luput dari setiap otoritas lain (yang berasal dari pihak eskternal), serta mengenal istilah rex in suo regno est imperator! yang artinya “seorang raja di dalam kerajaannya adalah seorang kaisar”. Lalu, pandangan politik mereka terhadap pihak intern adalah penguasa melakukan pemusatan kekuasaan sehingga muncul istilah “Di tangan raja terkumpullah semua kekuasaan secara menyeluruh, tidak terbagi dan tidak dapat diganggu gugat.” (summa in cives ac subditor legisbusque soluta potestas). (Bussi, 1985 : 445).
Faktor Yang Dapat Memunculkan Fanatisme
Fanatisme dapat timbul karena disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Andar Ismail (2008), antusiasme berlebihan yang didasari atas emosi yang tak terkendali, bukan berdasarkan akal sehat, dapat membuat orang yang fanatik melakukan hal yang tak sebanding dengan hal yang ingin dicapai, sehingga melakukan hal-hal negatif dan cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain. Faktor lainnya adalah pendidikan yang dapat dipahami sebagai suatu keadaan ketika seseorang diberi pengajaran secara terus menerus tanpa diimbangi oleh wawasan yang luas sehingga menghasilkan pembentukan diri yang dipaksakan dengan kecenderungan penanaman bibit fanatisme yang negatif dalam diri individu tersebut.
Selain itu, Haryatmoko (2003) berpendapat bahwa terdapat faktor yang dapat mempengaruhi fanatisme seseorang, yaitu memperlakukan kelompok tertentu sebagai ideologi, hal ini dapat terjadi ketika ada suatu kelompok yang mempunyai pemahaman eksklusif dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Lalu, terdapatnya standar ganda, yaitu antar kelompok yang berbeda selalu memakai standar yang berbeda untuk kelompoknya masing-masing. Fanatisme juga dapat timbul ketika komunitas dijadikan legitimasi etis hubungan sosial, maksudnya bukan sikap yang mensakralisasi hubungan sosial, tetapi pengklaiman tatanan sosial tertentu yang mendapat dukungan dari kelompok tertentu. Faktor terakhir ialah klaim kepemilikan organisasi oleh kelompok tertentu yang artinya seseorang sering kali mengidentikkan kelompok sosialnya dengan organisasi tertentu yang berperan aktif dan hidup di masyarakat.
Fanatisme Yang Marak Sekarang
Belakangan ini, fanatisme seakan menjadi kebiasaan dan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, bentuk fanatisme yang paling marak dan terkenal adalah fanatisme para K-popers (sebutan bagi para penggemar aliran musik K-pop) yang kebanyakan berusia remaja. Perilaku tersebut telah menimbulkan kontroversi, di mana terdapat pihak yang menganggap hal tersebut positif, yaitu sebagai wadah solidaritas antar sesama K-popers dan pihak yang menanggapi hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif, yaitu menjadikan mereka kurang produktif karena sibuk menghabiskan waktu mereka dengan segala hal yang berkaitan dengan K-pop.
Terdapat beberapa perilaku fanatik (fanatical behaviors) yang ditunjukkan, dari hal yang ringan, seperti menghabiskan banyak waktu untuk mencari informasi terbaru mengenai idola mereka, meniru gaya hidup (lifestyle) idola mereka, hingga meningkat ke tingkat yang lebih berat, seperti celebrity worship sindrome (individu menjadi terobsesi kepada seseorang dan pengidapnya tidak terima idolanya memiliki pencitraan yang buruk atau dihina oleh orang lain) ataupun perilaku agresif verbal antar penggemar (K-Pop Fans) di media sosial, yaitu dengan cara menyakiti, mendebat, dan menunjukkan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan atas idola masing-masing atau lebih dikenal dengan sebutan fanwar.
Dampak Yang Ditimbulkan Fanatisme
Fanatisme sebagai suatu kepercayaan atau minat yang ekstrem terhadap suatu hal tentu akan memicu beberapa gangguan pada beberapa aspek kehidupan, seperti aspek psikologi dan aspek sosial. Berdasarkan aspek psikologi, fanatisme dapat memicu gangguan disosiatif pada individu yang terkait. Kondisi ini dapat terjadi ketika seseorang mengalami gangguan parah pada identitas, ingatan, serta kesadaran diri sendiri dan lingkungannya. Kondisi seperti ini dapat disebut sebagai kepribadian ganda.
Secara aspek sosial, fanatisme dapat menimbulkan berbagai implikasi, salah satunya adalah etnosentrisme. Menurut King (2014 : 213) etnosentrisme merupakan kecenderungan seseorang untuk mendukung kelompok etnisnya sendiri daripada kelompok lain. Individu yang mempunyai sikap seperti ini menganggap kelompoknya lebih unggul daripada kelompok lain, baik berupa nilai-nilai, norma sosial, maupun budaya kelompoknya. Etnosentrisme juga termasuk ke dalam sikap diskriminatif dan menghasilkan sinisme yang mengakibatkan terjadinya sebuah permusuhan antarkelompok.