Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FEB UGM
KASTRAT BEM FEB UGM Mohon Tunggu... Penulis - Kabinet Harmoni Karya

Akun Resmi Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Coronanomics : Kapasitas Sistem Kesehatan dan Lambannya Aksi Pemerintah

2 Juni 2020   17:22 Diperbarui: 3 Juni 2020   15:28 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh Arief Rajendra (Ilmu Ekonomi 2019)

Kapasitas sistem kesehatan di Indonesia merupakan aspek yang terpenting dalam mengurangi korban pandemi COVID-19. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan sistem kesehatan yang memadai agar korban dapat sembuh. Selain itu, dengan lebih banyak pasien yang sembuh, Indonesia akan lebih cepat mengembangkan herd immunity. Namun, apakah sistem kesehatan Indonesia benar-benar memadai untuk membantu kami melewati masa krisis pandemi COVID-19? 

Health Before Wealth (Kesehatan Sebelum Kekayaan)

Salah satu aspek penting untuk menangani penyebaran Covid-19, menurut Tikki Pangestu, seorang profesor di National University of Singapore, dalam seminarnya dengan lembaga riset CSIS, adalah speed of reaction (Pangestu 2020). Menurutnya, Singapura telah berhasil dalam menangani Covid-19 dengan cepat adalah karena adanya pelayanan kesehatan yang berkualitas, social capital, dan good governance. Tiga pilar ini merupakan aspek-aspek terpenting dalam penanganan COVID-19 yang dilakukan secara efektif dan efisien. Jika tiga pilar tersebut dapat dipenuhi oleh pemerintah. Maka, Indonesia juga dapat mengurangi dampak COVID-19 secepat mungkin.

Selain itu, dari sisi ekonomi, trade-off antara perekonomian dan kesehatan juga harus dipertimbangkan. Walaupun banyak yang bersikeras bahwa kesehatan masyarakat harus selalu diutamakan ketimbang kesehatan ekonomi, tetap saja pemerintah harus mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian negara. Hal yang penting untuk diingat saat ini adalah akibat adanya pandemi, kapasitas produksi akan jauh berbeda dibandingkan pada saat kondisi normal. 

Figur 1 : Kurva Kemungkinan Produksi saat Normal (Source : Gans, 2020)
Figur 1 : Kurva Kemungkinan Produksi saat Normal (Source : Gans, 2020)

Figur 2 : Kemungkinan Produksi Saat Pandemi (Source : Gans, 2020)
Figur 2 : Kemungkinan Produksi Saat Pandemi (Source : Gans, 2020)
Menurut Joshua Gans, ekonom dari University of Toronto, jika dilakukan perbandingan produksi antara ekonomi dan kesehatan. Maka, situasi pandemi akan menurunkan kemungkinan produksi untuk kedua aspek tersebut (Gans n.d 2020.). Situasi pandemi juga akan membuat area konveks di Figur 2. Hal ini terjadi karena, sebagai contoh, social distancing harus dilakukan dengan skala besar untuk mencapai titik H di Figur 2. Jika hanya dilakukan dalam skala minim, maka kesehatan masyarakat tidak akan membaik karena infeksi virus akan terus bertamhah dengan cepat. Social distancing juga akan sangat berdampak terhadap ekonomi, sehingga terjadilah konveksitas dalam PPF. Oleh karena itu, dalam masa pandemi, perekonomian dunia pasti akan menderita.

Tikki Pangestu juga mengungkapkan mengenai butuhnya kecepatan aksi dari pemerintah, karena pandemi juga akan terus menguras kapasitas kesehatan dalam negara. Ini selaras dengan penjelasan Gans karena jika pemerintah tidak melakukan mitigasi sejak dini, level kesehatan di Figur 2 akan terus menurun karena bertambahnya orang yang terinfeksi corona serta terjadinya penularan COVID-19 pada tenaga kesehatan. Perubahan dalam tingkat kesehatan yang menurun bisa dilihat pada Figur 3.

Figur 3 : Pergeseran Kurva Kemungkinan Produksi Setelah Pandemi Dibiarkan Beredar (Source : Gans, 2020)
Figur 3 : Pergeseran Kurva Kemungkinan Produksi Setelah Pandemi Dibiarkan Beredar (Source : Gans, 2020)

Figur 4 : Pergeseran Akhir Kurva Kemungkinan Produksi Setelah Pandemi Dibiarkan Beredar (Source : Gans, 2020)
Figur 4 : Pergeseran Akhir Kurva Kemungkinan Produksi Setelah Pandemi Dibiarkan Beredar (Source : Gans, 2020)

Masalah yang terakhir adalah jika pemerintah tidak melakukan tindakan apapun atau jauh lebih mementingkan perekonomian ketimbang kesehatan masyarakat. Maka, dapat terjadi seperti pada Figur 4, yakni tingkat kesehatan tidak dapat diubah meskpun pemerintah menambahkan anggaran untuk kesehatan. Pada saat tersebut, tingkat kesehatan tidak bisa diubah lagi karena kapasitas tenaga kesehatan sangat tidak memadai, sehingga masyarakat yang terinfeksi COVID-19 di atas tingkat kesehatan pada Figur 4 tidak bisa diselamatkan. Inilah mengapa kapasitas kesehatan dan speed of reaction sangat penting saat pandemi terjadi. Jika terjadi kelambanan di sisi pemerintah dalam penanganan pandemi. Maka, kemungkinan terbesar yang mungkin terjadi adalah korban nyawa menjadi lebih banyak.

Kapasitas di Indonesia yang Sangat Kurang Memadai 

Patut diakui jika kapasitas kesehatan di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Akhmad Rizal Shidiq, asisten profesor dari Leiden University menyebutkan bahwa kebutuhan esensial untuk merawat pasien COVID-19, seperti ventilator, tempat tidur rumah sakit, dan unit gawat darurat (UGD) masih belum memadai dalam skenario rendah maupun tinggi (Shidiq 2020). 

Figur 5 : Prediksi Jumlah Kasus COVID-19 yang Perlu Perawatan di RS Menurut Beberapa Intrevensi (Source : Ariawan et al., 2020)
Figur 5 : Prediksi Jumlah Kasus COVID-19 yang Perlu Perawatan di RS Menurut Beberapa Intrevensi (Source : Ariawan et al., 2020)

Shidiq (2020) menggunakan model Ariawan et al. (2020) untuk analisis mengenai kapasitas sistem kesehatan di Indonesia, seperti yang terlihat pada Figur 5. Dari data tersebut diasumsikan hanya rumah sakit tipe A dan B yang mempunyai kapasitas total hospital bed dalam rumah sakit sebanyak 110,000 hospital bed. Namun, masalah lain adalah adanya hospital bed yang digunakan untuk penyakit lain, yaitu 77% ("SMI_Insight_Q4_2016_IND.Pdf" n.d.). Oleh karena itu, hanya 23% (25,000) hospital bed yang dapat digunakan untuk pasien COVID-19. Masalah muncul jika terdapat asumsi bahwa kebijakan pemerintah telah mencapai intensitas moderat. Maka, masih dibutuhkan sebanyak 80,000 tempat tidur rumah sakit untuk merawat pasien COVID-19.

Selain itu, Shidiq (2020) menjelaskan mengenai kebutuhan spesifik dalam penanggulangan COVID-19, seperti UGD, ventilator, dan alat pelindung diri (APD) dalam dua skenario rendah dan tinggi. Dengan asumsi 23% dari jumlah hospital bed yang tersedia untuk pasien COVID-19. Patut disayangkan bahwa baik skenario rendah atau tinggi, persediaan kebutuhan kesehatan di Indonesia masih belum memadai. Dalam persediaan UGD, Indonesia mempunyai 8,000 unit untuk semua tipe UGD ("Aplicares" n.d.). Padahal, dibutuhkan sebanyak 14,700 unit dalam skenario rendah dan 31,500 unit dalam skenario tinggi. Sementara itu, tempat tidur UGD yang masih tersedia di Indonesia hanya 3,300 unit, jumlahnya jauh dibawah kebutuhan. Jika kami menggunakan asumsi 77% dari 8,000 unit UGD telah digunakan untuk pasien selain COVID-19, maka hanya akan ada 1850 unit yang tersedia.

Persediaan ventilator di Indonesia juga sangat kurang memadai. Hanya tersedia sebanyak 8,400 unit ventilator terhitung pada tanggal 22 Maret 2020 oleh Kementerian Kesehatan. Jika semua pasien COVID-19 di UGD membutuhkan ventilator. Maka, dibutuhkan setidaknya 6,300 unit pada skenario rendah dan 23,100 unit pada skenario tinggi. Jika digunakan asumsi 77% telah digunakan untuk pasien selain COVID-19. Maka, masih dibutuhkan 12,800 unit dalam skenario rendah dan 29,600 unit dalam skenario tinggi (Shidiq 2020).

Bagaimana kesiapan pemerintah menghadapi  COVID-19?

Dzakwan (2020) menekankan bahwa sebaiknya keterlibatan pemerintah daerah harus diperkuat dalam upaya melawan pandemi ini, tidak hanya terfokus pada pemerintah pusat saja. Selain itu, masalah perpolitikan juga menghambat penanganan COVID-19. Sejak awal adanya COVID-19 diberitakan di seluruh dunia, pemerintah lebih sering menghimbau masyarakat untuk tidak panik dengan menyepelekan potensi COVID-19 masuk Indonesia. Hal tersebut berdampak pada penanganan pandemi yang lambat dan kurang efektif. 

Selain itu, terdapat juga konflik antara pemerintah daerah dan kapasitas daerah dalam menangani COVID-19. Contohnya adalah keinginan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk melakukan lockdown yang malah dihentikan oleh pemerintah pusat. Menurut Faisal Basri, tindakan tersebut aneh karena Jakarta adalah episentrum COVID-19, sehingga lockdown di Jakarta justru akan lebih baik untuk menghentikan penyebaran COVID-19 ke provinsi-provinsi lainnya (Victoria 2020). Dengan perlambatan lockdown di Jakarta, justru seluruh daerah di Indonesia semakin terancam.

 Berikut Grafik 1 : Klasifikasi Kesiapsiagaan Daerah Menangani COVID-19

6-5ed6263bd541df61b9648872.png
6-5ed6263bd541df61b9648872.png
Mengingat bahwa kapasitas medis Indonesia belum memadai, permasalahan politik dan kelambanan dalam melakukan lockdown di epicentrum COVID-19 akan memperberat penanganan pandemi ini kedepannya. Dari grafik 1, bisa dilihat masih banyak provinsi Indonesia yang belum mencapai kondisi ideal untuk menangani pandemi, yaitu kondisi pada kuadran IV. Pada grafik tersebut, X-axis merupakan total RS (rumah sakit) rujukan dan Y-axis adalah median total pasien potensial. Melihat banyaknya provinsi yang belum mendekati kondisi ideal, pemerintah pusat sebaiknya fokus memberikan bantuan lebih kepada daerah- daerah tersebut, terlebih provinsi- provinsi yang terletak di kuadran I. 

Masalah yang terjadi di kuadran I, II, dan III, sangat bervariasi. Kuadran I merupakan kondisi terburuk, artinya pasien potensial terkena COVID-19 sangat banyak dan RS rujukan terbatas. Provinsi-provinsi dalam Kuadran III juga terancam masuk Kuadran I, jika pasien potensial bertambah secara drastis. Dalam Kuadran II, walaupun RS rujukan dan pasien potensial relatif imbang, kondisi ini belum ideal karena pasien potensial sangat banyak dan tenaga kesehatan pun dapat terinfeksi, sehingga efektifitas dan efisiensi penanganan COVID-19 akan menurun. Dilihat dari segi ini, pemerintah pusat harus memusatkan kinerjanya untuk membantu daerah mencapai kondisi ideal dan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk menanggulangi pandemi ini secepat mungkin. 

Indonesia juga memiliki masalah under reporting dan underestimating. Menurut Dr. Pandu Riono, epidemiolog Universitas Indonesia, sebenarnya kasus COVID-19 di Indonesia mungkin 10 atau 20 kali lipat dibandingkan apa yang diberitahukan oleh pemerintah (Satrio 2020). Oleh karena itu, kurangnya kapasitas melakukan tes massal dan sifat meremehkan pandemi tersebut justru menjadikan Indonesia semakin rentan terhadap COVID-19. 

Kesimpulannya, pemerintah pusat dituntut untuk bereaksi dengan cepat guna menghentikan pandemi ini. COVID-19 bisa menjadi pelajaran untuk pemerintah jika terjadi lagi pandemi seperti ini, sehingga kita bisa melakukan penanganan sebaik mungkin. Seperti Singapura yang dapat menanggulangi COVID-19 lebih cepat karena kesiapan dan pengalamannya dalam menghadapi SARS (Pangestu 2020). Oleh karena itu, kedepannya diharapkan pemerintah dapat belajar dari pengalaman COVID-19 agar kedepannya Indonesia lebih siap menghadapi wabah atau pandemi.

Referensi

"Aplicares." n.d. Accessed April 15, 2020. https://faskes.bpjs-kesehatan.go.id/aplicares/#/app/dashboard.

Dzakwan, Muhammad Habib Abiyan. 2020. "Memetakan Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Menangani COVID-19 | CSIS." Https://Www.Csis.or.Id/. April 1, 2020. https://www.csis.or.id/publications/memetakan-kesiapan-pemerintah-daerah-dalam-menangani-covid-19/.

Gans, Joshua. 2020. "Health Before Wealth: The Economic Logic." Medium. March 25, 2020. https://medium.com/@joshgans/health-before-wealth-the-economic-logic-9c5414ae259c.

Pangestu, TIkki. 2020. COVID-19: How Should We Respond? What Lies Ahead? Lessons from Singapore - Prof. Tikki Pangestu. https://www.youtube.com/watch?v=-QvXh_6S_g0.

Satrio, Dimas. 2020. "Narasi.tv | Apakah Data COVID-19 Pemerintah Bisa Dipercaya?" Narasi.tv. 2020. www.narasi.tv/buka-mata/apakah-data-covid-19-pemerintah-bisa-dipercaya?utm_source=fbgrowth&utm_medium=page-najwashihab&utm_campaign=bukamata&utm_content=apakah-data-covid-19-pemerintah-bisa-dipercaya.

Shidiq, Akhmad Rizal. 2020. "Our Health System Capacity vs the Demand from a Large-Scale Social Distancing Policy | CSIS." April 8, 2020. https://www.csis.or.id/publications/our-health-system-capacity-vs-the-demand-from-a-large-scale-social-distancing-policy.

Victoria, Agatha Olivia. 2020. "Faisal Basri Minta Pemerintah Segera Lockdown agar Ekonomi Cepat Pulih - Katadata.co.id." March 27, 2020. https://katadata.co.id/berita/2020/03/27/faisal-basri-minta-pemerintah-segera-lockdown-agar-ekonomi-cepat-pulih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun