Patut diakui jika kapasitas kesehatan di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Akhmad Rizal Shidiq, asisten profesor dari Leiden University menyebutkan bahwa kebutuhan esensial untuk merawat pasien COVID-19, seperti ventilator, tempat tidur rumah sakit, dan unit gawat darurat (UGD) masih belum memadai dalam skenario rendah maupun tinggi (Shidiq 2020).Â
Shidiq (2020) menggunakan model Ariawan et al. (2020) untuk analisis mengenai kapasitas sistem kesehatan di Indonesia, seperti yang terlihat pada Figur 5. Dari data tersebut diasumsikan hanya rumah sakit tipe A dan B yang mempunyai kapasitas total hospital bed dalam rumah sakit sebanyak 110,000 hospital bed. Namun, masalah lain adalah adanya hospital bed yang digunakan untuk penyakit lain, yaitu 77% ("SMI_Insight_Q4_2016_IND.Pdf" n.d.). Oleh karena itu, hanya 23% (25,000) hospital bed yang dapat digunakan untuk pasien COVID-19. Masalah muncul jika terdapat asumsi bahwa kebijakan pemerintah telah mencapai intensitas moderat. Maka, masih dibutuhkan sebanyak 80,000 tempat tidur rumah sakit untuk merawat pasien COVID-19.
Selain itu, Shidiq (2020) menjelaskan mengenai kebutuhan spesifik dalam penanggulangan COVID-19, seperti UGD, ventilator, dan alat pelindung diri (APD) dalam dua skenario rendah dan tinggi. Dengan asumsi 23% dari jumlah hospital bed yang tersedia untuk pasien COVID-19. Patut disayangkan bahwa baik skenario rendah atau tinggi, persediaan kebutuhan kesehatan di Indonesia masih belum memadai. Dalam persediaan UGD, Indonesia mempunyai 8,000 unit untuk semua tipe UGD ("Aplicares" n.d.). Padahal, dibutuhkan sebanyak 14,700 unit dalam skenario rendah dan 31,500 unit dalam skenario tinggi. Sementara itu, tempat tidur UGD yang masih tersedia di Indonesia hanya 3,300 unit, jumlahnya jauh dibawah kebutuhan. Jika kami menggunakan asumsi 77% dari 8,000 unit UGD telah digunakan untuk pasien selain COVID-19, maka hanya akan ada 1850 unit yang tersedia.
Persediaan ventilator di Indonesia juga sangat kurang memadai. Hanya tersedia sebanyak 8,400 unit ventilator terhitung pada tanggal 22 Maret 2020 oleh Kementerian Kesehatan. Jika semua pasien COVID-19 di UGD membutuhkan ventilator. Maka, dibutuhkan setidaknya 6,300 unit pada skenario rendah dan 23,100 unit pada skenario tinggi. Jika digunakan asumsi 77% telah digunakan untuk pasien selain COVID-19. Maka, masih dibutuhkan 12,800 unit dalam skenario rendah dan 29,600 unit dalam skenario tinggi (Shidiq 2020).
Bagaimana kesiapan pemerintah menghadapi  COVID-19?
Dzakwan (2020) menekankan bahwa sebaiknya keterlibatan pemerintah daerah harus diperkuat dalam upaya melawan pandemi ini, tidak hanya terfokus pada pemerintah pusat saja. Selain itu, masalah perpolitikan juga menghambat penanganan COVID-19. Sejak awal adanya COVID-19 diberitakan di seluruh dunia, pemerintah lebih sering menghimbau masyarakat untuk tidak panik dengan menyepelekan potensi COVID-19 masuk Indonesia. Hal tersebut berdampak pada penanganan pandemi yang lambat dan kurang efektif.Â
Selain itu, terdapat juga konflik antara pemerintah daerah dan kapasitas daerah dalam menangani COVID-19. Contohnya adalah keinginan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, untuk melakukan lockdown yang malah dihentikan oleh pemerintah pusat. Menurut Faisal Basri, tindakan tersebut aneh karena Jakarta adalah episentrum COVID-19, sehingga lockdown di Jakarta justru akan lebih baik untuk menghentikan penyebaran COVID-19 ke provinsi-provinsi lainnya (Victoria 2020). Dengan perlambatan lockdown di Jakarta, justru seluruh daerah di Indonesia semakin terancam.
 Berikut Grafik 1 : Klasifikasi Kesiapsiagaan Daerah Menangani COVID-19
Masalah yang terjadi di kuadran I, II, dan III, sangat bervariasi. Kuadran I merupakan kondisi terburuk, artinya pasien potensial terkena COVID-19 sangat banyak dan RS rujukan terbatas. Provinsi-provinsi dalam Kuadran III juga terancam masuk Kuadran I, jika pasien potensial bertambah secara drastis. Dalam Kuadran II, walaupun RS rujukan dan pasien potensial relatif imbang, kondisi ini belum ideal karena pasien potensial sangat banyak dan tenaga kesehatan pun dapat terinfeksi, sehingga efektifitas dan efisiensi penanganan COVID-19 akan menurun. Dilihat dari segi ini, pemerintah pusat harus memusatkan kinerjanya untuk membantu daerah mencapai kondisi ideal dan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk menanggulangi pandemi ini secepat mungkin.Â
Indonesia juga memiliki masalah under reporting dan underestimating. Menurut Dr. Pandu Riono, epidemiolog Universitas Indonesia, sebenarnya kasus COVID-19 di Indonesia mungkin 10 atau 20 kali lipat dibandingkan apa yang diberitahukan oleh pemerintah (Satrio 2020). Oleh karena itu, kurangnya kapasitas melakukan tes massal dan sifat meremehkan pandemi tersebut justru menjadikan Indonesia semakin rentan terhadap COVID-19.Â