Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI 2021
Kastrat BEM UI 2021 Mohon Tunggu... Mahasiswa - BEM UI 2021

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI 2021 terhadap sebuah isu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belenggu Masyarakat Adat dalam Warisan Hukum Kolonial: Ditinjau dari Pemikiran Post-Kolonialisme

22 Desember 2021   15:00 Diperbarui: 22 Desember 2021   15:03 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ditulis oleh

Revisa Ayunda

Tahun 1978 menjadi tahun pembuka bagi diskursus mengenai studi poskolonialisme dengan diterbitkannya buku Orientalisme karya Edward Said. Said memulai studi poskolonialisme dengan postulatnya mengenai hegemoni kekuasaan kolonialisme yang ia nilai tidak hanya melibatkan serdadu dan meriam, tetapi juga melibatkan suatu sistem dominasi yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan, dan imajinasi penguasa (Said, 2003). Dengan kata lain, kolonialisme tidak hanya dibangun oleh dominasi ekonomi dan militer, tetapi juga dibangun oleh dominasi dalam bidang pengetahuan melalui tulisan-tulisan, lukisan, dan cara berpikir Barat mengenai dunia Timur. Dalam hal ini, pemikiran Said dibangun berdasarkan argumen Foucault yang mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan bagian dari suatu kekuasaan. Tak pelak wacana-wacana mengenai dunia Timur menjadi justifikasi terhadap tindakan eksploitasi dan kolonialisasi negara-negara Barat terhadap negara Timur. Barat tidak hanya merasa memiliki hak untuk melakukan kolonialisasi, tetapi juga secara moral merasa bahwa dirinya adalah pusat peradaban dan dunia Timur membutuhkan sentuhan peradaban dari dunianya. Pada perkembangannya di masa kontemporer, fenomena ini terus bertransformasi dalam bentuk dan kategori baru. Tidak harus menggunakan pendekatan-pendekatan koersif untuk dapat mengatakan suatu entitas melakukan penjajahan dan eksploitasi terhadap entitas lainnya sebab kolonialisme masih terus hidup dalam bentuk lainnya. Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji aspek-aspek Orientalisme dan keterkaitannya dengan isu eksistensi masyarakat adat di Indonesia di tengah stigma masyarakat anti-pembangunan dan terbelakang. 

Aspek-Aspek dalam Orientalisme 

Pada dasarnya, orientalisme sebagaimana disampaikan oleh Edward Said dapat dikaji dalam tiga aspek yang berbeda, yakni (1) orientalisme sebagai cara berpikir; (2) orientalisme sebagai disiplin ilmu; dan (3) orientalisme sebagai institusi berbadan hukum yang digunakan untuk melembagakan bias nilai yang diyakini oleh Barat terhadap Timur (Said, 2003). Orientalisme sebagai cara berpikir membentuk dua terminologi yang dikenal sebagai terminologi The Occident dan The Orient. The Occident dan The Orient yang dimaksud dalam hal ini merujuk pada epistemologi bangsa Barat yang memposisikan dirinya sebagai subyek (the self), sementara bangsa-bangsa lainnya adalah objek (the others) (Said, 2003; Chattopadhyay, 2017). Dalam konteks ini, The Occident adalah bangsa Barat yang hidup dan membangun peradabannya di Eropa dan Timur merujuk pada wilayah "lainnya" yang berada di bagian Timur peradaban Eropa.

Kategorisasi tersebut tidak hanya merujuk pada ruang geografis, tetapi juga nilai dan budaya, meliputi cara makan, cara berpakaian, postur tubuh, nilai moral, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, The Orient dan The Occident menawarkan jenis matriks untuk mengkonseptualisasikan dunia dengan membaginya ke dalam dua kategori yang bersifat dualistik dan mutually exclusive (Said, 2003; Chattopadhyay, 2017). Artinya, nilai budaya yang direpresentasikan oleh The Occident akan selalu berlawanan dengan nilai budaya yang direpresentasikan oleh The Orient. Dalam konteks ini, Barat sebagai The Occident hampir selalu direpresentasikan sebagai bangsa yang beradab, modern, disiplin, rasional, dan cerdas. Sementara itu, Timur sebagai The Orient direpresentasikan oleh sifat sensual, tidak beradab, bar-bar, primitif, dan kental akan dunia mistis yang tidak logis. 

Cara berpikir yang bias budaya atau bersifat eropa-sentris tersebut yang kemudian berkaitan erat dengan munculnya orientalisme sebagai sebuah disiplin ilmu. Menurut Said, ketika para kolonialis Eropa datang ke daerah jajahannya di Timur, peneliti ikut dalam pelayaran tersebut untuk melakukan pengkajian. Sayangnya, peneliti yang kemudian disebut sebagai orientalis ini tidak dapat menyesuaikan diri dan dengan superioritasnya mengkaji dunia Timur dengan pandangan yang bias nilai, metode yang tidak ilmiah dan pada akhirnya menghasilkan penelitian yang tidak objektif. Hasil-hasil penelitian yang menggambarkan Timur ini yang kemudian dilembagakan dalam institusi-institusi berbadan hukum yang melegitimasi kolonialisme sebagai usaha moral Barat membangun peradaban di dunia Timur.

Tinjauan Orientalisme dalam Konteks Masyarakat Adat

Kemerdekaan negara tidak menjamin kemerdekaan bagi masyarakatnya, terlebih khusus bagi masyarakat yang dalam struktur sosial telah dipinggirkan secara sistematis. Kalimat tersebut agaknya dapat memberikan gambaran besar dari konteks kehidupan sosial masyarakat adat dalam pemikiran orientalisme yang dikemukakan oleh Edward Said. Bahwa imperialisme dan kolonialisme telah mewariskan suatu sistem dominasi yang hegemonik, eksploitatif, dan cenderung meminggirkan masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai peradaban yang dianut kelompok masyarakat dominan. Fenomena ini tampak jelas dalam dinamika kehidupan masyarakat adat di Indonesia sejak masa kolonial hingga masa kontemporer kini. 

Dalam konteks orientalisme sebagai cara berpikir, masyarakat adat telah menjadi The Orient bagi kelompok masyarakat dominan di Indonesia pada abad ke-21. Masyarakat adat direpresentasikan sebagai masyarakat yang belum menyentuh peradaban, sementara masyarakat perkotaan sebagai kelompok dominan yang telah tersentuh peradaban merupakan masyarakat yang rasional dan bernalar. Hal ini tampak dari penyematan istilah kubu kepada masyarakat adat yang populer sejak masa kolonialisme hingga saat ini. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan (Bappenas, 2013). Selain itu, masyarakat adat juga direpresentasikan sebagai masyarakat yang berhubungan dengan dunia mistis, memiliki ilmu hitam, dan hidup dalam kebodohan. Kerangka-kerangka berpikir semacam itu tampaknya merujuk dari apa yang disebut masyarakat perkotaan sebagai "peradaban" yang seolah mengesampingkan fakta telah hidupnya masyarakat adat selama berabad-abad. 

Bias nilai tersebut tidak hanya terjadi pada cara masyarakat di luar komunitas adat berpikir, tetapi juga pada kajian-kajian literatur yang minim melibatkan pandangan masyarakat adat di dalamnya. Hal ini seringkali mengakibatkan adanya kegagalan dalam memahami cara hidup masyarakat adat. Mirisnya, diskursus akademik yang tidak terjalin dengan masyarakat adat sebagai komunitas yang ditelitinya mengakibatkan adanya kesalahan memaknai identitas masyarakat adat itu sendiri dalam kerangka hukum nasional. Dalam konteks ini, kita dapat merujuk pada fenomena penetapan hutan negara oleh Jawatan Kehutanan Belanda (Dient van het Boschwezen) yang merampas ruang hidup masyarakat adat secara masif dan berkala (Rachman, 2014). Peraturan ini ditetapkan dengan landasan berpikir bahwa masyarakat adat yang menempati wilayah tersebut tidak memiliki pengetahuan mengenai cara pengelolaan SDA. Mirisnya, warisan dari cara berpikir kolonial ini kemudian diinstitusionalkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, salah satunya dalam ketentuan UU Pokok Agraria. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun