Tahun ini, Diplomat RI mengatakan bahwa komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM tidak perlu diragukan lagi, karena Indonesia adalah negara hukum, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.Â
Namun, berbeda dengan klaim tersebut, temuan berbagai lembaga pegiat HAM dalam negeri, diantaranya Amnesty International Indonesia, Setara Institute, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), International Coalition for Papua (ICP) bahkan Komnas HAM mencatat masih banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan tidak kunjung dituntaskan. Hal ini sebenarnya tidak membingungkan, karena ratifikasi konvensi atau perundang-undangan yang berlaku, tidak selalu menjamin implementasinya demikian pula.Â
Antara Pelanggaran Kedaulatan dan Kepedulian terhadap Penegakan HAM
Adalah sebuah perdebatan klasik dalam kasus-kasus internasional, persoalan penghormatan kedaulatan dan intervensi HAM menjadi dua prinsip yang sering bergesekan.Â
Untuk menyatukan gesekan tersebut, piagam PBB (UN Charter) sebagai moral compass dalam dunia internasional dapat menjadi rujukan untuk membahas masalah-masalah dalam norma internasional. Pembahasan mengenai penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara terdapat pada artikel 2(4) UN Charter yang mengatakan bahwa:
"Semua anggota harus menghindari perlakuan atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau independensi politik suatu negara, atau perbuatan lain yang bertentangan dengan tujuan dasar PBB --menghindari peperangan."
Kendati demikian, dalam penjelasan pasalnya, dijelaskan bahwa ada tiga jenis exceptions atau pengecualian untuk pasal tersebut, yakni pada Bab 7 ayat 39, ayat 51 dan ayat 27(3). Pada ayat 39 disebutkan pengecualiannya adalah apabila terdapat ancaman bagi perdamaian (termasuk permasalahan kemanusiaan) atau ancaman berupa agresi.Â
Selanjutnya di ayat (51) pengecualiannya adalah apabila suatu negara tidak mampu mengatur atau menyelesaikan ancaman perdamaian (termasuk permasalahan kemanusiaannya) sendiri sehingga membutuhkan bantuan asing (self-defense).Â
Kemudian pengecualian terakhir adalah pada ayat 27(3) yakni apabila ada persetujuan atau rekomendasi dari 9 anggota dewan keamanan, dimana 5 diantaranya adalah anggota tetap dewan keamanan PBB, maka intervensi kedaulatan tersebut dapat dilaksanakan.Â
Pengecualian ini juga terdapat pada Convention on Torture, Genocide, Refugee, Rights of Children and Discrimination Against Woman, pada International Covenants on Civil and Political Rights dan pada International Covenants on Economic and Cultural Rights.Â
Hal ini berseberangan dengan pernyataan diplomat Indonesia yang menyatakan bahwa suatu negara tidak boleh mengintervensi urusan domestik negara lain, karena terdapat pengecualian untuk tindakan tersebut.Â