Peristiwa-peristiwa seperti perampokan, pencopetan, hingga perusakan merupakan kejahatan sering terjadi di kehidupan kita sehari-hari. Kejahatan-kejahatan semacam ini disebut sebagai Kejahatan Jalanan (Street Crime). Saking lazimnya, terdapat anggapan yang mewajarkan kejahatan jalanan tersebut sebagai realitas kehidupan yang selalu ada. Akibatnya, terdapat sedikit sekali usaha untuk memahami lebih lanjut sebab-musabab terjadinya kejahatan jalanan. Padahal, kejahatan jalanan di sekitar kita terus eksis, bahkan cenderung meningkat setiap harinya.
Kejahatan jalanan adalah pelanggaran kriminal dengan cara merusak material, terdiri dari pelanggaran kekerasan dan pelanggaran umum yang berkaitan dengan properti seperti pencurian, vandalisme, dan pembakaran (Fuller, 2012). Tindak kejahatan jalanan tampak kian marak di tengah pandemi virus COVID-19. Bahkan, residivis kasus pencurian motor hingga penjambretan akhir-akhir ini kerap beraksi.
Alasan melakukan tindak kejahatan karena pelaku mengalami kesulitan ekonomi, sebab di tengah wabah COVID-19 aktivitas ekonomi masyarakat dibatasi, namun tak jarang di antara pelaku kriminal ini melakukan aksinya karena ingin membuat keresahan di lingkungan masyarakat (Merdeka, 2020). Selama pandemi COVID-19, terhitung Maret-Mei 2020, terdapat empat kasus menonjol di wilayah hukum Polda Metro Jaya, meliputi narkoba, penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan  kejahatan jalanan (Media Indonesia, 2020).
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus mengatakan bahwa selama pandemi COVID-19, sasaran kejahatan berubah dari rumah ke tempat-tempat usaha dan pembegalan. Berdasarkan keterangan Karo Penmas Divisi Humas POLRI, Brigjen Pol Argo Yuwono, tercatat adanya kenaikan kejahatan jalanan secara kuantitas dan kualitas seperti tindakan penjambretan, perampokan, pencurian kendaraan, dan pembongkaran minimarket (Viva, 2020). Hal itu disebabkan masyarakat selama pandemi sering berada di rumah sehingga pelaku mencari tempat-tempat sepi dan terjadilah begal.
 Di dalam berita harian Tempo, dikatakan bahwa dalam melakukan aksi kejahatan jalanan, pelaku mengincar pengendara yang sedang berjalan sendirian pada dini hari, sekitar pukul 01.00 sampai pukul 03.00 dan pelaku mengincar korbannya secara acak (Tempo, 2019). Selain itu, pelaku melakukan aksinya karena dipengaruhi oleh minuman keras dan obat-obatan terlarang. Setelah berhasil melakukan aksi, pelaku membagi hasilnya dengan rekan-rekannya (Tempo, 2019).
Kejahatan jalanan yang marak terjadi tersebut bukan tanpa sebab. Beberapa teori dapat menjelaskan apa saja faktor penyebab dari kejahatan jalanan. Faktor penyebab dari kejahatan jalanan dapat dijelaskan melalui Routine Activities Theory. Routine Activities Theory adalah teori pelanggaran kriminal yang mengatakan bahwa kejahatan terjadi ketika motivated offenders bertemu dengan a suitable target tanpa capable guardian (Mullins & Kavish, 2013). Routine Activities Theory menjelaskan bahwa kejahatan akan terjadi bila dalam satu tempat dan waktu, hadir secara bersamaan jika ada hal sebagai berikut (Cohen and Felson, 1983):
1. A motivated offender (penjahat yang memiliki motivasi), seperti remaja laki-laki, pengangguran, dan pecandu narkoba.
2. A suitable target (target yang cocok), seperti seseorang yang memiliki mobil mewah atau memiliki barang yang mudah diangkut.
3. The absence of capable guardian (tidak adanya penjaga yang mumpuni), seperti polisi, pemilik rumah, dan sistem keamanan.
Selain Mullins dan Kavish, Larry J. Siegel juga memaparkan Routine Activities Theory yang pertama kali dinyatakan oleh Cohen dan Felson. Menurut Siegel, kehadiran ketiga komponen ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kejahatan. Seseorang cenderung menjadi korban jika tidak dijaga dengan baik oleh capable guardian dan dihadapkan pada sekelompok besar pelaku yang termotivasi (motivated offenders) (Siegel, 2012). Jika target yang mudah (suitable target) meningkat, maka kejahatan juga akan meningkat (Siegel, 2012).
Motivated offender bisa mengabaikan suitable target apabila target tersebut dijaga atau diawasi oleh capable guardian dan sistem keamanan yang baik (Siegel, 2012). Sesuai dengan Routine Activities Theory, tiga elemen ini, a suitable target, motivated offenders, dan the absence of capable guardian, semuanya harus bertemu dalam ruang dan waktu untuk terjadinya kejahatan. Jika salah satu komponen Routine Activities Theory hilang, maka kejahatan tidak mungkin dilakukan (Mullins & Kavish, 2013).
Dikarenakan kejahatan jalanan sering didefinisikan sebagai terjadi di ruang publik, kejadiannya sampai batas tertentu dapat diprediksi, dipantau, dan dicegah dengan menerapkan Routine Activities Theory (Mullins & Kavish, 2013). Siegel menjelaskan contoh-contoh dari motivated offenders dan menjelaskan apa itu hot spot. Contoh dari motivated offenders antara lain remaja laki-laki, pengguna narkoba, dan orang dewasa yang menganggur.
Ketika motivated offenders berkumpul di suatu lingkungan tertentu, lingkungan tersebut akan menjadi hot spot, yaitu lingkungan yang rawan terjadi kejahatan dan kekerasan. Oleh sebab itu, di tempat-tempat yang rawan untuk kejahatan, target kejahatan yang tidak diawasi menjadi tujuan yang menarik bagi para pelaku.
Dengan prinsip-prinsip ini, tidak mengherankan bahwa orang yang tinggal di daerah-daerah dengan kejahatan tinggi pergi larut malam dan membawa barang-barang berharga seperti jam tangan serta melakukan perilaku berisiko seperti minum-minum alkohol tanpa ditemani oleh kerabat atau keluarga untuk mengawasi atau membantu mereka, memiliki peluang besar untuk menjadi korban kejahatan.
Selain itu, beberapa hal dapat saling berkaitan dalam suatu tindak kejahatan jalanan. Menurut Arthur Josias Simon Runturambi, dosen Kriminologi Universitas Indonesia, tiga hal yang saling berkaitan dalam tindak kejahatan jalanan adalah pelaku, aparat penegak hukum, dan situasi di lapangan (CNN Indonesia, 2018). Beliau mengatakan pelaku akan melihat situasi pengamanan yang dilakukan aparat di lokasi-lokasi yang dinilai rawan.
Situasi di lokasi tersebut akan berhubungan dengan waktu beraksi yang akan mereka lakukan. Pelaku memanfaatkan kendurnya pengamanan, terutama di lokasi-lokasi yang sudah dipantau, serta menentukan waktu yang tepat untuk melakukan aksinya. Menurut Josias, yang harus dijadikan perhatian dari aksi kejahatan jalanan adalah apakah kejahatan itu memang terjadi di lokasi rawan kriminal atau tidak. Jika kejahatan jalanan masih terjadi di lokasi rawan, maka pengawasan polisi pun dipertanyakan.
Dengan mengetahui tiga hal tersebut serta faktor-faktor penyebab kejahatan jalanan, seharusnya upaya untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan jalanan dapat dilakukan.
"Para kriminolog harus memusatkan upayanya pada pembuatan kebijakan yang membahas apa yang ditakuti publik, yaitu kejahatan jalanan 'predator' seperti perampokan, penyerangan, perampokan, pencurian dan sebagainya, yang dilakukan oleh orang asing." (McLaughlin, E., & Muncie, J., 2012)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kejahatan jalanan membuat publik takut sehingga diperlukan kebijakan sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulanginya. Pencegahan kejahatan dapat dilakukan melalui pendekatan Situational Crime Prevention atau SCP (Felson, 1998). Marcus Felson mengemukakan poin utama dari SCP, yaitu:
"Pencegahan kejahatan situasional sangat terfokus pada pencegahan kejahatan di sini dan saat ini. Ini praktis, bukan utopis. Kurangi dorongan untuk melakukan kejahatan dengan membuat target kejahatan 'less rewarding' dengan cara meningkatkan risiko, upaya, dan rasa bersalah yang terkait dengan kejahatan. Pencegahan situasional umumnya tidak menggantikan kejahatan di tempat lain. Memang, pencegahan kejahatan sering mengarah pada 'difusi manfaat', mengurangi kejahatan bahkan di luar pengaturan langsung." (Felson, 1998).
Selain itu, Patenaude juga menjelaskan dalam artikel jurnalnya mengenai SCP, yaitu :
"SCP mengikuti konsep ruang yang dicetuskan oleh kriminolog Oscar Newman, yaitu desain dan struktur area yang dibangun dapat mengurangi kejahatan; dan juga pada anggapan pengurangan peluang dari sosiolog Ronald Clarke, dengan berpendapat bahwa pendekatan spesifik dapat menurunkan risiko kejahatan dengan menghilangkan/mengurangi peluang. Clarke sendiri berpendapat bahwa SCP didasarkan pada tiga anggapan: (1) sebagian besar tindakan kriminal memerlukan konvergensi motivated offenders, potential victims, dan a lack of suitable guardians (Routine Theory Activity); (2) banyak jenis kejahatan bersifat oportunistik; dan (3) sebagian besar pelanggar membuat pilihan rasional yang menghitung risiko deteksi, upaya yang terlibat, dan keuntungan dan/atau kerugian yang terkait dengan tindakan yang mereka pilih." (Patenaude, 2013).
Dengan demikian, SCP dapat dikatakan sebagai pengurangan peluang yang ditujukan untuk jenis kejahatan tertentu, wilayah geografis tertentu, atau pelaku pelanggaran tertentu (Patenaude, 2013). Ini sesuai dengan Routine Activities Theory, yang tingkat analisis individualnya didasarkan pada konvergensi pada ruang dan waktu yang sama dari pelaku, target atau korban, dan tidak adanya penjagaan yang baik (Patenaude, 2013).
Hal ini juga mengacu pada teori pola kejahatan, yang menawarkan analisis komunitas atau lingkungan berdasarkan studi tentang pola-pola pergerakan di mana para pelaku menjadi lebih sadar akan area pinggiran mereka dan target di dalamnya; semakin nyaman mereka menjadi semakin banyak peluang untuk melakukan kejahatan (Patenaude, 2013).
Untuk membuat lingkungan menjadi tidak rawan akan kejahatan, diperlukan adanya peran dari capable guardian sesuai dengan Routine Activities Theory. Strategi dalam menghadapi kejahatan jalanan memerlukan beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh kepolisian. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Undang-Undang Kepolisian), tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
(1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
(2) menegakkan hukum; dan
(3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Rahardi, 2007). Berbicara mengenai fungsi kepolisian, maka tersebar pada tiga fungsi yakni fungsi kepolisian preemtif, preventif, dan represif (Meliala, 2017). Untuk menjalankan masing-masing fungsi tersebut, terdapat berbagai satuan kerja operasional. Sebagai contoh, untuk fungsi kepolisian preemtif, maka Satuan Intelijen dan Satuan Binmas adalah yang menjalankannya.
Sementara itu, Satuan Sabhara dan Satuan Lalu lintas adalah satuan yang utamanya melakukan tugas-tugas preventif. Kemudian, satuan yang menjalankan fungsi represif kepolisian adalah Satuan Reserse dan Satuan Brigade Mobil selaku satuan paramiliter kepolisian (Meliala, 2017).
Tindakan preemtif merupakan tindakan yang dilakukan jauh hari sebelum terjadinya kejahatan, sehingga lebih tepatnya disebut kegiatan ini merupakan kegiatan pembinaan masyarakat (Purnomo, 2019). Pihak kepolisian juga menyatakan tindakan preemtif ini merupakan tindakan non penal (di luar hukum pidana) yang pada intinya untuk mencegah pelaku-pelaku potensial untuk melakukan kejahatan. Upaya tindakan preemtif yang dapat dilakukan kepolisian yaitu dapat berupa memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan mengenai kejahatan, serta cara untuk mewaspadainya atau mencegahnya kepada masyarakat.
Jika preemtif dilakukan jauh lebih awal sebelum terjadinya kejahatan atau ketika belum ada tanda-tanda kejahatan akan terjadi, maka tindakan preventif dilakukan sudah mengarah pada akan terjadinya kejahatan atau diduga kuat akan terjadi kejahatan (Purnomo, 2019).
Salah satu upaya preventif oleh kepolisian yang dapat dilakukan untuk mencegah kejahatan jalanan adalah dengan melakukan patroli rutin pada waktu dan tempat yang rawan kejahatan, patroli di wilayah masing-masing reserse, serta mensosialisasikan kepada tokoh masyarakat di masing-masing daerah (Rahardi, 2007).
Selain itu, patroli lebih baik dilakukan dengan mobil karena mobil patroli memungkinkan polisi untuk menanggapi lebih banyak panggilan untuk layanan, lebih cepat, dan dengan jangkauan area yang lebih luas (Grothoff dan Travis, 2013). Mobil patroli memengaruhi kecepatan respons terhadap kejahatan jalanan, panggilan untuk layanan, pencegahan, dan pengawasan (Grothoff dan Travis, 2013).
Upaya selanjutnya yaitu upaya represif, berupa tindakan upaya paksa dengan menerapkan hukum pidana (penerapan penal) jika telah terjadi tindak pidana (Purnomo, 2019). Tugas represif adalah tugas terbatas, kewenangannya dibatasi oleh KUHAP sehingga asasnya bersifat legalitas yang berarti semua tindakannya harus berlandaskan hukum (Ricardo, 2010). Bentuk pelaksanaan daripada tugas represif berupa tindakan penyelidikan, penggerebekan, penangkapan, penyidikan, investigasi sampai peradilannya.
 Berbagai strategi dapat digunakan polisi untuk meminimalisir kejahatan jalanan yang sering terjadi. Contoh langkah yang dilakukan Polda Metro Jaya dalam menyikapi setiap kasus yaitu dengan membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) (Media Indonesia, 2020). Dalam upaya menekan kejahatan jalanan, Polda Metro Jaya juga meningkatkan patroli dengan memperlihatkan polisi berseragam di tengah-tengah masyarakat dan melaksanakan patroli gabungan bersama TNI dengan harapan kehadiran TNI dan polisi di lapangan dapat membuat pelaku kejahatan akan mengurungkan niatnya (Kompas, 2020).
Selain di Polda Metro Jaya, contoh upaya yang dilakukan juga terjadi di Polresta Depok. Kasubag Humas Polresta Depok, Ajun Komisaris Polisi Firdaus, menuturkan terdapat penambahan unit patroli di beberapa lokasi yang dianggap rawan (Medcom, 2019).
Biasanya mereka berkeliling dalam satu malam tiga kali namun kini bisa sampai enam kali. Mereka juga mengerahkan patroli motor dari unit Sabhara yang mobile dari pukul 19.00 WIB hingga 24.00 WIB. Tim Jaguar juga turut dilibatkan mulai dari tengah malam hingga dini hari dan ikut berpatroli sambil memantau setiap laporan dari masyarakat. Tim Jaguar tidak bekerja sendiri karena dibantu puluhan personel tim Reserse Kriminal yang disebar luas, baik di dalam maupun perbatasan wilayah Kota Depok. Berdasarkan hasil identifikasi pihaknya, angka kejahatan jalanan tidak meningkat, namun beberapa insiden terekam kamera CCTV dan viral di masyarakat (Medcom, 2019).
Selain itu, Kasubag Humas Polresta Depok Ajun Komisaris Polisi Firdaus mengatakan jika ada laporan dari masyarakat terutama pada malam hari, maka akan mereka tindak lanjuti secepatnya (Tempo, 2019). Warga seharusnya tidak enggan atau takut melapor aksi kejahatan jalanan. Warga dapat menggunakan aplikasi Halo Polisi yang dapat diakses setiap waktu.
Halo Polisi dan Panic Button merupakan sebuah layanan aplikasi berbasis mobile dan web, yang bisa diunduh masyarakat. Halo Polisi merupakan aplikasi berupa media sosial yang berfungsi untuk melaporkan berbagai kejadian yang berhubungan dengan tindak kriminalitas, kemacetan dan lainnya, di tengah masyarakat, sedangkan Panic Button merupakan aplikasi dengan konsep laporan cepat untuk mendapatkan penanganan langsung dari polisi (Tempo, 2019).
Dalam berita harian Medcom, disebutkan bahwa yang mengetahui identitas pelapor hanya polisi saja sehingga pemberi informasi yang dilaporkan melalui aplikasi Halo dipastikan aman. Namun, menciptakan keamanan dan ketertiban tidak hanya menjadi tugas kepolisian. Perlu ada peran serta dari masyarakat, salah satu contoh kecilnya dengan tidak memancing atau memberi kesempatan ke pelaku kejahatan untuk beraksi, seperti bermain telepon genggam di jalanan, terutama dalam kondisi sepi (Medcom, 2019).
Berbagai kejahatan jalanan yang sering terjadi tentunya meresahkan masyarakat. Namun, kejahatan jalanan itu juga memiliki faktor penyebab yang dapat dijelaskan melalui teori Routine Activities Theory. Walaupun kejahatan jalanan marak terjadi, namun tetap bisa dicegah dan diatasi, baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat. Oleh sebab itu, dengan mengetahui faktor penyebab dan hal-hal yang berkaitan dalam proses terjadinya kejahatan jalanan, berbagai upaya dapat dilakukan oleh kepolisian dan masyarakat untuk meminimalisir kejahatan jalanan yang sering terjadi. Dengan demikian, lingkungan yang aman, tertib, dan bebas dari kejahatan jalanan dapat terwujud.
Oleh: Alisya Ameridya | Kriminologi 2019 | Staf Departemen Kajian Strategis BEM UI 2020Â
Referensi
CNN Indonesia. Â (2018, Juli 6). Kejahatan Jalanan, Kecerdikan Pelaku dan Kelengahan Aparat. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180706081220-20-311930/kejahatan-jalanan-kecerdikan-pelaku-dan-kelengahan-aparat
Felson, M., & Cohen, R. (1983). "Victim Compensation and Restitution", Encyclopedia of Crime and Justice Vol. 4. New York: The Free Press, Advision of Mac Millan Inc.
Felson, Marcus. (1998). Crime & Everyday Life. 2nd Ed. Thousand Oaks, California: Pine Forge Press.
Fuller, J. R. (2012). Think Criminology. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Grothoff, G. & Travis, L. (2013). Patrol Cars, Encyclopedia of Street Crime in America. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. hlm. 307.
Kompas. (2020, Mei 6). Kejahatan Jalanan Saat Covid-19 Meningkat, Polisi Dibantu Petugas Keamanan. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/05/06/17110111/kejahatan-jalanan-saat-covid-19-meningkat-polisi-dibantu-petugas-keamanan
McLaughlin, E., & Muncie, J. (2012). The Sage Dictionary of Criminology. Sage.
Medcom. Â (2019, Februari 25). Strategi Berantas Jalanan di Depok. Diakses dari https://nusantara.medcom.id/jawa-barat/peristiwa-jabar/wkBDwr0N-strategi-polisi-berantas-kejahatan-jalanan-di-depok
Media Indonesia. (2020, Juni 2). Kejahatan Jalanan Meningkat. Diakses dari https://mediaindonesia.com/read/detail/317463-kejahatan-jalanan-meningkat
Meliala, A. (2017). Revitalisasi Satuan Kepolisian Pengemban Fungsi Kepolisian Antagonis. Jurnal Ilmu Kepolisian, 11(2), 5.
Mullins, C. & Kavish, D. (2013). Routine activity theory, Encyclopedia of Street Crime in America. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. hlm. 361-362.
Merdeka. (2020, April 16). Marak Aksi Kejahatan di Tengah Pandemi Corona. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/marak-aksi-kejahatan-di-tengah-pandemi-corona.html
O'Brien, P. (2013). Street Crime Defined, Encyclopedia of Street Crime in America. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. hlm. 40.
Patenaude, A. (2013). Crime prevention, situational. In J. I. Ross (Ed.), Encyclopedia of street crime in America. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. hlm. 119.
Purnomo, H. D. (2019). Peran Tim Anti Bandit Satreskrim Polrestabes Surabaya dalam penanggulangan tindak pidana kejahatan jalanan. Jurnal Sosiologi Dialektika, 14(1), 34-43.
Rahardi, P. (2007). Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi POLRI). Surabaya: Laksbang Mediatama.
Ricardo, P. (2010). Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba oleh Kepolisian, Jurnal Kriminologi Indonesia. 6(3): 232-245.
Siegel, Larry J. (2012). Criminology. 11th Ed. Wadsworth: Cengage Learning.
Tempo. Pengakuan Pelaku Begal Sadistis di Depok: Cari Korban Secara Acak. (2019, Maret 14). Diakses dari https://metro.tempo.co/read/1185295/pengakuan-pelaku-begal-sadistis-di-depok-cari-korban-secara-acak
Viva. (2020, Mei 6). Waspada, Kejahatan Jalanan Meningkat Selama Pandemi COVID-19. Diakses dari https://www.viva.co.id/berita/nasional/1214935-waspada-kejahatan-jalanan-meningkat-selama-pandemi-covid-19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H