Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI
Kastrat BEM UI Mohon Tunggu... Freelancer - @bemui_official

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI terhadap suatu isu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bijak Menyikapi Politik Dinasti

15 Juli 2020   17:36 Diperbarui: 15 Juli 2020   17:35 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Politik Dinasti (Sumber: diolah dari berbagai sumber)

Kontestasi politik akbar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 telah disepakati oleh pemerintah dan DPR dalam rapat 14 April lalu. Saat ini, beberapa nama mulai muncul sebagai orang yang berniat maju menjadi calon pemegang jabatan politik di masing-masing daerah. 

Di antara nama-nama tersebut, setidaknya ada lima nama calon yang berasal dari anggota keluarga tokoh politik ternama di Indonesia. Diantaranya ada Gibran (putra sulung) dan Bobby Nasution (menantu) dari keluarga Presiden Joko Widodo; Siti Nur Azizah, putri dari Wapres Ma'aruf Amin; keponakan mantan Wapres Jusuf Kalla, Munafri Arifuddin; dan putra ketiga dari pendiri partai PAN Amien Rais yakni Mumtaz Rais (Kompas, 2020).

Nama-nama tersebut hanyalah sebagian dari mereka yang termasuk dalam afiliasi dengan tokoh politik tersohor. Masih banyak calon lain yang sama-sama berasal dari dinasti akan tetapi tidak terliput oleh media. Sehingga dalam konteks politik lokal, politik dinasti yang menjamur selalu rawan akan tindak penyalahgunaan kekuasaan.

Hal ini membuat politik dinasti menjadi kata yang berkonotasi pada tindakan negatif (Kumparan, 2018). Padahal, praktik politik dinasti itu sah-sah saja dilakukan mengingat siapapun orangnya, memiliki kedudukan yang sama di mata hukum (Detik, 2017).

Akan tetapi, praktik politik dinasti menjadi salah ketika dibumbui dengan nepotisme di dalamnya. Lalu, yang menjadi pertanyaan, apa perbedaan dari dua ungkapan dari politik dinasti dan nepotisme? Kenapa politik dinasti itu tidak salah? Bagaimana politik dinasti menjadi salah akibat nepotisme yang terjadi didalamnya?

Kata "nepotisme" berasal dari kata Italia "nepote" yang berarti anak laki-laki. Yang mana merupakan istilah yang dikaitkan pada praktik kepausan yakni pada pemberian bantuan khusus kepada cucu atau kerabat mereka.

Suatu tuduhan dalam politik tergolong sebagai tindakan nepotisme ketika seorang kerabat mendapatkan suatu posisi jabatan politik dari seorang tokoh politik yang berpengaruh, namun dia tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk menjabat dalam posisi tersebut (Gjinovci, 2016).

Dalam KBBI, nepotisme diartikan sebagai tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang jabatan pemerintahan. Nepotisme juga dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Pasal 2 ayat (5) yang mengatakan bahwa setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Dari sini berdasar pada penjelasan secara etimologis dan yuridis, definisi dari penyebutan nepotisme lebih merujuk kepada suatu tindakan yang menguntungkan keluarga. Berbeda dengan penyebutan 'Politik Dinasti' yang mana lebih menjelaskan kepada suatu fenomena.

Dalam KBBI, kata dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah, semuanya berasal dari satu keluarga. Politik dinasti adalah ungkapan keluarga yang beberapa anggotanya ikut serta dalam praktik politik praktis (Kumparan, 2020).

Politik dinasti juga bisa diartikan sebagai fenomena munculnya kekuasaan di lingkungan keluarga dari pemerintahan yang sedang berkuasa (Bawaslu, 2016; Pinter Politik, 2020).

Dari pengertian tersebut kita mengetahui bahwa politik dinasti pada dasarnya hanyalah suatu fenomena dimana terdapat beberapa anggota keluarga terlibat dalam praktik politik. Dengan kata lain, nepotisme bisa saja menciptakan fenomena politik dinasti akan tetapi politik dinasti tidak pasti semuanya berasal dari tindakan nepotisme.

Politik dinasti bukan merupakan fenomena yang terbilang baru. Sejak awal kemerdekaan, Soekarno membawa pengaruh cukup besar pada masanya, dan mewariskan pengaruh politiknya kepada anak-anaknya. Hasilnya Guruh Soekarnoputra yang pernah menjadi anggota DPR sejak tahun 2004 dan Megawati Soekarnoputri yang menjadi Presiden ke-5 Indonesia (Kumparan, 2020).

Karena menjadi presiden, pengaruh Megawati pun meluas hingga keluarga diantaranya sang suami, Taufik Kiemas adalah Mantan Ketua MPR periode 2009-2014, Puan Maharani (putri) yang menjabat Ketua DPR periode 2019-2024, Puti Guntur Soekarnoputri yang sekarang sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur (Fitri, 2019; Wikidpr, n.d.).

Tidak kalah besar, nama-nama tokoh politik yang mendapatkan warisan pengaruh dari Soeharto yakni Siti Hardiyanti Rukmana (putri), Siti Hediati Hariyadi (putri) dan Prabowo Subianto (menantu). Tidak ketinggalan, Agus Harimurti dan Edhi Baskoro yang masih aktif dalam memperebutkan kursi eksekutif dan legislatif, selalu menyandang nama Yudhoyono dalam berkampanye.

Sebagai anak dari presiden yang masih menjabat sekarang, Gibran dan Bobby selaku putra dan menantu dari Presiden Joko Widodo digadang-gadang akan maju sebagai calon peserta Pilkada 2020 nanti (Kumparan, 2020). Tidak hanya pusat, kekuasaan eksekutif dan legislatif daerah pun tidak luput dari pengaruh politik dinasti.

(dok. Kastrat BEM UI)
(dok. Kastrat BEM UI)
Catatan politik dinasti yang panjang melatarbelakangi tingginya angka politik dinasti pada partisipasi pemilu terutama pada pemilu 2019. Melalui riset lembaga studi Nagara Institute yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, sebab mereka memiliki hubungan dengan pejabat publik, berupa keluarga atau kerabat dekat.

Menurut Faisal, Direktur Eksekutif Nagara Institute, terdapat tiga kali pilkada serentak di 541 wilayah (33 provinsi, 419 kabupaten, dan 89 kota), ada 80 wilayah 14,78 persen yang terpapar dinasti politik (Tirto, 2020). Dengan panjangnya catatan sejarah mengenai politik dinasti di Indonesia, maka wajar apabila data angka calon peserta Pemilu yang berasal dari dinasti bisa tinggi yang tentunya dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tertentu.

Apabila menilik catatan politik dinasti di Indonesia, nepotisme tampaknya berakar pada bentuk kepedulian secara personal kepada keluarga. Hal ini dibuktikan pada pengamatan Fiona Robertson-Snape (1999) yang melaporkan bahwa nepotisme berkembang dalam masyarakat dengan wujud kesetiaan kepada keluarga yang lebih kuat daripada kesetiaan kepada negara atau pada tugas publik (ebek, 2015).

Selain kesetiaan terhadap keluarga, peribahasa, "Buah tidak jauh dari pohonnya" juga terjadi pada sistem perpolitikan di Indonesia. Seorang Sejarawan, Bonnie Triyana mengatakan: "Di banyak daerah hubungan antara warga dengan pemimpin itu masih patrimonial. Jadi masih ikatan kebapak-an. Masih sangat paternalistik."

Salah satu politisi partai demokrat Andi Mallarangeng memberi pengertian bahwa dalam politik, anak juga memiliki keinginan untuk memiliki pekerjaan yang seperti, atau setidaknya satu bidang dengan ayahnya. Namun Andi juga menegaskan mengenai lubang perdebatan tentang apakah keinginan seseorang bisa terwujud apabila menyangkut pekerjaan yang dipilih oleh rakyat.

Akan tetapi, menurut Bambang Wuryanto selaku ketua DPP PDIP, salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih calon pemangku jabatan politik adalah dari privilese yang dihasilkan dari silsilah keluarga. Bambang juga menambahkan bahwa tugas calon pewaris ini hanya tinggal mempertahankan citra publik yang sudah ada tetap baik atau tidak. Karena, faktor privilese tidak bisa dipungkiri menjadi modal awal yang penting dalam bermain pada panggung politik (Kumparan, 2020).

Bahkan pada masa kepresidenan SBY dan Jokowi, pemerintah telah berniat untuk memerangi tindak kasus nepotisme dan politik dinasti yang setidaknya dilatarbelakangi oleh dua alasan.

Pertama, politik dinasti perlu diatur karena petahana mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran, sehingga dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangi pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompok mereka.

Kedua, ada kemauan kuat pemerintah untuk memutus mata rantai dinasti politik, tindakan koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang. Pemutusan mata rantai itu bertujuan pilkada dilaksanakan secara adil (Media Indonesia, 2019).

Sayangnya, banyaknya faktor yang melatarbelakangi hadirnya politik dinasti, tidak dibarengi dengan kemaslahatan yang baik pula. Bahkan narasi penyebutan politik dinasti, selalu melekat dengan ungkapan korupsi yang tersistematis didalamnya (Kumparan 2020)

Hal ini karena ancaman politik dinasti sudah pernah dilihat secara nyata. Terdapat kasus tersohor seperti misalnya kasus korupsi mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang berasal dari dinasti Chasan dan melibatkan setidaknya tiga belas anggota keluarga (DW, 2019).

Atut divonis 5,5 tahun penjara akibat korupsi pengadaan alkes yang merugikan negara hingga 79,9 miliar rupiah. Kala itu, atas perintah perintah adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Atut telah memilih sejumlah pejabat di lingkungan pemerintah Provinsi Banten untuk senantiasa loyal dan patuh terhadap perintahnya. Wawan adalah Komisaris Utama PT Balipasific Pragama, perusahaan yang menjadi pemenang pengadaan alat kesehatan tersebut (Tempo, 2017).

Lebih parahnya lagi, di Banten sendiri terdapat setidaknya tiga dinasti lain yang diantaranya dinasti Zaki Iskandar, Aat Syafaat, dan dinasti Mulyadi Jayabaya (Kumparan, 2018).

Lalu tidak lupa atas kasus Fuad Amin yang telah merugikan negara atas korupsi dan pencucian uang dana APBD sebesar 5-15 persen atau senilai 414 milliar rupiah. Fuad juga terbukti melakukan jual beli jabatan PNS, dari Rp 15 juta hingga Rp 50 jutaan, tergantung posisi kepada para pengusaha migas. Tidak selesai disitu, Fuad juga meminta 'jatah preman' setiap bulan dari Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar (Detik, 2018).

Pengaruh Fuad Amin terbilang cukup besar karena ketika dia terpilih sebagai Ketua DPRD Bangkalan periode 2014-2019 (yang sebelumnya dijabat anaknya), Ra Momon (anak Fuad Amin) kemudian terpilih sebagai Bupati Bangkalan pasca Fuad Amin. Sehingga di sini terjadi semacam pertukaran jabatan dalam rangka memperkuat pengaruh menggunakan kekuatan politik dinasti. Bahkan pengaruh Fuad diperkuat oleh latar belakang keluarga kiai-priayi sehingga posisi ini membuatnya memiliki pengaruh di dua komunitas terbesar di Madura (Tirto, 2019).

Padahal dalam sebuah tulisan karya Christiaan Grootaert and Thierry van Bastelaer (2002) menjelaskan bahwa latar belakang profesionalitas (nepotisme) yang berasal dari pengaruh keluarga dan ikatan etnis yang kuat mengartikan bahwa lemahnya etika kerjasama dan kepercayaan terhadap orang lain (ebek, 2015).

Politik dinasti juga akan mengaburkan atau bahkan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. Sulit untuk diharapkan terdapat seorang anggota DPRD dari dinasti A mengkritisi ekskutif yang juga berasal dari dinasti A di mana mereka memiliki hubungan kekerabatan. Checks and balances seperti demikian yang akan mengarah ke praktik korupsi, sebagaimana yang terjadi di Banten dan Madura (DW, 2019).

Politik dinasti, persoalan yang kompleks ini tidak membiarkan pemerintah kita diam. Presiden SBY mengingatkan, meskipun undang-undang tidak melarang orang yang memiliki hubungan kekerabatan menduduki jabatan di daerah, akan tetapi ada batasan norma kepatutan. 

Kementerian Dalam Negeri merealisasikan norma kepatutan menjadi norma hukum di Rancangan Undang-Undang Pilkada yang saat itu dibahas DPR. Sehingga akhirnya pertama kali dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia, pemerintahan SBY berhasil meyakinkan DPR untuk mengatur pelarangan dinasti politik dalam undang-undang sehingga melahirkan syarat calon kepala daerah di Pasal 13 huruf q Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yaitu 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana'.

Dalam penjelasan huruf q disebutkan yang dimaksud dengan 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana' ialah tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda satu kali masa jabatan (Media Indonesia, 2019).

Pelaksanaan Undang-Undang 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota mendapat penolakan masyarakat. Hal itu ditolak karena kepala daerah dipilih DPRD. Presiden SBY pun mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota pada 2 Oktober 2014, kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.

Perpu SBY itu kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dari sini menjadi semakin memperjelas aturan pelarangan praktik politik dinasti dalam perundang-undangan. Pasal 7 huruf q Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 menyebutkan syarat 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana'.

Di dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan 'tidak memiliki konflik kepentingan', antara lain, tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan. 

Pengaturan lebih ketat soal dinasti politik ditemukan dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa, syarat calon kepala daerah 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana'.

Penjelasan pasal tersebut artinya mengharuskan calon kepala daerah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan (Media Indonesia, 2019).

Meskipun Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 telah disahkan, sangat disayangkan Undang-Undang ini belum pernah diterapkan karena terlanjur dibatalkan MK melalui putusan 33/PUU-XIII/2015 pada 8 Juli 2015.

Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menurut MK, mengandung diskriminasi dan bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Sesuai dengan putusan MK, pelarangan dinasti politik dan politik dinasti dihapus permanen dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada serentak selama ini (Media Indonesia, 2019).

Menurut Refly Harun, yang merupakan Ahli Tata Hukum Negara mengatakan bahwa menuntut seorang calon peserta pilkada tidak memiliki hubungan dengan petahana adalah suatu hal yang tidak fair, karena seseorang tidak bisa memilih untuk memiliki hubungan dengan keluarga tertentu (Kumparan, 2018).

Pencabutan ini juga diperkuat oleh Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang HAM yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Detik, 2017).

Apabila cara peraturan perundang-undangan tidak bisa diharapkan untuk menekan angka politik dinasti, terdapat cara lain yang lebih halus untuk mengatasi politik dinasti. Pertama-tama yaitu dengan cara meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih calon yang benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dan tidak sekedar karena modal popularitas.

Cara kedua yakni, menghilangkan politik uang dalam pemilihan, agar lebih banyak orang bisa berpartisipasi menjadi peserta dalam ajang Pilkada/Pemilu. Selama ini calon yang muncul berasal dari kelompok dinasti yang notabene telah memiliki sumber daya ekonomi yang banyak sehingga memungkinkan untuk melakukan money politics untuk membuat mereka terpilih.

Dalam survei LIPI 2019, terlihat bahwa 47 persen responden bersifat permisif terhadap politik uang (DW, 2019). Hal ini sejalan pendapat dosen Untirta Banten, Dahnil Anzar Simanjuntak yang mengatakan bahwa harus ada penyadaran dalam masyarakat bahwa transaksi pembelian suara dalam politik itu harus dilawan demi mencegah calon pemimpin yang korup.

Dahnil menambahkan, bahwa pasar politik yang oligopoli di Indonesia harus diubah. Sebabnya, selama pasar politik di Indonesia terus dikuasai oleh orang yang memiliki kemampuan finansial yang memadai, akan terus membuat orang-orang menjadi terbatas dalam ikut serta mencalonkan diri sebagai calon peserta pilkada (Kumparan, 2018).

Cara ketiga adalah menguatkan pelembagaan partai politik yang masih lemah dengan mendorong partai politik untuk membentuk kader yang benar-benar memiliki standar dalam memimpin serta memiliki kapabilitas serta tidak sekedar asal memilih calon yang punya modal ekonomi dan popularitas tinggi yang biasanya berasal dari politik dinasti (DW, 2019).

Donal Fariz, aktivis korupsi ICW berpendapat bahwa diperbolehkannya politik dinasti harus disertai transparansi dan akuntabilitas agar bisa mencegah nepotisme dan mengetahui seseorang bisa layak menjadi calon kepala daerah (Kumparan, 2018).

Kembali menilik pada awal pembahasan artikel ini, peran nepotisme sebagai tindakan yang menguntungkan keluarga atau kerabat diatas kepentingan publik, melatarbelakangi hadirnya politik dinasti dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Bukti catatan sejarah serta penegasan data-data yang tersedia menyiratkan pada budaya politik dinasti sudah semakin mengakar di Indonesia.

Kesetiaan terhadap kerabat, ketenaran, dan sumber daya merupakan faktor yang mendorong seseorang melakukan politik dinasti. Konotasi negatif yang melekat pada politik dinasti membuat pemerintah berusaha mencegahnya dengan peraturan perundang-undangan. Meskipun sebelum pelaksanaannya, peraturan tersebut dibatalkan oleh kesamaan hak manusia dimata hukum.

Apabila peraturan perundang-undangan serta kaderisasi partai politik sudah tidak bisa diharapkan untuk menahan laju derasnya angka politik dinasti dari tahun ke tahun. Maka, hanya pencerdasan rakyat lah yang menjadi acuan akhir dalam memerangi politik dinasti di Indonesia.

 Oleh: Bibit Bimantoro | Ilmu Ekonomi 2019 | Staf Departemen Kajian Strategis BEM UI 2020 

***

Referensi

Bawaslu Babel. (2016, Mei 25). Kekuasaan Dinasti Politik. Diakses dari babel.bawaslu.go.id

Detik. (2018, Juli 22). Bupati Fuad Amin, Koruptor Rp 414 Miliar yang Bikin Geger LP. Diakses dari detik.com

Detik. (2017, Januari 3). Mengapa Dinasti Politik Tidak Dilarang Secara Hukum?. Diakses dari detik.com

DW. (2019, September 29). LIPI: Politik Dinasti di Indonesia Kian Subur. Diakses dari dw.com

Fitri. A. (2019). Dinasti Politik pada Pemerintahan di Tingkat Lokal. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan. 4(1): 91-111.

Gjinovci, A. (2016). The impact of nepotism and corruption on the economy and HR. Lambert Academic Publishing. 16(3): 421 - 434.

Kompas. (2020, Januari 1). 5 Nama Anggota Keluarga Tokoh Negeri yang Maju Pilkada 2020, Ada Anak Jokowi hingga Putra Amien Rais. Diakses dari regional.kompas.com

Kumparan. (2018, Februari 15). Bahaya Dinasti Politik. Diakses dari Youtube

Kumparan. (2020, Januari 6). Dinasti Politik Belum Mati. Diakses dari Youtube

Media Indonesia. (2019, Desember 16). Dinasti Politik. Diakses dari mediaindonesia.com

Pinter Politik. (2020, Februari 11). Sejarah Politik Dinasti, Antara Jokowi dan Gibran. Diakses dari pinterpolitik.com

ebek, J. (2015). Political Nepotism (Disertai). Universitas Charles. Prague, Republik Ceko. Diakses dari sini

Tempo. (2017, Juni 16). Atut Chosiyah Dituntut 8 Tahun Penjara dalam Korupsi Alkes. Diakses dari nasional.tempo.co

Tirto. (2020, Februari 21). Dinasti Politik Era Jokowi Menguat: Apa Bahayanya Bagi Demokrasi?. Diakses dari tirto.id

Tirto. (2019, September 18). Sejarah Hidup Fuad Amin: Wafatnya Sang Penguasa Bangkalan, Madura. Diakses dari tirto.id

Wikidpr. (n.d.). Profil anggota DPR. Diakses dari wikidpr.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun