Dari pengertian tersebut kita mengetahui bahwa politik dinasti pada dasarnya hanyalah suatu fenomena dimana terdapat beberapa anggota keluarga terlibat dalam praktik politik. Dengan kata lain, nepotisme bisa saja menciptakan fenomena politik dinasti akan tetapi politik dinasti tidak pasti semuanya berasal dari tindakan nepotisme.
Politik dinasti bukan merupakan fenomena yang terbilang baru. Sejak awal kemerdekaan, Soekarno membawa pengaruh cukup besar pada masanya, dan mewariskan pengaruh politiknya kepada anak-anaknya. Hasilnya Guruh Soekarnoputra yang pernah menjadi anggota DPR sejak tahun 2004 dan Megawati Soekarnoputri yang menjadi Presiden ke-5 Indonesia (Kumparan, 2020).
Karena menjadi presiden, pengaruh Megawati pun meluas hingga keluarga diantaranya sang suami, Taufik Kiemas adalah Mantan Ketua MPR periode 2009-2014, Puan Maharani (putri) yang menjabat Ketua DPR periode 2019-2024, Puti Guntur Soekarnoputri yang sekarang sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur (Fitri, 2019; Wikidpr, n.d.).
Tidak kalah besar, nama-nama tokoh politik yang mendapatkan warisan pengaruh dari Soeharto yakni Siti Hardiyanti Rukmana (putri), Siti Hediati Hariyadi (putri) dan Prabowo Subianto (menantu). Tidak ketinggalan, Agus Harimurti dan Edhi Baskoro yang masih aktif dalam memperebutkan kursi eksekutif dan legislatif, selalu menyandang nama Yudhoyono dalam berkampanye.
Sebagai anak dari presiden yang masih menjabat sekarang, Gibran dan Bobby selaku putra dan menantu dari Presiden Joko Widodo digadang-gadang akan maju sebagai calon peserta Pilkada 2020 nanti (Kumparan, 2020). Tidak hanya pusat, kekuasaan eksekutif dan legislatif daerah pun tidak luput dari pengaruh politik dinasti.
Menurut Faisal, Direktur Eksekutif Nagara Institute, terdapat tiga kali pilkada serentak di 541 wilayah (33 provinsi, 419 kabupaten, dan 89 kota), ada 80 wilayah 14,78 persen yang terpapar dinasti politik (Tirto, 2020). Dengan panjangnya catatan sejarah mengenai politik dinasti di Indonesia, maka wajar apabila data angka calon peserta Pemilu yang berasal dari dinasti bisa tinggi yang tentunya dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tertentu.
Apabila menilik catatan politik dinasti di Indonesia, nepotisme tampaknya berakar pada bentuk kepedulian secara personal kepada keluarga. Hal ini dibuktikan pada pengamatan Fiona Robertson-Snape (1999) yang melaporkan bahwa nepotisme berkembang dalam masyarakat dengan wujud kesetiaan kepada keluarga yang lebih kuat daripada kesetiaan kepada negara atau pada tugas publik (ebek, 2015).
Selain kesetiaan terhadap keluarga, peribahasa, "Buah tidak jauh dari pohonnya" juga terjadi pada sistem perpolitikan di Indonesia. Seorang Sejarawan, Bonnie Triyana mengatakan: "Di banyak daerah hubungan antara warga dengan pemimpin itu masih patrimonial. Jadi masih ikatan kebapak-an. Masih sangat paternalistik."
Salah satu politisi partai demokrat Andi Mallarangeng memberi pengertian bahwa dalam politik, anak juga memiliki keinginan untuk memiliki pekerjaan yang seperti, atau setidaknya satu bidang dengan ayahnya. Namun Andi juga menegaskan mengenai lubang perdebatan tentang apakah keinginan seseorang bisa terwujud apabila menyangkut pekerjaan yang dipilih oleh rakyat.
Akan tetapi, menurut Bambang Wuryanto selaku ketua DPP PDIP, salah satu pertimbangan masyarakat dalam memilih calon pemangku jabatan politik adalah dari privilese yang dihasilkan dari silsilah keluarga. Bambang juga menambahkan bahwa tugas calon pewaris ini hanya tinggal mempertahankan citra publik yang sudah ada tetap baik atau tidak. Karena, faktor privilese tidak bisa dipungkiri menjadi modal awal yang penting dalam bermain pada panggung politik (Kumparan, 2020).