Kengerian yang ditimbulkan oleh ideologi fasisme memaksa seluruh dunia bersatu dalam satu panji Blok Sekutu yang dimotori Amerika Seriat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet untuk mengakhiri perang dan mengenyahkan fasisme selama-lamanya.Â
Namun, harga yang harus dibayar untuk mencapai hal itu sangat mahal. Diperkirakan sekitar 60 juta orang di seluruh dunia meninggal dunia akibat perang ini, dengan rincian 20 juta personil militer dan 40 juta warga sipil (White, 2011). Banyak kota-kota yang mengalami kehancuran, terutama yang terletak di wilayah pertempuran atau yang sering mendapat serangan bom pesawat terbang, seperti kota-kota di Italia, Prancis, Jerman, dan lainnya.
Salah satu negara yang mengalami kehancuran terparah akibat Perang Dunia II ini adalah Uni Soviet. Jumlah penduduknya yang meninggal dunia akibat perang tersebut mencapai sekitar 27 juta jiwa, dengan rincian 8.7 juta personil militer dan 19 juta warga sipil (Hosking, 2006).Â
Angka tersebut menjadikan Uni Soviet sebagai negara dengan jumlah penduduk yang paling banyak meninggal dunia akibat Perang Dunia II dibandingkan negara mana pun di dunia. Banyak kota di wilayah Uni Soviet yang mengalami kehancuran akibat perang tersebut, termasuk kota-kota yang menjadi wilayah pertempuran antara Uni Soviet melawan Nazi Jerman seperti Moskow, Leningrad (sekarang St. Petersburg) dan Stalingrad (sekarang Volgograd).
Namun sekali lagi, semua itu adalah harga yang harus dibayar untuk mengakhiri perang tersebut dan mengenyahkan teror fasisme oleh Sekutu. Di front Barat, negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis mencanangkan kampanye V for Victory melalui pelipatgandaan produksi mesin perang dan pengerahan pasukan untuk mengalahkan Blok Poros yang menguasai Eropa Barat dan Afrika Utara.Â
Sementara di front Timur, Uni Soviet dibantu perlengkapan perang dari negara-negara yang bertempur di front Barat berjuang mengusir Nazi Jerman dan sekutunya yang menyerbu negara tersebut atas dasar kampanye Lebensraum atau penyediaan ruang hidup bagi bangsa Jerman.Â
Lagu The Sacred War yang digubah oleh komponis Rusia, Aleksandr Aleksandrov, dan sebagian baitnya tercantum pada awal tulisan ini merupakan lagu paling populer di Uni Soviet selama Perang Dunia II di front Timur, atau sering disebut juga sebagai "Perang Patriotik Raya" karena perang ini ditujukan untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, yaitu fasisme (Marples, 2014).
Semua usaha itu membuahkan hasil gemilang, dimana kejayaan Blok Poros dengan fasismenya ketika berhasil menguasai sebagian besar wilayah Eropa seakan terhenti melalui kekalahan pada pertempuran Stalingrad pada tahun 1943 (Bellamy, 2007).Â
Rentetan kekalahan Blok Poros berikutnya melalui pertempuran Kursk (1943), pertempuran Normandia (1944), dan pertempuran lainnya yang berujung pertempuran Berlin (1945) memaksa Blok Poros bertekuk lutut. Hal itu ditandai melalui pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Italia pada tahun 1943 dan Nazi Jerman pada tahun 1945 kepada Sekutu.
Dengan pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Nazi Jerman kepada Sekutu pada tanggal 7 Mei 1945, maka secara resmi Perang Dunia II di wilayah Eropa berakhir (Ziemke, 1990).Â
Sebagian besar penjahat perang dari Blok Poros diadili dan mendapat hukuman yang setimpal dengan kejahatan mereka melalui Pengadilan Nuremberg pada tahun 1946. Sekilas, Eropa telah terbebas dari teror fasisme yang telah membelenggu benua itu selama bertahun-tahun. Akan tetapi, apakah ideologi fasisme lantas mati selama-lamanya?