Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembukaan Kembali Ekspor Pasir Putih: Langkah Mencari Keuntungan atau Degradasi Lingkungan?

10 September 2023   21:32 Diperbarui: 10 September 2023   21:34 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KAMUS#6 Kajian Kastrat BEM FISIP UPNVJ

Pendahuluan

Pada masa modern aktivitas manusia kerap kali memberikan dampak negatif terhadap lingkungan terutama dalam ekosistem industri yang menjadi salah satu penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan. Sejak masa awal industri modern tercipta, lingkungan seringkali tidak dipandang sebagai suatu yang memiliki signifikansi bagi para pebisnis sehingga degradasi lingkungan terus bertambah dan membahayakan keamanan ekosistem yang menyangkut manusia dan lingkungan itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan berbagai kalangan baik akademisi, aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait, bahkan pemerintah melakukan gebrakan langkah baru demi menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang berkelanjutan.

Berkebalikan dari itu, pemerintah Indonesia dibawah kepresidenan Joko Widodo kembali membuka izin terkait ekspor pasir laut yang diundangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diresmikan pada tanggal 15 Mei 2023. Aturan tersebut berisikan mengenai rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan yang didalamnya termasuk penjualan ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut. Keputusan ini dirasa sebuah kemunduran bagi upaya proteksi lingkungan demi meminimalisir dampak-dampak yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat pesisir secara khusus. Terutama di daerah pesisir Sumatera yang mulai merasakan dampak berupa kenaikan tingkat abrasi.

Melihat beberapa tahun kebelakang, keputusan yang menumbalkan lingkungan demi mendapat suntikan ekonomi yang besar guna membiayai berbagai keperluan pemilu, membuat munculnya pikiran-pikiran bahwa pemerintah sedang melakukan strategi yang sama guna menyambut Pemilu 2024 yang proses pelaksanaannya sudah mulai dilakukan, ditambah lagi Pengesahan undang-undang ini pada dasarnya bertentangan undang-undang lainnya yang melarang dilakukannya ekspor pasir laut. Pelarangan ekspor pasir laut tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir laut yang ditandatangani pada 28 Februari 2003 oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan kala itu Rini Soemarno dengan alasan untuk mencegah perluasan kerusakan lingkungan. Penghentian ekspor ini dikarenakan ekspor pasir laut ini memberikan dampak yang sangat urgen terutama bagi daerah daerah perbatasan antara Indonesia dan Singapura, karena masih menjadi perdebatan mengenai batas batas teritorial negara, ditambah lagi dengan proyek reklamasi singapura yang menggunakan bahan baku berupa pasir laut yang berasal dari kepulauan Riau.

Pembukaan kembali ekspor pasir putih ini ditujukan untuk kebutuhan ekonomi namun memiliki dampak yang buruk bagi keberlangsungan lingkungan sehingga menimbulkan berbagai protes keras. Pemerintah selaku law maker seharusnya mempertimbangkan bagaimana dampak

lingkungan yang ditimbulkan disamping memberikan suntikan ekonomi bagi pendapat negara, karena tentu tidak ada artinya apabila besarnya dampak ekonomi diikuti dengan kerusakan ekosistem dan lingkungan yang dapat memberikan tekanan kerugian bukan hanya untuk generasi saat ini namun juga generasi yang akan datang. Selain pemerintah, masyarakat perlu memonitor apabila sekiranya kebijakan ini menghasilkan sesuatu yang tidak sesuai dan memberikan dampak negatif bagi masyarakat khususnya masyarakat di daerah pesisir yang harus menerima imbas dari terealisasinya program ini.

Landasan Teori

Teori Unequal Ecological Exchange

Pertukaran yang tidak setara secara ekologis dibangun di atas hipotesis Prebisch-Singer yang menyatakan bahwa kondisi perdagangan yang memburuk terjadi pada negara-negara yang mengekspor bahan mentah (Prebisch 1950; Singer 1950). Akibatnya, negara-negara kaya menjadi lebih kaya dengan memusatkan keuntungan dari sumber daya ini, sementara negara-negara miskin menjadi semakin miskin karena masyarakat mereka berubah untuk memberikan sumber daya ini kepada negara-negara maju dengan harga terendah (Cardoso dan Faletto 1979; Bunker 1985). Seperti yang dikembangkan oleh aliran ketergantungan atau aliran strukturalis, negara "pinggiran" dalam struktur global dilihat sebagai peran yang kalah dibandingkan dengan "pusat", di mana negara-negara kaya menarik sumber daya dan tenaga kerja murah dari seluruh dunia untuk membuat produk bernilai tinggi yang dapat mereka ekspor kembali ke pinggiran.

Teori pertukaran yang tidak setara secara ekologis menyatakan bahwa negara-negara yang lebih maju dan lebih banyak mengkonsumsi sebagian biaya lingkungan berbasis konsumsi dan produksi mereka ke negara-negara yang kurang berkembang, yang pada gilirannya meningkatkan bentuk-bentuk degradasi lingkungan di negara-negara yang kurang berkembang tersebut (misalnya, Hornborg 2001; Jorgenson 2006; Rice 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa proses struktural dari pertukaran yang tidak setara secara ekologis ini sebagian besar terjadi melalui "aliran vertikal" ekspor dari negara kurang berkembang ke negara yang lebih maju (misalnya, Jorgenson 2006). Secara umum, populasi negara-negara yang lebih maju diposisikan secara menguntungkan dalam ekonomi dunia kontemporer, dan dengan demikian lebih mungkin untuk mengamankan dan mempertahankan persyaratan perdagangan yang menguntungkan, memungkinkan akses yang lebih besar ke sumber daya alam dan kapasitas penyerapan daerah bioproduktif di negara-negara yang kurang berkembang. Akses yang lebih besar ini memfasilitasi eksternalisasi biaya lingkungan dari konsumsi, ekstraksi sumber daya, dan produksi ke negara pinggiran, yang berkontribusi pada peningkatan penipisan sumber daya dan kerusakan lingkungan di dalam negara mereka. Dengan kata lain, proses struktural ini membantu menciptakan kondisi di mana negara-negara yang lebih maju dapat memanfaatkan "ruang lingkungan" global secara berlebihan, yang mencakup persediaan sumber daya alam dan sifat asimilasi limbah dari sistem ekologi yang mendukung organisasi sosial manusia (Rice 2007).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun