Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perppu Cipta Kerja: jalan Pintas Oligarki yang Mencederai Demokrasi

2 Mei 2023   12:15 Diperbarui: 2 Mei 2023   12:33 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perumusannya, pemerintah tidak memberikan ruang yang optimal bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusinya dalam pembentukan UU ini, kendati demikian telah dilakukan berbagai pertemuan dengan beberapa kelompok masyarakat, namun pertemuan-pertemuan tersebut tidak membahas terkait materi perubahan Undang-Undang sehingga tidak jelas materi reformasi hukum apa yang akan diterbitkan dalam Undang-Undang dan Undang-Undang apa yang nantinya akan digabungkan dalam UU Cipta Kerja.

Sulitnya akses masyarakat menuju naskah akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja membuat segenap aspirasi dan pandangan masyarakat dinilai sangat terbatas bahkan tidak signifikan. 

Hal inilah yang membuat UU Cipta Kerja melanggar Pasal 52 ayat 4 dan 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pasal 96 Undang-Undang no 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), yaitu yang mengharuskan pemerintah untuk membuka dan mempermudah akses terhadap Rancangan Undang-Undang demi memberikan ruang sebesar-besarnya bagi partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam mengekspresikan pandangan mereka baik melalui lisan maupun tulisan. 

Banyak pakar hukum yang menilai bahwa Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja sebagai Produk cacat prosedural dan cacat formil sehingga mempengaruhi legitimasi dan konstitusionalitasnya. Pasalnya, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi sehingga pemerintah perlu merevisi UU Cipta Kerja dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 

Namun, dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja secara tiba-tiba tanpa mengindahkan putusan MK membuktikan bahwa pembentukan PERPPU Cipta Kerja tidak sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1- ayat 1 yang kembali ditegaskan dalam UU P3 Pasal 27b No. 15 Tahun 2022 tentang tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. 

Berdasarkan pada konstitusi Indonesia, PERPPU Cipta Kerja juga melanggar UUD RI 1945 Pasal 22 ayat 2 yang kembali ditegaskan dalam UU P3 Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, yang pada pasal 52 ayat 1 mengatur bahwa PERPPU harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang pertama setelah PERPPU ditetapkan. Namun, setelah Presiden mengeluarkan PERPPU pada 30 Desember 2022 dan mengirimkannya ke DPR pada 9 Januari 2023 , dari dimulainya Masa sidang III Tahun 2022-2023 sesudah PERPPU dikeluarkan belum ada agenda rapat paripurna yang menyatakan bahwa PERPPU disetujui oleh DPR. 

Hal ini dapat diterjemahkan bahwa secara konstitusi, dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat 3, PERPPU Cipta Kerja tidak mendapat persetujuan dari DPR dan harus dicabut. PERPPU ini juga tidak sesuai dengan syarat yang telah disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat 1 yang mengatur terkait syarat diterbitkannya PERPPU yakni adanya kegentingan yang memaksa. Meskipun demikian, peraturan ini tetap dikeluarkan bahkan disahkan sehingga dianggap sebagai pelanggaran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan dianggap mengabaikan peran Parlemen dan MK selaku lembaga pembentuk Undang-Undang. 

Dikeluarkan dan disahkannya PERPPU Cipta Kerja yang cacat secara prosedur menandakan bahwa Pemerintah khususnya "yang mulia tuan" Presiden Joko Widodo tidak memiliki keinginan untuk mematuhi keputusan yang telah ditetapkan MK dan hal tersebut memberikan dampak negatif terhadap masyarakat yang dipimpinnya dan memperlihatkan kecacatan hubungan antara trias politika yang berlaku di Indonesia. 

Kebohongan Dalam "Kegentingan yang Memaksa" 

Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) merupakan konstitusi yang ditetapkan Presiden dengan persetujuan DPR dalam kondisi darurat dan memaksa. Pengertian ini telah tertuang dalam pasal 22 ayat 1-3 UUD 194 yang menjadi dasar hukum diterbitkannya sebuah PERPPU. Frasa "kegentingan yang memaksa" ini maknanya diterangkan lebih jelas dalam putusan MK No. 138/PUU/VII/2009 yang memuat keadaan yang memerlukan kehadiran PERPPU yang diantaranya adalah :  

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun