Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perppu Cipta Kerja: jalan Pintas Oligarki yang Mencederai Demokrasi

2 Mei 2023   12:15 Diperbarui: 2 Mei 2023   12:33 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

KAMUS#4, program Kastrat BEM FISIP UPNVJ

PENDAHULUAN

Pada pidato pertamanya sebagai Presiden Indonesia pasca pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-20124, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung untuk segera menerbitkan sebuah Undang-Undang yang digunakan Untuk merevisi secara sekaligus puluhan Undang-Undang yang disebut sebagai Omnibus Law. setelah itu sekian bulan proses perumusan Rancangan Undang-Undang Cipta kerja, pada tanggal 7 februari dirilis naskah akademis dari draf RUU tersebut. 

Akan tetapi setelah dibuka ke masyarakat, draf RUU ini mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang merasa banyak sekali poin-poin dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini dirasa merugikan masyarakat yang terdampak seperti buruh dan petani. Alih alih memenuhi aspirasi rakyat pemerintah justru mengesahkan RUU Cipta Kerja tersebut menjadi Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 pada 5 Oktober 2020. 

Alhasil, aksi demonstrasi pun bermunculan dan gugatan yang didominasi oleh kaum buruh, mahasiswa, anggota LSM, dan golongan lainnya bermunculan di berbagai daerah sebagai respon kekesalan terhadap eksekutif dan legislatif yang menyusun Undang-Undang namun tidak mengakomodir kepentingan rakyat justru merugikan sebagian besar masyarakat. Kurun waktu perencanaan yang super kilat tanpa melalui proses yang sejalan dengan konstitusi yang mengedepankan keterlibatan publik. Akhirnya pada 6 November 2020, empat hari pasca penandatanganan presiden, masyarakat mengajukan tuntutan permohonan pengujian kembali UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 kepada Mahkamah Konstitusi. 

Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi akhirnya menetapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang berisi bahwa UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 diputuskan sebagai Undang-Undang yang inkonstitusional bersyarat. Hal tersebut didasarkan pada kecacatan formil dan kecacatan prosedur pada proses pengesahan UU Cipta Kerja. Kecacatan formil yang dimaksud adalah tentang skema Pembentukan UU Cipta Kerja yang tidak memenuhi prinsip dan asas pembuatan Undang-Undang. Metode penyusunan UU Cipta Kerja tidak memenuhi Standar baku, serta sistematika pembentukan Undang-Undang yang telah diatur dalam konstitusi.

Namun, setelah hampir dua tahun berselang pasca putusan inkonstitusional terhadap UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Eksekutif secara tiba-tiba menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022. Tindakan tersebut semakin memperkeruh keadaan karena dianggap sebagai bentuk pemabngkangan terhadap hukum dan konstitusi yang dicerminkan dari pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.. Partisipasi masyarakat yang terus dikikis menimbulkan perlawanan dari berbagai elemen di masyarakat yang menganggap bahwa terbitnya PERPPU ini tidak sesuai dengan syarat kegentingan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945.  

PEMBAHASAN

Cacat Formilnya UU Cipta Kerja 2020

Pada awal 2020 lalu, frasa Omnibus Law menjadi perbincangan hangat yang menimbulkan kontroversi di Masyarakat yang mengundang perdebatan banyak pihak seperti akademisi hukum, pemerhati politik, pemerintahan, aktivis lingkungan, hingga penguasa. Menurut Jardine Le Blanc frasa omnibus law diartikan sebagai suatu aturan yang terdiri dari banyak muatan. Munculnya istilah omnibus law ke permukaan masyarakat diawali oleh pidato pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 yang dilakukan oleh presiden terpilih Joko Widodo, pada tanggal 20 Oktober 2019. 

Dalam pidatonya tersebut, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa beliau ingin menerbitkan sebuah Undang-Undang yang berfungsi untuk mengamandemen beberapa Undang-Undang secara sekaligus sehingga dikenal lah istilah Undang-undang Omnibus Law atau Undang-Undang Sapu Jagat di masyarakat. Terdapat 2 Undang-Undang yang dimaksud oleh pidato Presiden Joko Widodo sebagai Omnibus Law yakni UU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil menengah.

Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa penciptaan UU Omnibus Law bertujuan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sudah menjadi bibit penyakit di Indonesia, seperti banyaknya substansi yang saling tumpang tindih, partisipasi publik yang menurun, tidak terwujudnya reformasi penataan regulasi dari lembaga negara dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuat Joko Widodo menginisiasi pembentukan UU Omnibus Law guna menyederhanakan, memotong, membuat sejumlah regulasi yang ada agar lebih efisien dan komprehensif.

RUU Cipta Kerja pun diusulkan oleh Presiden Joko Widodo pada sekitar April 2020, namun sayangnya UU tersebut menghasilkan berbagai tekanan dari masyarakat sebagai bentuk respon dari terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Tekanan masyarakat yang berasal dari berbagai bidang yang meniup angin sehingga berbagai permasalahan dan kejanggalan akibat RUU Cipta Kerja ini berhasil naik ke masyarakat dan menyebabkan kericuhan dalam proses penyusunannya. 

Pasca terbentuknya UU Cipta Kerja ini, ditemukan berbagai macam kecacatan di bagian tubuh Undang-Undang ini sehingga memberikan kesan bahwa pembentukan Undang-Undang ini dilakukan secara "asal-asalan" karena kecacatan yang muncul bukanlah kecacatan yang kecil dan bisa diremehkan. Terbukti kecacatan yang ada dalam tubuh Undang-Undang ini mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) perlu melakukan uji formil yang bahkan sebelumnya belum pernah dilakukan sejak berdirinya lembaga tersebut. 

Pasca dilakukan uji formil terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, MK menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 cacat formil dan inkonstitusional bersyarat berdasarkan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada tanggal 25 November 2021. Namun, pernyataan cacat formil ini tidak didukung oleh sikap tegas MK yang seharusnya dapat membatalkan pembentukan undang-undang ini, akan tetapi malah memberikan waktu perbaikan selama dua tahun lamanya agar UU ini dapat dinyatakan sesuai dengan bentuk undang-undang yang seharusnya. 

Makna inkonstitusional ini adalah ketika pembentukan suatu Undang-Undang dinyatakan tidak sesuai dan keluar jalur dari asas-asas pembentukan UU yang berlaku, hingga UU tersebut dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan diputuskan bahwa UU tersebut bersifat inkonstitusional. Undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional dapat berubah menjadi konstitusional apabila syarat dalam prosedur pembentukan ini diperbaiki dan terpenuhi, namun apabila tidak diperbaiki dalam tenggat waktu yang ditentukan maka UU tersebut dinyatakan sebagai inkonstitusional permanen. 

Dalam kasus pembentukan UU Cipta Kerja. Terdapat beberapa alasan mengapa UU tersebut dinyatakan inkonstitusional. Pertama disebabkan oleh prosedur pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan norma dan asas yang berlaku dan juga tidak memenuhi standar serta sistematika pembentukan yang telah ditentukan. Putusan inkonstitusionall juga sebagai upaya MK untuk mengjindari ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan dampak lain apabila UU Cipta Kerja ini diloloskan begitu saja. 

Alasan kedua adalah berkaitan dengan asas keterbukaan yang pada kasus UU Cipta Kerja ini dalam proses pembentukannya tidak memberikan ruang partisipasi publik yang seharusnya sehingga terjadi miskomunikasi dan benturan kepentingan antara pembuat undang-undang dan masyarakat yang terdampak. Memang sebelumnya terdapat berbagai forum yang mengundang beberapa kelompok masyarakat dalam pembentukannya. Namun, pada forum tersebut tidak ada pembahasan yang menjurus ke arah naskah akademik atau poin-poin yang dirumuskan dalam UU ini. 

Selain itu prosedur dalam rangka sosialisasi UU ini pun tidak mudah terutama bagi masyarakat awam yang terkendala akses dalam membuka draft Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ini yang membuat seolah-olah bahwa perencanaan Undang-Undang Cipta Kerja ini ditutup-tutupi dan disembunyikan dari masyarakat yang hal tersebut tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 96 ayat 4 bahwa akses terhadap Undang-Undang seharusnya dipermudah bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat memberikan kritik dan masukan baik secara tertulis maupun secara lisan. 

Jalan Tikus Para "Tikus" Melalui Pengesahan PERPPU Ciptaker 

Putusan Mahkamah Konstitusi yang jelas menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bersifat inkonstitusional bersyarat dan wajib dilakukan evaluasi perbaikan dalam penyusunannya tidak dihiraukan oleh para pembuat kebijakan. Bukannya diperbaiki dalam jangka waktu yang telah ditentukan MK dengan membuka partisipasi publik sebesar-besarnya, pada tanggal 30 Desember 2022 yang terhormat Presiden Joko Widodo malah mengambil jalan tikus dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai kado tahun baru bagi masyarakat Indonesia. 

Hal tersebut membuktikan bahwa adanya pengabaian terhadap putusan MK yang telah ditetapkan dan juga pengabaian akan keterbukaan terhadap partisipasi masyarakat dan aspirasi para praktisi dan akademisi dalam bidang terkait. Hal tersebut memaksa rakyat untuk menerima apapun suapan yang menjadi kemauan pemerintahan oligarki yang mungkin dalam perumusannya hanya mewakili golongan-golongan tertentu.  

Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang dan PERPU adalah dua jenis instrumen hukum yang berbeda. Undang-undang adalah peraturan hukum yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan Presiden. Berdasarkan pasal 20 UUD 1945 dijelaskan bahwa (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (2) Setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh DPR dan juga Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. 

Sedangkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) merupakan kebijakan pemerintah yang diterbitkan oleh Presiden untuk mengatasi ihwal kegentingan yang memaksa dalam mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Terdapat tiga syarat yang perlu dipenuhi oleh Presiden dalam menerbitkan PERPPU, yaitu syarat pertama adalah kegentingan yang mendesak dalam menyelesaikan masalah hukum secara efektif dan berdasar pada Undang-Undang. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, dan yang terakhir apabila terdapat UU tapi keberadaanya tidak memadai. 

Dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, pemerintah sebagai aktor pembuatan kebijakan sudah semestinya melaksanakan asa keterbukaan akan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari proses perencanan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan yang harus bersifat transparan dan terbuka karena pada dasarnya pemerintah bekerja dalam sebuah akuarium kenegaraan sehingga perlu adanya partisipasi yang bermakna atau "meaningfull participation" dalam penyusunannya. 

Pemahaman meaningful participation yang dimaksud dalam konteks ini adalah bahwa setiap individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan publik yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini termasuk dalam hak untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan serta pendapat, juga hak untuk diikutsertakan pada proses pengambilan keputusan.

Terdapat perbedaan antara cara memaknai meaningful participation dan pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPPU) yang terletak dalam proses pembuatan dan penyusunan kedua instrumen tersebut.

Dalam pembuatan Undang-Undang, DPR memiliki peran penting untuk mengumpulkan masukan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait Undang-Undang yang sedang dirumuskan sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang. Proses ini memberikan kesempatan bagi masyarakat dan berbagai pihak yang terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berpartisipasi dan memberikan kontribusi bagi pembuatan UU yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. 

Dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), proses pengambilan keputusan dilakukan dalam keadaan genting dan mendesak, sehingga proses pengambilan aspirasi dari masyarakat dilakukan dengan cepat melalui jalan yang tidak melewati tahap-tahap yang telah diharuskan dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan kata lain, masyarakat tidak memiliki kesempatan yang besar untuk memberikan aspirasinya dalam proses perumusan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka tersebut. 

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dalam memaknai meaningful participation, Undang-Undang memberikan lebih banyak kesempatan dan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyusunan dan perumusan Undang-Undang yang mempengaruhi kehidupan mereka dibandingkan PERPPU. Meskipun begitu, baik penyusunan Undang-Undang maupun PERPPU tetap perlu memperhatikan aspirasi publik dan memastikan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan kontribusi dalam penyusunan kebijakan publik.

Dalam konteks penyusunan PERPPU Cipta Kerja yang sudah terjadi saat ini , sudah jelas bahwa pemerintah dengan santai membangkangi dan tidak memperdulikan keputusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memandatkan pemerintah untuk mengevaluasi dan memperbaiki penyusunan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dengan melibatkan partisipasi yang bermakna atau meaningful participation. Dengan dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja ini, secara tidak langsung pemerintah memang memiliki niat untuk menutup kuping dari aspirasi masyarakat dan mengunci mulut masyarakat untuk berkontribusi dalam penyusunan kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan mereka. 

Prosedur Penyusunan PERPPU Cipta Kerja yang Penuh Kecacatan 

Pasca dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja pada akhir tahun 2022 lalu, PERPPU ini mendapat berbagai penolakan dari kalangan masyarakat yang beragam akibat dari penyusunannya yang tidak sesuai dengan konstitusi karena diselenggarakan tidak dengan cara demokratis dan tidak partisipatif, tidak bisa dipertanggungjawabkan, rumusan yang tidak sinkron serta sulit dimengerti, dan adanya transformasi substantif diluar tahap pengesahan. 

Dalam perumusannya, pemerintah tidak memberikan ruang yang optimal bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan memberikan kontribusinya dalam pembentukan UU ini, kendati demikian telah dilakukan berbagai pertemuan dengan beberapa kelompok masyarakat, namun pertemuan-pertemuan tersebut tidak membahas terkait materi perubahan Undang-Undang sehingga tidak jelas materi reformasi hukum apa yang akan diterbitkan dalam Undang-Undang dan Undang-Undang apa yang nantinya akan digabungkan dalam UU Cipta Kerja.

Sulitnya akses masyarakat menuju naskah akademik Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja membuat segenap aspirasi dan pandangan masyarakat dinilai sangat terbatas bahkan tidak signifikan. 

Hal inilah yang membuat UU Cipta Kerja melanggar Pasal 52 ayat 4 dan 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pasal 96 Undang-Undang no 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), yaitu yang mengharuskan pemerintah untuk membuka dan mempermudah akses terhadap Rancangan Undang-Undang demi memberikan ruang sebesar-besarnya bagi partisipasi dan aspirasi masyarakat dalam mengekspresikan pandangan mereka baik melalui lisan maupun tulisan. 

Banyak pakar hukum yang menilai bahwa Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja sebagai Produk cacat prosedural dan cacat formil sehingga mempengaruhi legitimasi dan konstitusionalitasnya. Pasalnya, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi sehingga pemerintah perlu merevisi UU Cipta Kerja dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 

Namun, dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja secara tiba-tiba tanpa mengindahkan putusan MK membuktikan bahwa pembentukan PERPPU Cipta Kerja tidak sesuai dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1- ayat 1 yang kembali ditegaskan dalam UU P3 Pasal 27b No. 15 Tahun 2022 tentang tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. 

Berdasarkan pada konstitusi Indonesia, PERPPU Cipta Kerja juga melanggar UUD RI 1945 Pasal 22 ayat 2 yang kembali ditegaskan dalam UU P3 Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, yang pada pasal 52 ayat 1 mengatur bahwa PERPPU harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang pertama setelah PERPPU ditetapkan. Namun, setelah Presiden mengeluarkan PERPPU pada 30 Desember 2022 dan mengirimkannya ke DPR pada 9 Januari 2023 , dari dimulainya Masa sidang III Tahun 2022-2023 sesudah PERPPU dikeluarkan belum ada agenda rapat paripurna yang menyatakan bahwa PERPPU disetujui oleh DPR. 

Hal ini dapat diterjemahkan bahwa secara konstitusi, dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat 3, PERPPU Cipta Kerja tidak mendapat persetujuan dari DPR dan harus dicabut. PERPPU ini juga tidak sesuai dengan syarat yang telah disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 22 ayat 1 yang mengatur terkait syarat diterbitkannya PERPPU yakni adanya kegentingan yang memaksa. Meskipun demikian, peraturan ini tetap dikeluarkan bahkan disahkan sehingga dianggap sebagai pelanggaran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dan dianggap mengabaikan peran Parlemen dan MK selaku lembaga pembentuk Undang-Undang. 

Dikeluarkan dan disahkannya PERPPU Cipta Kerja yang cacat secara prosedur menandakan bahwa Pemerintah khususnya "yang mulia tuan" Presiden Joko Widodo tidak memiliki keinginan untuk mematuhi keputusan yang telah ditetapkan MK dan hal tersebut memberikan dampak negatif terhadap masyarakat yang dipimpinnya dan memperlihatkan kecacatan hubungan antara trias politika yang berlaku di Indonesia. 

Kebohongan Dalam "Kegentingan yang Memaksa" 

Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) merupakan konstitusi yang ditetapkan Presiden dengan persetujuan DPR dalam kondisi darurat dan memaksa. Pengertian ini telah tertuang dalam pasal 22 ayat 1-3 UUD 194 yang menjadi dasar hukum diterbitkannya sebuah PERPPU. Frasa "kegentingan yang memaksa" ini maknanya diterangkan lebih jelas dalam putusan MK No. 138/PUU/VII/2009 yang memuat keadaan yang memerlukan kehadiran PERPPU yang diantaranya adalah :  

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara tepat berdasarkan Undang-Undang; 

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; 

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berdasarkan tiga tolak ukur tersebut, PERPPU Cipta Kerja ini dianggap belum memenuhi syarat kekosongan hukum yang dijabarkan diatas. Kuasa hukum pemohon perkara No. 5/PUU-XXI/2023 perihal "Pengujian Formil dan Materiil PERPPU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terhadap UUD RI 1945" Victor Santoso menyampaikan bahwa selama ini sebetulnya tidak terjadi kekosongan hukum karena pemerintah sejatinya masih menggunakan UU No. 11 Tahun 2020 dalam proses penyelesaian masalah hukum yang bersifat mendesak dan masih menjadi ruang lingkup Undang-Undang Cipta Kerja.

Walaupun Undang-Undang tersebut masih perlu direvisi dan di evaluasi perihal substansinya agar sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dan juga UU No. 13 Tahun 2022. Selain kekosongan hukum, Rivanlee Anandar selaku Wakil Koordinator II Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mengatakan bahwa tidak adanya desakan ataupun tekanan berupa tuntutan dari masyarakat luas untuk penerbitan PERPPU ini, malah ber kebalikannya, PERPPU ini justru menimbulkan gelobang penolakan dari aliansi masyarakat secara masif di berbagai daerah di Indonesia yang menandakan bahwa PERPPU ini tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. 

Pertimbangan dari penerbitan PERPPU Cipta Kerja ini pun kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat bahkan dikalangan para akademisi. Seperti yang disebutkan pemerintah bahwasanya salah satu urgensi atau kegentingan yang mendorong lahirnya PERPPU no 2 Tahun 2022 ini merupakan ancaman dari gejolak dan ketidakpastian kondisi ekonomi global pasca konflik Rusia-Ukraina. 

Namun, statement ini menjadi kontradiktif dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yaitu Airlangga Hartarto yang memperlihatkan rasa optimistik bahwa pertumbuhan ekonomi yang ada di Indonesia saat ini mampu menjadi perisai dan bekal pertahanan dalam menghadapi ancaman resesi global Tahun 2023. Pernyataan Airlangga Hartanto tersebut diperkuat oleh hasil proyeksi Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa pada kuartal satu, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai sekurang-kurangnya lima persen yang diakibatkan oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia pada awal tahun ini. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira juga memberikan pandangannya terkait embel-embel urgensi dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja ini. Beliau menyatakan bahwa kehadiran PERPPU ini akan menciptakan ketidakpastian Hukum yang menimbulkan keraguan para investor karena regulasi yang berubah-ubah, terburu-buru dan tidak adanya kepastian regulasi jangka panjang. Belum ada jaminan bahwa investasi akan meningkat dengan penerbitan PERPPU tersebut. 

Sebab realitasnya jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi padahal beberapa regulasi turunan dari PERPPU ini sudah berjalan. Selain itu, penerbitan PERPPU ini juga berdampak bagi berbagai sektor dalam kehidupan di Masyarakat. 

Pengenyampingan Dampak Lingkungan dari PERRPU Cipta Kerja 

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau PERPPU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinilai mengenyampingkan aspek Lingkungan Hidup dalam perumusannya.. Perppu ini dinilai dan diyakini hanya akan semakin meningkatkan eskalasi pelanggaran dan pencemaran yang dilakukan oleh pihak korporat dan perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam yang tentu saja mengancam ketersediaan dan juga keamanan sumber daya yang dimiliki Indonesia selama ini. 

Sejalan dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinyatakan bermasalah dan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, PERPPU ini juga mengatuh berbagai isu lingkungan yang mencakup sektor kehutanan, perkebunan dan juga agraria. Menilik jauh sebelum pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang menimbulkan arus demonstrasi yang besar pada tahun 2020, banyak akademisi dan juga pakar terkait lingkungan juga para aktivis yang mempertanyakan sejumlah ketentuan dalam draf Rancangan Undang-Undang tersebut yang menyambut ancaman akan kelestarian hutan dan lingkungan hidup. 

Bahkan, lebih jauh lagi para aktivis dan akademisi memandang bahwa pengesahan UU ini dinilai dapat menjauhkan harapan masyarakat Indonesia dari reforma agraria sejati yang selama ini diperjuangkan.  

Aktivis dan akademisi pemerhati lingkungan mempertanyakan terkait kondisi mendesak yang seakan akan dijadikan pelindung PERPPU yang bermasalah ini agar tetap bisa disahkan, namun hal tersebut memiliki kontradiksi dengan isi PERPPU tersebut yang dirasa akan terus menambah dan meningkatkan jumlah pelanggaran dan kerusakan lingkungan akibat keleluasaan yang diberikan kepada pihak korporasi.

Khususnya pada Pasal 110 a dan b yang memberikan waktu kepada perusahaan yang merampok sumber daya alam untuk bisa melengkapi perizinannya hingga tanggal 2 November 2023 yang berarti terjadi pembangkanan pihak eksekutif terhadap MK yang telah menyatakan bahwa UU ini tidak sejalan dengan konstitusi. 

Menilik dari situs kompas.id, menurut Zenzi pada awal pemerintahan Joko Widodo menjabat terhitung terdapat lebih dari 800 perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap UU perkebunan, UU perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan UU kehutanan. Melihat lebih jauh, terdapat lebih dari 1.600 perusahan bidang pertambangan yang melakukan pelanggaran serupa. Jika mengikuti keputusan MK, seharusnya proses penegakan hukum dapat dilakukan terhadap lebih dari 2.000 pembunuh lingkungan tersebut hingga 2025.

Namun, dengan disahkannya PERPPU ini, seluruh perusahaan tersebut diberi kesempatan untuk memperbaiki tata kelola dan perizinannya hingga 2 November 2023 yang seakan-akan pemerintah memberikan jabatan tangan bagi kelompok perusak masa depan bangsa untuk terus melanjutkan kebobrokannya 

PERPPU ciptaker ini juga memenggal beberapa ketentuan yang menguntungkan rakyat dalam proses perizinan pendirian suatu perusahaan yang telah dicantumkan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyebutkan terkait penyusunan AMDAL yang harus melibatkan masyarakat dan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan. Selain itu, masyarakat dan aktivis yang merasa bahwa dokumen AMDAL yang diajukan masih berbahaya bagi lingkungan diberikan ruang untuk mengajukan keberatannya. 

Dalam PERPPU Cipta Kerja, banyak ketentuan tersebut diubah. Dalam pasal 26 hanya menyatakan bahwa penyusunan Dokumen MADAL ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat terdampak secara langsung, namun ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan masyarakat diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP). Jahatnya PERPPU ini dapat dilihat dari dihilangkannya ruang bagi masyarakat untuk dapat mengajukan keberatan terkait dokumen AMDAL yang diajukan pihak perusahaan. PERPPU ini juga menghapuskan ketentuan dokumen AMDAL dinilai oleh komisi penilai AMDAL yang dibentuk oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Lanjutnya PERPPU Ciptaker juga menghapus ketentuan dalam pasal 93 UU PPLH yang memberikan ruang bagi orang-orang untuk dapat mengajukan gugatan ke PTUN apabila perusahaan terkait maupun pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan tanpa disertai AMDAL dan juga menghapuskan ketentuan pasal 40 mengenai izin lingkungan yang dihapuskan dalam PERPPU Ciptaker. Padahal izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha. 

DAMPAKNYA TERHADAP KEADAAN TENAGA KERJA/BURUH 

Dengan disahkannya peraturan pengganti perundang-undangan cipta kerja menjadi undang undang cipta kerja oleh DPR RI mengakibatkan terjadinya aksi aksi penolakan oleh elemen masyarakat dari mahasiswa hingga buruh. Dalam perancangannya, masyarakat melihat bahwa pemerintah egois atau tutup mata karenanya rakyat tidak diikutsertakan lalu tidak memperhatikan proses yudisial review yang memakan biaya, waktu serta tenaga. Akibatnya, perppu cipta kerja ini menghasilkan banyak poin poin yang kontroversial. Hal ini dapat dikatakan bahwa perppu cipta kerja lebih buruk jika dibandingkan dengan UU Omnibus Law cipta kerja pada tahun 2020.

Oleh karena itu, perppu cipta kerja dapat memperburuk keadaan negara yang sedang rusak. salah satunya yang paling terkena dampaknya yaitu dari kalangan buruh dan tenaga kerja. Perppu Cipta kerja dinilai hanya mensejahterakan para pengusaha dan korporat. Perppu Cipta kerja ini yang paling berdampak buruk yaitu diantaranya buruh dan tenaga kerja. Perppu Cipta kerja ini menjadi akal akalan pemerintah yang dianggap penyelamat terhadap krisis perekonomian yang disebabkan oleh perang ukraina-rusia. 

Pada kenyataanya sejumlah pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak berpihak terhadap masyarakat, mengutip dari kompas.id, peneliti The Institute for ECOSOC Rights Sri Palupi mengatakan bahwa UU Cipta Kerja akan berdampak negatif bagi masyarakat pedesaan dan juga kaum buruh. Perlindungan kerja terhadap petani akan melemah dan komoditas pangan impor akan semakin menekan petani lokal. Misalnya pada pasal 30 Ayat 1 UU Cipta Kerja yang membuka lebar keran impor pangan sehingga Petani bersaing di pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pemodal besar di bidang pangan. 

Selain itu, penghapusan soal sanksi dua tahun penjara dan juga denda dengan jumlah Rp 2 Miliar bagi pengimpor komoditas pertanian saat hasil komoditas lokal masih mencukupi yang sebelumnya diatur dalam pasal 101 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian. Banyak petani yang khawatir akan diri mereka sendiri akibat diloloskannya PERPPU Cipta Kerja sebagai Undang-Undang yang dapat mengikis lapangan pekerjaan mereka. Produksi dalam negeri berkemungkinan mati, benih lokal menghilang dan tergusurnya lahan di atas nama Investasi Luar negeri.

Bukan hanya kelompok petani, kelompok nelayan dan masyarakat pesisir juga berkemungkinan mengalami nasib yang berbeda. Menghilangnya pembatasan ukuran kapal dan merugikan nelayan-nelayan kecil di pesisir yang mencari ikan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka merasa dikesampingkan karena penyamarataan antaran nelayan kecil dan nelayan bermodal besar yang didukung korporat.

Peraturan dalam UU Cipta Kerja yang menghapuskan batas area tangkapan dapat mengancam tangkapan per hari bagi nelayan-nelayan kecil ditambah lagi pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga tidak lagi wajib melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang terdampak apalagi jika terjadi kerusakan lingkungan yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari. 

Para aktivis dan juga akademisi mengatakan bahwa disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja dapat menyengsarakan buruh. Buruh akan kehilangan kepastian kerja, keadaan ekonominya akan semakin tertekan karena pemberian upah yang semakin rendah namun beban kerja bertambah, dan nilai tawar buruh terhadap perusahaan dan pemerintah akan merosot. 

Berbagai penolakan hadir untuk menolak Undang-Undang tersebut yang dirasa terlalu berpihak terhadap kepentingan pemilik modal dan mengenyampingkan kepentingan buruh dan masyarakat kecil. suara -suara penolakan dari berbagai golongan di masyarakat melalui jalanan maupun jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi tidak didengar dan hanya dianggap sebagai angin lalu, bahkan beredar surat telegram Kepala Polri yang menginstruksikan kepolisian untuk melawan narasi narasi anti UU Cipta Kerja di Masyarakat. 

Daftar Pustaka

Amindoni Ayomi, (2020), Kesalahan 'Fatal' Pasal Pasal UU Cipta Kerja Akibat 'Proses Legislasi Ugal-Ugalan', Pemerintah Sebut..., Diakses pada 29 Maret 2023 melalui https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-54768000.amphttps:// www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-54768000.amp 

Arandito, S. (2023). UU Cipta Kerja Sah, Masyarakat Desa dan Buruh Makin Resah. www.Kompas.id. Diakses pada 15 April 2023. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/03/24/uu-cipta-kerja-sah-masyarakat-desadan-buruh-semakin-resah 

Aris. (2023). Perppu Ciptaker Disahkan, Buruh : Bagi Kami Ini Sebuah Pelanggaran Norma Kehidupan. www.metro.batampos.co.id. Diakses pada 16 April 2023. https://metro.batampos.co.id/perppu-ciptaker-disahkan-buruh-bagi-kami-ini-sebuah-pelan ggaran-norma-kehidupan/ 

DPR RI, (n.d.), PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN, Diakses pada 29 Maret 2023 melalui https://www.dpr.go.id/jdih/uu 

Dr. Rio Christiawan, S.H., M.Hum., M.Kn., Omnibus Law (Teori dan Penerapannya), Jakarta, Sinar Grafika, 2021, Hal. 1, Diakses pada 28 Maret 2023 

Dwi Anggono Bayu, (2020), Omnibus Law Sebagai Teknik Pembentukan Undang-Undang:Peluang Adopsi dan Tantangannya..., Jember:FH Universitas Jember, Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.9, No.1, Hal.18, Diakses pada 27 Maret 2023 melalui https://scholar.google.com/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=omnibuslaw+sebagai+tekni k+pembentukan+undang-undang&btnG=&rlz=#d=gs_qabs&t=1680017235048&u=%23 p%3D_4y21Zp0JREJ 

Hukumonline.com, (2020), Akademisi FH UGM ini Sebut UU Cipta Kerja Malah Menambah Masalah Ketenagakerjaan, Diakses pada 29 Maret 2023 melalui https://www.hukumonline.com/berita/a/akademisi-fh-ugm-ini-sebut-uu-cipta-kerja-malah -menambah-masalah-ketenagakerjaan-lt5fc0ab405ce64/?page=2 

KEMENKUMHAM, (no date), Artikel Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang-undangan, Diakses pada 29 Maret 2023 melalui https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 3000:peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-dari-masa-ke-masa&catid=100&It emid=180&lang=en 

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (2021), Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Diakses pada 28 Maret 2023 melalui https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.mkri.id/public/c ontent/persidangan/putusan/putusan_mkri_8240_1637822490.pdf&ved=2ahUKEwjaoYrI -f79AhUk1TgGHSzjCTIQFnoECBcQAQ&usg=AOvVaw0ULrWi4WH6PMpZlhpwUozs 

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (2021), MK:Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Harus Diperbaiki dalam Jangka Waktu Dua Tahun, Diakses pada 27 Maret 2023 melalui https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17816 

Mahkamah Konstitusi RI, (2023), Perpu Cipta Kerja Dinilai Tak Memenuhi Syarat Kegentingan Memaksa, Diakses pada 29 Maret 2023 melalui https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18845 

Natalia, F. (2023). Dampak Buruk Disahkannya UU Cipta Kerja, Masyarakat Desa dan Buruh Kian Terimpit. www.kompas.tv. Diakses pada 15 April 2023. https://www.kompas.tv/article/391303/dampak-buruk-disahkannya-uu-cipta-kerja-masyar akat-desa-dan-buruh-kian-terimpit#:~:text=Buruh%20kehilangan%20kepastian%20kerja &text=Menurut%20dia%2C%20buruh%20akan%20kehilangan,perusahaan%20dan%20p emerintah%20akan%20merosot. 

Novelino, A. (2023). Perppu Ciptaker Hapus Peran Pemerhati Lingkungan pada Penyusunan Amdal. www.cnnindonesia.com. Diakses pada 12 April 2023. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230105143718-92-896606/perppu-ciptaker-ha pus-peran-pemerhati-lingkungan-pada-penyusunan-amdal 

Pandu, P. (2023). Sisi Lingkungan Hidup Tetap Diabaikan dalam Perpu Cipta Kerja. www.kompas.id. Diakses pada 12 April 2023. https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/28/sisi-lingkungan-hidup-tetap-diabaika n-dalam-perppu-cipta-kerja 

Putra Antoni, (2021), Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK), 'InkonstitusionalBersyarat':Putusan MK Atas UU Cipta Kerja Memunculkan Tafsir Ambigu, Diakses pada 28 Maret 2023 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU/VII/2009, hlm. 19. 

Rahadi, F. (2023). Perpu Cipta Kerja Dinilai Langgengkan Pasal Berbahaya Bagi Lingkungan Hidup. www.rejogja.republika.co.id. Diakses pada 12 April 2023. https://rejogja.republika.co.id/berita/ro0g3e291/perpu-cipta-kerja-dinilai-langgengkan-pa sal-berbahaya-bagi-lingkungan-hidup 

Rishan, Idul. "Evaluasi Performa Legislasi dalam Pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja: Kajian Legisprudensi." vol. 5, no. 1, 2022. undang, https://ujh.unja.ac.id/index.php/home/article/view/390 

Universitas Islam Indonesia. "Dosen UII Berikan Pandangan Mengenai Perppu Cipta Kerja." Universitas Islam Indonesia, 9 January 2023, https://www.uii.ac.id/dosen-uii-berikan-pandangan-mengenai-perppu-cipta-kerja/ 

UNS, (n.d.), PENERAPAN ASAS KETERBUKAAN SEBAGAI PERWUJUDAN ELEMEN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, Diakses pada 30 Maret 2023 melalui https://journal.uns.ac.id/Souvereignty/article/download/147/166 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun