Mohon tunggu...
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ
KASTRAT BEM FISIP UPNVJ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ditjen Kajian Aksi Strategis BEM FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Akun Kompasiana Direktorat Jenderal Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Kabinet Astana Bimantara

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perppu Cipta Kerja: jalan Pintas Oligarki yang Mencederai Demokrasi

2 Mei 2023   12:15 Diperbarui: 2 Mei 2023   12:33 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang dan PERPU adalah dua jenis instrumen hukum yang berbeda. Undang-undang adalah peraturan hukum yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan Presiden. Berdasarkan pasal 20 UUD 1945 dijelaskan bahwa (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (2) Setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama oleh DPR dan juga Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. 

Sedangkan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) merupakan kebijakan pemerintah yang diterbitkan oleh Presiden untuk mengatasi ihwal kegentingan yang memaksa dalam mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Terdapat tiga syarat yang perlu dipenuhi oleh Presiden dalam menerbitkan PERPPU, yaitu syarat pertama adalah kegentingan yang mendesak dalam menyelesaikan masalah hukum secara efektif dan berdasar pada Undang-Undang. Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, dan yang terakhir apabila terdapat UU tapi keberadaanya tidak memadai. 

Dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, pemerintah sebagai aktor pembuatan kebijakan sudah semestinya melaksanakan asa keterbukaan akan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari proses perencanan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan yang harus bersifat transparan dan terbuka karena pada dasarnya pemerintah bekerja dalam sebuah akuarium kenegaraan sehingga perlu adanya partisipasi yang bermakna atau "meaningfull participation" dalam penyusunannya. 

Pemahaman meaningful participation yang dimaksud dalam konteks ini adalah bahwa setiap individu dan kelompok dalam masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan publik yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini termasuk dalam hak untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan serta pendapat, juga hak untuk diikutsertakan pada proses pengambilan keputusan.

Terdapat perbedaan antara cara memaknai meaningful participation dan pembentukan Undang-Undang dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPPU) yang terletak dalam proses pembuatan dan penyusunan kedua instrumen tersebut.

Dalam pembuatan Undang-Undang, DPR memiliki peran penting untuk mengumpulkan masukan dan pertimbangan dari berbagai pihak terkait Undang-Undang yang sedang dirumuskan sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang. Proses ini memberikan kesempatan bagi masyarakat dan berbagai pihak yang terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berpartisipasi dan memberikan kontribusi bagi pembuatan UU yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. 

Dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), proses pengambilan keputusan dilakukan dalam keadaan genting dan mendesak, sehingga proses pengambilan aspirasi dari masyarakat dilakukan dengan cepat melalui jalan yang tidak melewati tahap-tahap yang telah diharuskan dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan kata lain, masyarakat tidak memiliki kesempatan yang besar untuk memberikan aspirasinya dalam proses perumusan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka tersebut. 

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dalam memaknai meaningful participation, Undang-Undang memberikan lebih banyak kesempatan dan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyusunan dan perumusan Undang-Undang yang mempengaruhi kehidupan mereka dibandingkan PERPPU. Meskipun begitu, baik penyusunan Undang-Undang maupun PERPPU tetap perlu memperhatikan aspirasi publik dan memastikan ruang bagi partisipasi publik untuk memberikan kontribusi dalam penyusunan kebijakan publik.

Dalam konteks penyusunan PERPPU Cipta Kerja yang sudah terjadi saat ini , sudah jelas bahwa pemerintah dengan santai membangkangi dan tidak memperdulikan keputusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memandatkan pemerintah untuk mengevaluasi dan memperbaiki penyusunan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dengan melibatkan partisipasi yang bermakna atau meaningful participation. Dengan dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja ini, secara tidak langsung pemerintah memang memiliki niat untuk menutup kuping dari aspirasi masyarakat dan mengunci mulut masyarakat untuk berkontribusi dalam penyusunan kebijakan publik yang mempengaruhi kehidupan mereka. 

Prosedur Penyusunan PERPPU Cipta Kerja yang Penuh Kecacatan 

Pasca dikeluarkannya PERPPU Cipta Kerja pada akhir tahun 2022 lalu, PERPPU ini mendapat berbagai penolakan dari kalangan masyarakat yang beragam akibat dari penyusunannya yang tidak sesuai dengan konstitusi karena diselenggarakan tidak dengan cara demokratis dan tidak partisipatif, tidak bisa dipertanggungjawabkan, rumusan yang tidak sinkron serta sulit dimengerti, dan adanya transformasi substantif diluar tahap pengesahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun