KARYA#1, Publikasi esai mahasiswa UPN Veteran Jakarta
Penulis:Yosua Saut Marulitua Gultom
Program Studi Hubungan Internasional angkatan 2021
________________________________________________________________________________
Pemilihan Umum sangat penting bagi negara demokrasi dengan sistem perwakilan seperti Indonesia. Pemilu adalah perwujudan dari demokrasi prosedural. Indonesia sebagai negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis mengakui pemilu sebagai hal yang
fundamental dalam pelaksanaan demokrasi. Hal ini telah dimandatkan oleh UUD NRI Tahun 1945.
Salah satu isu ketatanegaraan yang terus mengemuka setiap sebelum pergelaran pemilihan umum (pemilu) adalah persoalan aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau yang dikenal sebagai presidential threshold. Isu ini telah terintegrasi dengan sedemikian rupa dalam rentetan isu-isu yang mengelilingi permasalahan pemilu di Indonesia.
Di Indonesia, berlandaskan pada Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Menegaskan bahwa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa melalui usulan dari partai politik atau gabungan partai politik. Presidential threshold di sini hadir sebagai ketentuan tambahan mengenai pencalonan kepresidenan dalam sistem pemilu di Indonesia. Presidential threshold sendiri merupakan ambang batas suara yang harus diperoleh partai politik/koalisi dalam pergelaran pemilu untuk bisa mengajukan calon presidennya masing-masing.
Dalam sejarahnya, presidential threshold pertama kali diterapkan pada pemilu 2004. Pada saat itu ambang batas yang ditetapkan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah 15% kursi DPR RI atau memperoleh 20% suara sah nasional dalam pemilu legislatif. Beranjak dalam pemilu selanjutnya, yaitu pemilu 2009. Kali ini ambang batas yang ditetapkan sedikit berbeda, dimana koalisi maupun partai harus memiliki 20% suara atau 115 kursi dari 574 kursi yang ada di DPR RI. Hal tersebut membuat peserta pemilihan presiden dan wakil presiden menyusut menyisakan 3 pasang calon dan berkurang menjadi 2 calon pada pemilu 2014 dan 2019.
hingga saat ini, hanya terdapat 2 partai yang berhasil lolos dalam presidential threshold yakni Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Demokrat sendiri lolos dalam presidential threshold dalam pemilu 2009 berkat 19,33% suara atau 128 kursi di DPR RI dalam pemilu legislatif tahun 2004 sehingga otomatis lolos pada 2009. Hal tersebut kembali terulang oleh PDIP dimana lolos dalam presidential threshold pada tahun 2019 berkat kesuksesan dalam pemilu 2014 dengan memperoleh 150 kursi atau sebanyak 26,4% kursi di DPR RI.
Disamping pelaksanaannya yang telah berlangsung sejak reformasi, presidential threshold mendapatkan kritikan karena persyaratannya membatasi hak seseorang untuk mencalonkan diri. Hal tersebut bertentangan dengan fundamental demokrasi. Selain kritik terhadap masalah 'siapa yang berhak mencalonkan diri?', terdapat juga kritik terhadap logika presidential threshold itu sendiri. Pada awalnya pengaturan presidential threshold oleh pembentuk Undang-Undang adalah dalam rangka penguatan sistem presidensial sehingga pemilu legislatif didahulukan.Â
Namun dengan sistem pemilu serentak yang sekarang diberlakukan, hal ini menciptakan permasalahan baru. Maka dari itu, tulisan ini akan mencoba membahas melalui sudut pandang HAM dalam presidensial threshold. Tulisan ini kemudian mencoba mengkritisi relevansi logika presidential threshold yang menggunakan data pemilu sebelumnya sebagai acuan pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pandangan HAM tentang Keadilan dalam Presidential Threshold
Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) ini, dalam kacamata HAM universal, memiliki potensi bertentangan dengan hak politik memilih dan dipilih dalam Pemilu. Pandangan ini berpendapat bahwa, Hak politik dalam pandangan universalitas Hak Asasi Manusia (HAM), setiap orang memiliki hak-hak alamiah yang tidak bisa dirampas atau dihilangkan, salah satunya adalah hak politik. Hak politik ini apabila dibawa pada konteks demokrasi saat ini berarti setiap orang berhak memilih dan dipilih dalam Pemilu.Â
Namun, mengacu pada pasal 6A UUD NRI 1945 itu sendiri, Indonesia tidak menganut pengertian HAM yang seperti ini. Indonesia mengedepankan sistem keterwakilan, yakni melalui partai. Baru di sinilah universalitas HAM dapat diterapkan dalam permasalahan presidential threshold di Indonesia. Presidential threshold di sini merampas hak politik partai politik di Indonesia. Hak partai politik baru yang belum mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik yang telah mengikuti Pemilu namun belum mencapai ambang batas untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres di sini dirampas.
Judicial review pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur Presidential Treshold. Namun, pada bagian amar, putusan MK menyatakan pelaksanaan pemilu secara serentak berlaku untuk pemilu 2019 dan seterusnya. Termasuk menyatakan ketentuan presidential treshold sebagai hal yang konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017. Dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.
Tetapi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat dua orang Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam dissenting opinion dinyatakan bahwa dengan membaca formulasi perumusan Pasal 222 UU Pemilu, menjadi sulit dibantah bahwa pesan "tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945" dalam Putusan MK 14/2013 diabaikan oleh pembentuk undang-undang.Â
Artinya, pembentuk undang-undang berhenti melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo hanya sampai pada syarat jumlah kursi dan jumlah suara partai politik sebagai syarat mengajukan pasangan calon presiden adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Padahal, dengan frasa "tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945", pembentuk undang-undang selain harus mempertimbangkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 perlu juga memperhatikan ketentuan dalam Pasal 22E (1) dan (2), 27 (1), 28D (1), dan (3) UUD 1945 yang meminta sebuah jaminan hak yang sama kepada setiap parpol peserta pemilu dalam mengajukan pasangan calon presiden.
Keberadaan presidential threshold MK seharusnya menekankan atau lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa format atau desain konstitusional yang menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu. Karena mau bagaimanapun, keterwakilan di mana setiap rakyat mendapat hak nya yang setara merupakan hal yang lebih fundamental dibandingkan permasalahan praktis seperti penyederhanaan jumlah parpol peserta pemilu.
Relevansi Hasil Pemilu Sebelumnya
Secara teoritis penggunaan hasil pemilu legislatif untuk mengisi jabatan eksekutif justru adalah pola sistem pemerintahan dalam sistem parlementer. Namun hal ini justru muncul dalam sistem pemilu Indonesia melalui ketentuan presidential threshold.Â
Permasalahan lain dari presidential threshold di Indonesia adalah mengenai relevansi peta kekuatan politik, karena dalam lima tahun persentasi pemilih pasti sudah berubah. Dalam artian hasil pemilu yang sudah terlaksana dalam penyelenggaraan sebelumnya bisa saja tidak relevan dengan penyelenggaraan pemilu saat ini. Sehingga, presidential threshold tidak dapat mencerminkan kekuatan politik yang sedang ada di indonesia secara akurat atau dengan kata lain, sudah kadaluarsa.
Perolehan suara pada pemilu sebelumnya tidak menjamin hasil yang sama pada pemilu selanjutnya. Selain itu, eksistensi presidential threshold itu sendiri juga tidak sesuai dengan desain sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sebab, dalam sistem presidensial, presiden mendapatkan mandatnya langsung dari rakyat karena dipilih melalui pemilu. Mandat presiden bukan turun dari cabang pemerintahan lain seperti legislatif dan yudikatif. Sehingga kedua cabang ini seharusnya tidak boleh memberikan pengaruh proses pencalonan.
Kesimpulan
Sebagai negara yang menganut sistem perwakilan, pemilu merupakan suatu alat yang fundamental bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Di Indonesia, calon presiden (dan wakil) wajib melalui partai politik. Artinya, hak politik masyarakat untuk dipilih haruslah melalui sistem partai politik ini. Namun dengan diberlakukannya presidential threshold, maka hak politik ini secara praktis telah dicabut. Partai-partai kecil yang belum memiliki basis dukungan maupun partai baru tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan presidennya sendiri. Hal ini bisa saja memberikan dorongan yang lebih kuat pada berlangsungnya sistem koalisi pragmatis dan transaksional dalam elit politik Indonesia.
Aturan pemilu tetap harus mempertimbangkan hak universal setiap partai politik untuk mengusungkan calon Presiden dalam kontestasi pemilu. Hal ii sejatinya telah dijamin oleh konstitusi. Jangan sampai karena adanya presidential threshold ini, partai-partai besar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendominasi sehingga esensi dari demokrasi itu sendiri menjadi pudar.
Referensi
Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.Â
Fitri, A. (2022). Presidential Threshold Dalam Pemilihan Umum Serentak: Kemunduran Demokrasi Konstitusional?. Jurnal Legislasi Indonesia, 19(1), 68-82.
Mausili, D. R. (2019). Presidential Threshold Anomaly in Indonesian Government System: Parlementer Reduction in Indonesian Presidential System. Bappenas Working Papers, 2(1), 31-42.
Sabrina, D. F., & Saad, M. (2021). Keadilan Dalam Pemilu Berdasarkan Sistem Presidential Threshold. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian Dan Penelitian Hukum, 3(1), 15-37.Â
Amsari, F. (2019, 29 Januari). Arti Presidential Threshold dalam Pemilu. Hukum Online. Diakses melalui https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-ipresidential-threshold-idalam-pemilu-lt5c2c96b9b080
Lab Ilmu Pemerintahan UMY. (2023, 1 Februari). Mengenal Presidential Threshold dalam Pemilu 2024. Diakses melalui https://labip.umy.ac.id/presedentialthreshold/
Mubyarsah, L.R. (2022, 22 Juni). Ahli Politik Sebut Presidential Threshold Tak Relevan. Jawa Pos. Diakses melalui https://www.jawapos.com/nasional/01393209/ahli-politik-sebut-presidential-threshold-tak-relevan
Muhid, H. K. (2023, 1 Februari). Mengenal Presidential Threshold 20% dalam Pemilu 2024, Koalisi Anies Baswedan Sudah Cukup?. Andryanto, S. D. (Ed.). Nasional Tempo. Diakses melalui https://nasional.tempo.co/read/1686317/mengenal-presidentialthreshold-20-persen-dalam-pemilu-2024-koalisi-anies-baswedan-sudah-cukup
Putra, A. (2022, 9 Agustus). Mengapa "Presidential Threshold" Dipertahankan padahal Dinilai Tak Relevan dengan Pemilu Serentak?. Patnistik, E. (ed.). Nasional Kompas. Diakses melalui https://nasional.kompas.com/read/2022/08/09/10095061/mengapa-presidential-threshold-dipertahankan-padahal-dinilai-tak-relevan?page=all#page2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H