Pandangan HAM tentang Keadilan dalam Presidential Threshold
Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) ini, dalam kacamata HAM universal, memiliki potensi bertentangan dengan hak politik memilih dan dipilih dalam Pemilu. Pandangan ini berpendapat bahwa, Hak politik dalam pandangan universalitas Hak Asasi Manusia (HAM), setiap orang memiliki hak-hak alamiah yang tidak bisa dirampas atau dihilangkan, salah satunya adalah hak politik. Hak politik ini apabila dibawa pada konteks demokrasi saat ini berarti setiap orang berhak memilih dan dipilih dalam Pemilu.Â
Namun, mengacu pada pasal 6A UUD NRI 1945 itu sendiri, Indonesia tidak menganut pengertian HAM yang seperti ini. Indonesia mengedepankan sistem keterwakilan, yakni melalui partai. Baru di sinilah universalitas HAM dapat diterapkan dalam permasalahan presidential threshold di Indonesia. Presidential threshold di sini merampas hak politik partai politik di Indonesia. Hak partai politik baru yang belum mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik yang telah mengikuti Pemilu namun belum mencapai ambang batas untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres di sini dirampas.
Judicial review pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur Presidential Treshold. Namun, pada bagian amar, putusan MK menyatakan pelaksanaan pemilu secara serentak berlaku untuk pemilu 2019 dan seterusnya. Termasuk menyatakan ketentuan presidential treshold sebagai hal yang konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017. Dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.
Tetapi, dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat dua orang Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Dalam dissenting opinion dinyatakan bahwa dengan membaca formulasi perumusan Pasal 222 UU Pemilu, menjadi sulit dibantah bahwa pesan "tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945" dalam Putusan MK 14/2013 diabaikan oleh pembentuk undang-undang.Â
Artinya, pembentuk undang-undang berhenti melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo hanya sampai pada syarat jumlah kursi dan jumlah suara partai politik sebagai syarat mengajukan pasangan calon presiden adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Padahal, dengan frasa "tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945", pembentuk undang-undang selain harus mempertimbangkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 perlu juga memperhatikan ketentuan dalam Pasal 22E (1) dan (2), 27 (1), 28D (1), dan (3) UUD 1945 yang meminta sebuah jaminan hak yang sama kepada setiap parpol peserta pemilu dalam mengajukan pasangan calon presiden.
Keberadaan presidential threshold MK seharusnya menekankan atau lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa format atau desain konstitusional yang menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu. Karena mau bagaimanapun, keterwakilan di mana setiap rakyat mendapat hak nya yang setara merupakan hal yang lebih fundamental dibandingkan permasalahan praktis seperti penyederhanaan jumlah parpol peserta pemilu.
Relevansi Hasil Pemilu Sebelumnya
Secara teoritis penggunaan hasil pemilu legislatif untuk mengisi jabatan eksekutif justru adalah pola sistem pemerintahan dalam sistem parlementer. Namun hal ini justru muncul dalam sistem pemilu Indonesia melalui ketentuan presidential threshold.Â
Permasalahan lain dari presidential threshold di Indonesia adalah mengenai relevansi peta kekuatan politik, karena dalam lima tahun persentasi pemilih pasti sudah berubah. Dalam artian hasil pemilu yang sudah terlaksana dalam penyelenggaraan sebelumnya bisa saja tidak relevan dengan penyelenggaraan pemilu saat ini. Sehingga, presidential threshold tidak dapat mencerminkan kekuatan politik yang sedang ada di indonesia secara akurat atau dengan kata lain, sudah kadaluarsa.
Perolehan suara pada pemilu sebelumnya tidak menjamin hasil yang sama pada pemilu selanjutnya. Selain itu, eksistensi presidential threshold itu sendiri juga tidak sesuai dengan desain sistem presidensial yang dianut Indonesia. Sebab, dalam sistem presidensial, presiden mendapatkan mandatnya langsung dari rakyat karena dipilih melalui pemilu. Mandat presiden bukan turun dari cabang pemerintahan lain seperti legislatif dan yudikatif. Sehingga kedua cabang ini seharusnya tidak boleh memberikan pengaruh proses pencalonan.
Kesimpulan
Sebagai negara yang menganut sistem perwakilan, pemilu merupakan suatu alat yang fundamental bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Di Indonesia, calon presiden (dan wakil) wajib melalui partai politik. Artinya, hak politik masyarakat untuk dipilih haruslah melalui sistem partai politik ini. Namun dengan diberlakukannya presidential threshold, maka hak politik ini secara praktis telah dicabut. Partai-partai kecil yang belum memiliki basis dukungan maupun partai baru tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan presidennya sendiri. Hal ini bisa saja memberikan dorongan yang lebih kuat pada berlangsungnya sistem koalisi pragmatis dan transaksional dalam elit politik Indonesia.
Aturan pemilu tetap harus mempertimbangkan hak universal setiap partai politik untuk mengusungkan calon Presiden dalam kontestasi pemilu. Hal ii sejatinya telah dijamin oleh konstitusi. Jangan sampai karena adanya presidential threshold ini, partai-partai besar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mendominasi sehingga esensi dari demokrasi itu sendiri menjadi pudar.