Ambisi Pemprov DKI Jakarta dalam mewujudkan ERP mungkin terinspirasi dari kisah sukses di negara tetangga seperti Singapura. Namun, kesuksesan kebijakan ERP di Singapura tidak bisa dilihat dalam kerangka satu kebijakan saja. Berbagai kebijakan transportasi lain, seperti pembangunan infrastruktur transportasi publik yang serius, ikut ambil andil yang tak kalah besar dalam keberhasilan Singapura mengelola mobilisasi warganya. Sayangnya, keterbatasan pelayanan kendaraan umum di Jakarta, katakanlah perkara Manggarai yang seharusnya menjadi jagoan transportasi publik, menunjukkan sistem mobilisasi transportasi publik yang belum memadai.Â
Selain itu, kebijakan ERP ini memerlukan investasi yang tak murah. Agar bisa berjalan dengan maksimal, pemerintah perlu memastikan integrasi yang mulus antara data kepemilikan kendaraan, sistem pemantauan lalu lintas hingga sistem pembayaran. Tentunya, butuh waktu, dan menilik dari rekam jejak pemerintah yang kerap terburu-buru ketika mengimplementasikan kebijakan baru, hal ini membuat ragu. Karena yang pada akhirnya, masyarakat yang akan terkena dampaknya.Â
Pada sisi sosial-ekonomi, pengenaan tarif baru tersebut berarti akan menambah beban biaya yang ditanggung masyarakat. Tambahan beban tersebut akan memperburuk kesenjangan sosial karena masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan menjangkau jalan yang diberlakukan ERP. Melihat situasi sosial-ekonomi rakyat, maka wajar untuk terbenak dalam pikiran bahwa masyarakat akan menggunakan jalan alternatif, yang mana pada akhirnya menciptakan lingkaran setan kemacetan pada jalan-jalan alternatif tersebut.Â
Perlunya Mengintegrasi Transportasi Publik di Jakarta
Ketersediaan Transportasi publik di Jakarta memang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya hal ini juga diikuti dengan jumlah peminat transportasi publik terutama MRT yang meningkat pada tahun lalu yang mencapai angka 19,77 Juta pengguna (Data Indonesia.id, 2023). Hal tersebut perlu terus didukung dengan usaha melalui pengembangan berbagai fasilitas sehingga menjaga konsistensi pengguna transportasi publik di jakarta. Berdasarkan data yang diperoleh melalui databoks.katadata.co.id berikut merupakan jumlah pengguna transportasi umum di Jakarta pada pertengahan 2022.
Meskipun berdasarkan data diatas minat warga DKI Jakarta mengalami peningkatan namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu juga terus memperhatikan pembangunan infrastruktur yang dapat mendorong lebih banyak lagi pengguna transportasi umum di Jakarta. Selain itu, perlu juga mengintegrasikan seluruh transportasi umum yang ada agar dapat mudah dijangkau masyarakat terus masyarakat yang jauh dari pusat kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga perlu terus menambah rute dari transjakarta dan bus-bus lainnya sehingga mempermudah mobilitas warga DKI Jakarta.Â
Perbaikan konektivitas dan infrastruktur ini juga bagian dari usaha untuk memberikan kenyamanan bagi para pengguna yang sebagian besar merupakan warga bodetabek. Sehingga, alangkah baiknya apabila dana yang disiapkan untuk perencanaan sistem ERP ini dialihkan ke dana untuk perbaikan dan pengembangan transportasi publik yang ada seperti terkait fasilitas, penambahan rute yang menjangkau daerah-daerah suburban sehingga transportasi publik yang ada dapat terhubung dan memudahkan mobilitas warga Jakarta di seluruh wilayah tanpa terkecuali Hal tersebut dimaksudkan agar dapat mengundang lebih banyak warga Jakarta yang memilih transportasi publik sebagai sarana mobilitas utama dan dapat mencapai target Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terkait berkurangnya kemacetan dan menurunnya emisi karbon secara masif di Jakarta
Perlunya Penyesuaian Tarif dengan Masyarakat yang Terdampak
Dalam perumusan kebijakan ERP Pemerintah perlu menimbang masyarakat terdampak terutama terkait permasalahan tarif yang memberatkan masyarakat. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Memperingatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwasanya kebijakan ERP ini lama dirumuskan sebagai usaha untuk mengurangi kemacetan bukan untuk mengeruk keuntungan dari masyarakat. Hal tersebut membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu memperhatikan asas keadilan dalam merumuskan rencana tarif yang akan ditetapkan agar tidak membebani masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah.
Tarif ERP harus dirancang sebagai keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyelesaikan kemacetan bukan mencari keuntungan untuk pengembalian modal melalui dompet masyarakat. Tarif yang tinggi namun tidak diikuti dengan pembenahan transportasi umum karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, pemberlakuan ERP ini hanya akan mengundang resistensi dari masyarakat.