Usut punya usut, tren menurun indeks kepercayaan publik terhadap KPK ini terjadi semenjak revisi UU KPK---sempat ramai di tahun 2020 sebagai peristiwa dikebirinya KPK---dan sejak saat itu KPK belum bisa merebut pamornya kembali. Hari demi hari berlalu, bukannya prestasi yang didapatkan, segudang kontroversi yang berkaitan dengan KPK datang silih berganti. Segudang kontroversi yang berbuntut pada kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin mengkhawatirkan.
Mengikuti berbagai rangkaian peristiwa yang membuntuti KPK belakangan, lembaga antirasuah ini juga dituding "kongkalikong" dengan para ambisius politik untuk membantu melancarkan kepentingan-kepentingannya. Aturan mengenai pembentukan dewan pengawas KPK yang disebutkan dalam revisi UU KPK menjadi pemantik pertama yang menggiring narasi hingga saat ini bahwa KPK merupakan alat politik.Â
Dalam Pasal 69A ayat (1) UU KPK hasil revisi disebutkan bahwa ketua dan anggota dewan pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia. Di sisi lain, ada Pasal 37E yang intinya menyebutkan bahwa dalam mengangkat ketua dan anggota dewas, Presiden Republik Indonesia membentuk panitia seleksi terdiri atas unsur pemerintah pusat dan unsur masyarakat. Adapun salah satu tugas dewas adalah terkait pemberian izin atau tidaknya penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan.
Sempat terjadi banyak perdebatan terkait tugas yang dimiliki dewas karena dinilai akan memperlambat kinerja KPK itu sendiri. Selain itu, Â terbentuknya dewas menandakan adanya relasi kekuasaan antara presiden dan dewas itu sendiri. Hal ini mengingat anggota dewas yang dipilih presiden nantinya secara tidak langsung akan memiliki tanggung jawab kepada yang memilihnya.
Bantahan terhadap berbagai tudingan tersebut tentu saja sudah beberapa kali dilontarkan oleh pihak KPK. Akan tetapi, melihat berbagai keributan yang kini sedang terjadi di sekitar KPK, rasa-rasanya tudingan itu tak sepenuhnya salah.
Marwah KPK dipertanyakan!! Â
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pendekatan biasa atau konvensional terbukti tidak berhasil karena menghadapi banyak tantangan, Oleh karena itu, diperlukan suatu metode penegakan hukum yang ekstraordinary untuk memberantas korupsi dengan kewenangan yang luas dan istimewa. Tidak lagi cukup hanya mengandalkan kejaksaan dan kepolisian sebagai penegak hukum konvensional. Kondisi tersebut menjadi pemicu pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai badan dengan kewenangan luas dalam upaya pemberantasan korupsi.Â
Kebijakan otonomi daerah juga berdampak pada penyebaran korupsi secara luas dan merata dari tingkat pusat hingga ke pelosok daerah. Praktek korupsi di Indonesia dapat terlihat dari laporan-laporan yang masuk ke KPK. Laporan tahunan KPK pada tahun 2010 mencatat bahwa sejak tahun 2004 hingga Desember 2010, KPK telah menerima 45.301 laporan dari masyarakat yang berasal dari 33 provinsi bahkan dari luar negeri. Namun, tidak semua laporan dapat ditindaklanjuti. [ Sumber: Lampiran Laporan Tahunan 2010 Komisi Pemberantasan Korupsi]Â
Fakta ini mengindikasikan bahwa tugas dan wewenang KPK dalam koordinasi dan supervisi merupakan salah satu aspek kewenangan strategis yang diberikan kepada mereka. Selain itu, tugas dan wewenang koordinasi serta supervisi ini sesuai dengan peran KPK sebagai mekanisme pemicu (trigger mechanism) bagi badan atau institusi lain dalam meningkatkan efisiensi dalam pemberantasan korupsi. Â Sebagai koordinator, tentunya koordinasi dan supervisi menjadi tugas yang menjadi perhatian utama. Untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugasnya, KPK juga diberi wewenang untuk melakukan penindakan tanpa harus mencabutnya dari institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.Â
KPK mulai beroperasi pada Februari 2004 dengan fokus pada penyelidikan, penuntutan, dan pencegahan tindak pidana korupsi. Sejak awal beroperasi, KPK telah menunjukkan tindakan tegas dalam menangani kasus-kasus korupsi tingkat tinggi dan mengeksekusi beberapa pejabat publik yang terlibat dalam tindak korupsi. Seiring berjalannya waktu, KPK mendapatkan dukungan untuk meningkatkan kewenangan dalam pemberantasan korupsi, termasuk hak untuk melakukan operasi penyamaran dan penyadapan dengan izin pengadilan.