Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Filosofi Neoliberal Berbahaya bagi Pendidikan?

10 Desember 2020   11:30 Diperbarui: 10 Desember 2020   11:47 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bagi para ekonom, ilmu ekonomi adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya terbatas untuk memberikan hasil yang paling besar dan optimum. Pencapaian optimum pada penggunaan sumber daya terbatas bagi pendidikan dengan dana pemerintah lebih optimum memberikan kepada mereka yang pintar atau yang tidak memiliki sumber daya merupakan perdebatan para ekonom di bidang pendidikan.

Pendidikan yang berdasarkan persaingan bisa dibilang merupakan hasil kerja keras dari para pejuang filosofi neoliberal. Hayek dan para protege-nya terutama Milton Friedman yang merupakan orang yang bertanggung jawab untuk lebih memperkenalkan kekuatan pasar pada pendidikan.

Pelibatan swasta adalah hal yang juga mereka dorong demi tercapainya efisiensi pada dunia pendidikan. Dengan melibatkan pasar sebagai regulator maka sistem pendidikan menurut filosofi neoliberal akan efisien dan meritocracy yang menjadi dasar keadilan bagi individual bisa memperoleh haknya untuk mendapatkan sumber daya bagi sukses dalam pendidikan.

Ilusi Keadilan dan Efisiensi dalam Meritocracy

Problem dengan filosofi Neoliberal adalah obsesi mereka pada 'meritocracy' sebagai filter keadilan dan penciptaan efisiensi. Prestasi sekolah diukur dengan pencapaian akademis seseorang sehingga dianggap memiliki kemampuan dan layak diberikan biaya. Impian mereka adalah menciptakan Society seperti dalam novel satir terkenal oleh Michael Young (1958).

Young, seorang sosiolog, di novelnya "The Rise of Meritocracy" memberikan pernyataan bahwa '"meritocracy is premised on the belief that all individuals who work hard and have the prerequisite potential and ability can succeed within a fair and democratic system". Novel yang dibuat oleh Young adalah satir yang artinya mengejek sistem sosial yang meciptakan meritocracy sebagai bentuk baru kebangsawanan. Namun, kata 'meritocracy' yang diciptakan olehnya lalu digunakan dengan bangganya sebagai sebuah sistem yang baik dan perlu diterapkan.

Leyva (2009) menghubungkan logika dari meritocracy kepada hubungan teori neoliberal dengan social Darwinism. Neoliberal teori berpendapat bahwa 'inequality' terjadi atas dasar prinsip bahwa 'socially fittest groups' yaitu adanya orang orang yang sukses (socially legitimated) dalam pendidikan dan ekonomi dan memperoleh status sosial yang terhormat murni karena kerja keras, kemampuan, prestasi dan intelegensia yang superior. 

Dia menghubungkan dasar teori ini dengan Herbert Spencer, seorang sosiologis dan intelektual terkenal di abad 19, yang menghubungkan teori Darwin tentang 'natural selection' sebagai penjelasan mengapa di masyarakat terdapat strata sosial. Spencer menggunakan teori ini sebagai dasar untuk mendorong pemerintah untuk tidak melakukan intervensi dan memberikan kebebasan terhadap individu untuk menunjukkan superioritas mereka dan memperoleh dan menggunakan sumber daya semaksimal mungkin untuk mendorong manusia mencapai evolusi yang lebih sempurna. 

Natural selection berlaku bahwa the fittest yang diberikan kebebasan akan mampu mendorong manusia ke arah lebih baik dan memusnahkan grup-grup lemah yang tidak berguna. Dengan memberikan kebebasan manusia dan pasar bekerja maka kemakmuran manusia akan tercapai dengan efisiensi pembagian sumber daya terjadi adalah dasar dari Neoliberal teori yang terlihat memiliki kesamaan dengan teori Social Darwinism oleh Spencer. 

Banyaknya masyarakat dari golongan ekonomi lemah tidak mendapat pendidikan dan berprestasi buruk merupakan hasil kurangnya kerja keras, potensi, motivasi dan kemampuan dan bukan karena keberuntungan kelahiran dan kebijakan pembagian sumber daya yang salah dari pemerintah.

Suatu tuduhan yang tidak memberikan keadilan. Sebagai sebuah gambaran sederhana bahwa meritocracy bukanlah sebuah keadilan dan menciptakan efisisensi dalam pendidikan maka mari kita buat sebuah model sederhana. Andaikan ada dua orang yang persis sama diciptakan oleh Tuhan dilahirkan ke dunia, sebut saja namanya Yunadi dan Setdehs. Yunadi yang lahir dari keluarga kaya yang warisannya tidak habis 10 turunan. 

Di sisi lain Setdehs adalah anak seorang pemulung jalanan. Yunadi pergi ke sekolah elit dimana fasilitas tersedia untuk aktifitas belajar yang membuat anak mudah untuk memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kreatifitas. Guru yang berkualitas dengan training yang lengkap dan tidak pernah absen mengajar serta fokus mengajar karena gajinya cukup buat hidup cukup tanpa perlu cari tambahan. Orang tua Yunadi juga bisa membantu dan tempat bertanya untuk tahu cara yang belajar yang benar dan memilihkan bidang studi yang cocok untuk mendapatkan pekerjaan yang mampu memfalisitasi Yunadi untuk pergi ke luar negeri dan menghabiskan miliaran rupiah sekali jalan.

Di sisi lain Setdehs hanya seorang anak tertua dari 8 bersaudara dari keluarga pemulung. Yang karena adiknya terkena diare jadi tidak bisa tidur semalaman jadi ketika gurunya (yang tumben ada) bertanya di kelas, Setdehs yang ketiduran tentu saja kena setrap. 

Atau karena orang tuanya yang hampir tidak pernah di rumah maka Setdehs yang harus bekerja keras jadi perawat rumah sekaligus pengawas para adiknya sehingga sering tidak sempat buat PR. Besar kemungkinan Setdehs disebut sebagai manusia gagal dan tersisih untuk menikmati pendidikan berkelanjutan sampai Universitas dan bukan karena tidak bekerja keras. Namun lingkungan menuntutnya untuk memiliki motivasi dan bekerja keras pada hal yang tidak tepat bagi kualifikasi akademik.

Keadaan hidup yang berbeda walau mereka dua manusia yang sama akan menciptakan manusia yang berbeda. Yunadi adalah seorang anak yang akan sukses di masa depan dan berhak kuliah di Universitas negeri elit yang walau biayanya mahal tapi tetap aja sebagian besar biayanya dari negara. 

Setdesh hanya akan menjadi anak yang dianggap malas dan bodoh yang kerjanya hanya dapat hukuman karenanya dan tidak berhak untuk dibiayai oleh negara karena tidak memiliki kemampuan untuk sukses. Kesuksesan di dalam dunia dengan basis meritocracy bukan hanya ditentukan oleh kerja keras dan potensi seseorang namun juga oleh dimana dan dilahirkan oleh siapa. Meritocracy adalah sistem artifisisal yang tidak bisa menentukan seseorang memiliki kemampuan karena potensi yang dimilikinya atau karena dia beruntung lahir di keluarga yang tepat.

Pada ilustrasi di atas dan banyak hasil penelitian dari ilmuan pendidikan di temukan kerja keras dan motivasi itu sendiri tidak dari diri individu. Lingkungan dan orang tua yang memberikan pengaruh lebih besar. Peer pressure pada di mana seorang anak berada mempengaruhi motivasi akademiknya begitu pula keadaan keluarga akan sangat mempengaruhi pada bidang apa dia bekerja keras. Pada sisi lain pemerintah dengan pengaruh neoliberal sangat terpengaruh oleh siapa yang memiliki kekuatan politik lebih besar. 

Masyarakat miskin yang tidak memiliki kekuatan politik lebih sering disingkirkan dalam pembagian kue dana pembangunan. Maka bisa ditemukan bahwa dengan penggunaan meritocracy tidak memberikan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Efisiensi dalam peningkatan kualitas manusia juga akan lebih rendah karena sangat mengenyampingkan banyak anak berbakat dari kalangan masyarakat miskin yang terpendam karena tidak adanya tes yang adil namun seleksi berdasarkan merit yang sangat terpengaruh hasilnya dari di mana seorang anak itu lahir.

Fungsi Pendidikan berdasarkan filosofi Neoliberal atau Pancasila 

Pada filosofi neoliberal, pendidikan bekerja sebagai pemberi 'sertifikat' meritocracy, neoliberal mengubah kelas menjadi sesuatu yang lain: perlombaan. Ketika pendidikan merupakan perlombaan, maka hal yang negatif jika ada gangguan untuk membuat seseorang yang memiliki potensi memecahkan rekor untuk terus mendapatkan sumber daya berlebih. 

Tujuan perlombaan adalah untuk mengejar kesempurnaan. Karena dalam perlombaan, masalah intinya adalah untuk menyortir orang untuk melihat siapa yang bisa mengejar kesempurnaan atau paling cepat. Oleh karena itu, pendidikan dengan basis neoliberal akan ingin fakta tentang peringkat yang menunjukkan telah memenangkan perlombaan; pendidikan itu tentang menunjukkan keunggulan. Neoliberal ingin pendidikan menunjukan keunggulan demi meraih kesempurnaan dalam alokasi sumber daya.

Pada sisi lain sebagai negara Pancasila kita ingin pendidikan itu mencerdaskan anak bangsa. Mencerdaskan dalam arti membuat seorang manusia yang sempurna akal budinya. Seseorang yang memiliki karakter baik bukan seseorang yang memiliki akal tanpa budi pekerti. 

Untuk keberhasilan sebagai pendidik di Indonesia harusnya memberikan karakter kemanusian yang beradab, kelas yang menciptakan manusia yang saling bekerja sama untuk saling menguntungkan. Pendidikan bukan berfungsi sebagai sortir untuk mengukur manusia, tetapi tempat bagi anak bangsa untuk mengerti arti bermasyarakat yang baik. Tempat bagi calon penerus bangsa mengerti bagaimana menciptakan tempat hidup yang lebih baik berdasarkan filosofi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bukan tempat bagi anak-anak untuk belajar mencari cara terbaik agar bisa hidup sempurna sendiri tanpa mengindahkan orang lain. Bukan tempat diaman anak-anak diajarkan berlomba untuk mengalahkan anak lain dengan segala cara menggunakan keuntungan yang dimiliki. Dalam masyarakat Pancasila, kita seharusnya berkembang pesat dengan membantu orang lain berkembang. Oleh karena itu, kita menginginkan pendidikan menciptakan warga negara yang cerdas bukan yang pintar saja.

Bangsa Indonesia harusnya di dasari pada prinsip kebersamaan dan gotong royong. Pendidikan harusnya tentang kemenangan bagi siswa seharusnya di mana keberhasilannya didasarkan membuat siswa lain senang dalam keberadaannya. Bukan dalam keadaan dimana sesama siswa harus waspada terhadap siswa lain sebagai musuh yang harus ditaklukkan.

Hal yang persis dibutuhkan siswa, tidak lebih dan tidak kurang, adalah kesempatan sejati untuk membuat sesuatu apa pun dengan potensi yang mereka miliki.

Apakah menurut kamu pendidikan Indonesia berdasarkan filosofi Pancasila atau Neoliberal?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun