Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

LPDP dan Investasi Pendidikan

30 Juni 2018   06:41 Diperbarui: 30 Juni 2018   08:47 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan penelitian dari rumpun ilmu sosiologi pendidikan bahwa di seluruh dunia ditemukan kesamaan pada anak dari keluarga tidak mampu yang berpartisipasi di perguruan tinggi bahwa mereka harus berpartisipasi sambil bekerja. Dan jika kita lihat pada beasiswa Bidik Misi maka seperti yang diketahui bahwa biaya hidup yang diberikan kepada mereka hanya sebesar Rp 600 ribu sebulan. Dan jika dilihat dari pendapatan orang tua yang dipersyaratkan maksimal 3 juta rupiah. Dan karena itu nilai maksimal maka banyak yang orang tuanya memiliki pendapatan lebih rendah. Selain itu memiliki anak banyak adalah yang wajar pada keluarga tidak mampu. Maka bisa dipastikan orang tua mereka sangat sedikit yang bisa memberikan bantuan.  

Bahkan besar kemungkinan mereka harus memberikan bantuan keuangan kepada orang tuanya dan membiayai adik-adiknya.  Dan merupakan penolong besar jika rumahnya di kota yang sama dengan tempat kuliah. Jika tidak maka banyak diantara mereka yang harus menumpang di rumah saudara yang dibayar dengan menjadi 'pembantu' tidak resmi. Atau harus bekerja dengan waktu yang panjang demi memenuhi kebutuhan tambahan biaya kos yang biasanya tidak murah di daerah sekitar kampus negeri.

Ketika kuliah sarjana, maka yang saya ketahui memperoleh nilai IPK 3,5 (IPK saya hanya 3,21) merupakan hak orang-orang yang luar biasa. Orang-orang yang mampu memiliki nilai tersebut adalah para geek yang hidupnya bersahabat dengan buku. Kami para mahasiswa yang hidupnya hanya kuliah, bermain dan belajar serta dipenuhi seluruh fasilitasnya saja merasakan bahwa nilai IPK 3,5 itu merupakan hal yang sulit. Maka bisa terbayangkan betapa sulitnya untuk lulus dengan nilai IPK 3,5 jika seseorang yang kuliah dengan biaya hidup seadanya, fasilitas sedikit, sekolah di tempat terpencil dan murah sehingga fondasi ilmunya tidak baik, serta harus kuliah sambil bekerja untuk memperoleh IPK 3,5. 

Untuk bisa lulus dengan IPK 2,5 saja seharusnya kita harus mengangkat tangan atas betapa besarnya air mata dan peluh yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkannya. Banyak orang-orang luar biasa itu akan tidak bias mendapatkan kesempatan bersaing untuk memperoleh biaya negara dibandingkan anak-anak dari kalangan mampu bukan karena kalah dalam potensial tetapi karena keadaan. Hal yang menurut hemat saya sangat disayangkan karena tentu investasi negara untuk membiayai pendidikan orang-orang tersebut merupakan investasi yang bagus. 

Jika hanya memberikan kritikan maka bisa dituduh sebagai pengkritik yang tidak berusaha memberikan solusi, maka ijinkan saya memberikan sebuah solusi yang pasti tidak sempurna karena terpengaruh bias sebagai anggota masyrakat kelas menengah, seorang akuntan dan ekonom dengan basis ilmu liberal. Dengan basis itu maka merekrut lulusan sarjana dengan IPK 2,5 merupakan resiko yang besar dan membuat orang yang harus dibiayai menjadi lebih banyak sehingga menambah resiko. Setiap orang yang diberangkatkan kuliah ke luar negeri membutuhkan biaya mencapai milliaran rupiah. Dengan membuat nilai IPK minimal 3,5 merupakan minimalisasi resiko uang milliaran terbuang sia-sia ketika mahasiswa yang diberi beasiswa tidak mampu lulus.

Resiko itu bisa diminimalisir dengan pelatihan bahasa inggris dijadikan tes kedua. Pelatihan bahasa inggris mahal model saat ini yang disediakan oleh LPDP sebaiknya diganti dengan pelatihan IELTS di kampong Pare Kediri. 

Pelatihan IELTS disana mewajibkan siswa belajar sampai 12 jam sehari 6 hari dalam seminggu. Siswa juga harus tinggal bersama di asrama dan setiap kamar dihuni 4 orang dengan fasilitas seadanaya. Kondisi Spartan dan waktu belajar yang panajang merupakan tes ketahanan mental bagi calon siswa. Selain itu biaya yang dikeluarkan sangat murah. Biaya hidup yang diberikan keapda calon penerima beasiswa juga diberikan kecil. Keguananya selain untuk menghemat baiaya juga sebagai tes tamabahan. 

Dengan keadaan tes yang berat ini maka tidak saja menyaring mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan belajar yang baik (karena pasi tidak akan lolos tes IELTS sehingga batal dapat beasiswa) juga bisa menjadi tempat pengamatan bagi petugas LPDP atas mahasiswa miskin palsu (gaya hidup dan kemampuan beradaptasi dengan belajar keras sambil harus masak dan menegerjakan pekerjaan rumah tangga). Dengan metode ini untuk pelatihan selama 6 bulan maka biaya yang dikeluarkan bisa hanya sekitar 7 juta rupiah per anak.

Saran sederhana ini hanya sebagai tambahan. Inti tulisan ini hanyalah harapan agar LPDP lebih memperbanyak memberikan beasiswa kepada masyarakat miskin. Membiayai pendidikan bagi rakyat miskin sudah pasti investasi yang lebih mahal, lebih rumit dan resiko yang lebih besar untuk tidak memberikan imbal balim yang memadai, tetapi tidak terbantahkan setiap keberhasilan memberikan imbal hasil yang jauh lebih besar. 

Imbal balik yang kecil adalah kritikan di #ShitLPDPAwardeeSay lebih sedikit dilakukan oleh awardee dari keluarga tidak mampu.  Masyarakat miskin yang dapat beasiswa kecil kemungkinan menjadi full time traveller dan part time students. Kemungkinan mengeluh bahwa Indonesia panas, macet serta tidak disiplin dan semrawut ketika pulang juga sepertinya kecil.

Imbal balik yang terbesar adalah multiplier effect-nya dalam pengentasan kemiskinan. Setiap keberhasilan mereka tidak saja akan memutus rantai kemiskinan bagi diri mereka sendiri tetapi bisa memberikan efek memutus rantai kemiskinan kepada anggota keluarganya yang lain.  Hasil balik investasi di bidang pendidikan yang sangat dibutuhkan negara kita tercinta ini. Hasil balik yang secara jangka panjang yang bahkan ekonom paling neo liberal sekalipun tidak akan bisa membantah sangat dibutuhkan oleh negara untuk sustainable economic development.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun