Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

LPDP dan Investasi Pendidikan

30 Juni 2018   06:41 Diperbarui: 30 Juni 2018   08:47 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini #ShitLPDPAwardeeSay menjadi trending topik di twitter. Salah satu twit yang menarik adalah tentang LPDP menjadi pembiaya kuliah untuk yang mampu. Hal ini menarik bagi saya karena topik yang menjadi fokus penelitian saya adalah problem kebijakan pembiayaan yang berbenturan dengan penyama-rataan kesempatan kuliah.

Kebijakan  LPDP menurut yang saya ketahui memang mengarah mengutamakan pembiayaan pada pembentukan human capital yaitu menciptakan pemimpin masa depan Indonesia. Banyak penelitian menunjukkan human capital based funding tidak bersahabat dengan penyamarataan kesempatan pendidikan. Ditambah lagi dengan kebijakan LPDP menentukan kampus tujuan hanya 20 besar dunia. Kampus yang banyak penelitian menunjukkan tidak bersahabat dengan masyarakat miskin. Hal yang wajar jika para awardee LPDP banyak dari keluarga mampu yang kadang tidak butuh LPDP bisa kuliah di luar negeri.

Apakah ada yang salah dengan kebijakan ini? Saya akan membela kebijakan ini jika latar belakang sebagai akuntan dan ilmu ekonomi mainstream yang merupakan basis ilmu saya sebelum menempuh PhD untuk memberikan pendapat. Ditambah lagi sebagai seorang anggota kelas menengah (yang katanya ngehek) maka kebijakan ini akan didukung. 

Dasar pemikirannya bahwa LPDP adalah lembaga investasi pendidikan. Pada sisi kebijakan yang lebih memberikan kepastian hasil maka investasi tentu disalurkan kepada yang memberi kepastian imbal hasil yang lebih tinggi. Memberikan beasiswa kepada orang yang mampu lulus kuliah di kampus top secara bukti penelitian menunjukkan memberi imbal hasil yang lebih tinggi. Secara rata rata bisa dilihat dari hasil penelitian bahwa sekolah top akan memberikan kemudahan orang untuk sukses. Dan lulusan sekolah top terbukti secara data memiliki tingkat kepemimpinan yang tinggi dan menguasai jabatan penting baik di lembaga pemerintah, penelitian dan perusahaan besar.

Namun penelitian (basis ilmunya pasti bukan ekonomi apalagi akuntansi) juga menunjukkan bahwa kampus top bukan temapt yang ramah untuk murid dari keluarga miskin. 

Sekolah top luar negeri merekrut mahasiswa miskin dari warga negara tersebut dalam jumlah rendah. Masyarakat miskin yang ingin kuliah di universitas top harus memiliki nilai yang lebih baik daripada anak dari kalangan yang mampu. Hal ini dikarenakan sekolah top itu tidak saja mensyaratkan adanya nilai yang baik tapi juga modal sosial berupa kegiatan ekstrakurikuler sekolah, kemampuan berbicara serta kegiatan di luar sekolah yang merupakan hal yang di luar jangkauan masyarakat miskin. Selain itu syarat interview juga sudah pasti akan membuat murid dari sekolah top yang memiliki tata krama, teknik berbicara serta kebiasaan yang sama dengan pewawancara akan lebih diutamakan. 

Hal yang sama juga terjadi jika kampus top itu merekrut mahasiwa Indonesia. Semua sekolah top akan mensyaratkan calon mahasiswanya untuk membuat motivational letter. Dan dengan modal sosial yang yang berasal dari impian dan pengalaman hidup murid dari kalangan yang berpunya  maka motivational letter mereka lebih mencocoki kriteria yang ditetapkan oleh sekolah top karena para penyeleksi dan pembuat kriteria adalah orang dengan modal sosial yang sama. Ditambah lagi banyak juga mensyaratkan interview dengan lulusan mereka di Indonesia. 

Sekali lagi, masyarakat miskin akan susah menemukan kecocokan karena modal sosial yang mereka miliki tidak sama dengan lulusan universitas top yang mewawancarai mereka, sehingga kemungkinan kecocokan akan lebih rendah dibandingkan jika yang diwawancarai anak dari kalangan kaya yang nemiliki modal sosial yang sama dengan pewawancara.

Bukti di atas bisa diperdebatkan karena berdasarkan subjektivitas atau hasil penelitian di luar negeri bahwa masyarakat miskin lebih tidak mungkin kuliah di universitas top. Hal yang tidak bisa dibantahkan adalah halangan terbesar biasanya kewajiban memiliki sertifikat IELTS dan bahkan sebagian besar menambah persyaratan dengan tes GMAT atau GRE. 

Biaya untuk mengikuti ujian tersebut jutaan rupiah. Belum lagi ketika melamar juga harus bayar uang pendaftaran yang nilainya jutaan rupiah. Dan belum lagi biar bisa memiliki kemampuan untuk lolos tes itu membutuhkan les dan persiapan dalam bentuk beli buku latihan yang biayanya bisa habiskan belasan juta rupiah. Maka bisa dipasatikan masyarakat Indonesia dari kalangan menengah ke bawah hampir tidak mungkin dapat beasiswa LPDP reguler dengan persyaratan memasuki universitas dengan rangking 20 dunia.

LPDP memang memberikan kesempatan masyarakat miskin untuk mampu mendaftar di universitas yang lebih banyak serta diberikan pelatihan dengan beasiwa affirmasi. Akan tetapi persyaratan bahwa merupakan lulusan bidik misi serta IPK pada 3,5 akan membuat yang mampu ikut tes saja sudah sangat sedikit. Ditambah lagi persyaratan memiliki nilai TOEFL ITP dnegan skor 500. Secara real, mahasiswa Bidik misi yang mampu lulus dengan nilai IPK sebesar itu serta sekaligus memiliki skor bahasa Inggris yang dipersyaratkan jika tidak mahasiswa dengan kondisi keuangan palsu maka orang yang memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa.

Berdasarkan penelitian dari rumpun ilmu sosiologi pendidikan bahwa di seluruh dunia ditemukan kesamaan pada anak dari keluarga tidak mampu yang berpartisipasi di perguruan tinggi bahwa mereka harus berpartisipasi sambil bekerja. Dan jika kita lihat pada beasiswa Bidik Misi maka seperti yang diketahui bahwa biaya hidup yang diberikan kepada mereka hanya sebesar Rp 600 ribu sebulan. Dan jika dilihat dari pendapatan orang tua yang dipersyaratkan maksimal 3 juta rupiah. Dan karena itu nilai maksimal maka banyak yang orang tuanya memiliki pendapatan lebih rendah. Selain itu memiliki anak banyak adalah yang wajar pada keluarga tidak mampu. Maka bisa dipastikan orang tua mereka sangat sedikit yang bisa memberikan bantuan.  

Bahkan besar kemungkinan mereka harus memberikan bantuan keuangan kepada orang tuanya dan membiayai adik-adiknya.  Dan merupakan penolong besar jika rumahnya di kota yang sama dengan tempat kuliah. Jika tidak maka banyak diantara mereka yang harus menumpang di rumah saudara yang dibayar dengan menjadi 'pembantu' tidak resmi. Atau harus bekerja dengan waktu yang panjang demi memenuhi kebutuhan tambahan biaya kos yang biasanya tidak murah di daerah sekitar kampus negeri.

Ketika kuliah sarjana, maka yang saya ketahui memperoleh nilai IPK 3,5 (IPK saya hanya 3,21) merupakan hak orang-orang yang luar biasa. Orang-orang yang mampu memiliki nilai tersebut adalah para geek yang hidupnya bersahabat dengan buku. Kami para mahasiswa yang hidupnya hanya kuliah, bermain dan belajar serta dipenuhi seluruh fasilitasnya saja merasakan bahwa nilai IPK 3,5 itu merupakan hal yang sulit. Maka bisa terbayangkan betapa sulitnya untuk lulus dengan nilai IPK 3,5 jika seseorang yang kuliah dengan biaya hidup seadanya, fasilitas sedikit, sekolah di tempat terpencil dan murah sehingga fondasi ilmunya tidak baik, serta harus kuliah sambil bekerja untuk memperoleh IPK 3,5. 

Untuk bisa lulus dengan IPK 2,5 saja seharusnya kita harus mengangkat tangan atas betapa besarnya air mata dan peluh yang harus mereka keluarkan untuk mendapatkannya. Banyak orang-orang luar biasa itu akan tidak bias mendapatkan kesempatan bersaing untuk memperoleh biaya negara dibandingkan anak-anak dari kalangan mampu bukan karena kalah dalam potensial tetapi karena keadaan. Hal yang menurut hemat saya sangat disayangkan karena tentu investasi negara untuk membiayai pendidikan orang-orang tersebut merupakan investasi yang bagus. 

Jika hanya memberikan kritikan maka bisa dituduh sebagai pengkritik yang tidak berusaha memberikan solusi, maka ijinkan saya memberikan sebuah solusi yang pasti tidak sempurna karena terpengaruh bias sebagai anggota masyrakat kelas menengah, seorang akuntan dan ekonom dengan basis ilmu liberal. Dengan basis itu maka merekrut lulusan sarjana dengan IPK 2,5 merupakan resiko yang besar dan membuat orang yang harus dibiayai menjadi lebih banyak sehingga menambah resiko. Setiap orang yang diberangkatkan kuliah ke luar negeri membutuhkan biaya mencapai milliaran rupiah. Dengan membuat nilai IPK minimal 3,5 merupakan minimalisasi resiko uang milliaran terbuang sia-sia ketika mahasiswa yang diberi beasiswa tidak mampu lulus.

Resiko itu bisa diminimalisir dengan pelatihan bahasa inggris dijadikan tes kedua. Pelatihan bahasa inggris mahal model saat ini yang disediakan oleh LPDP sebaiknya diganti dengan pelatihan IELTS di kampong Pare Kediri. 

Pelatihan IELTS disana mewajibkan siswa belajar sampai 12 jam sehari 6 hari dalam seminggu. Siswa juga harus tinggal bersama di asrama dan setiap kamar dihuni 4 orang dengan fasilitas seadanaya. Kondisi Spartan dan waktu belajar yang panajang merupakan tes ketahanan mental bagi calon siswa. Selain itu biaya yang dikeluarkan sangat murah. Biaya hidup yang diberikan keapda calon penerima beasiswa juga diberikan kecil. Keguananya selain untuk menghemat baiaya juga sebagai tes tamabahan. 

Dengan keadaan tes yang berat ini maka tidak saja menyaring mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan belajar yang baik (karena pasi tidak akan lolos tes IELTS sehingga batal dapat beasiswa) juga bisa menjadi tempat pengamatan bagi petugas LPDP atas mahasiswa miskin palsu (gaya hidup dan kemampuan beradaptasi dengan belajar keras sambil harus masak dan menegerjakan pekerjaan rumah tangga). Dengan metode ini untuk pelatihan selama 6 bulan maka biaya yang dikeluarkan bisa hanya sekitar 7 juta rupiah per anak.

Saran sederhana ini hanya sebagai tambahan. Inti tulisan ini hanyalah harapan agar LPDP lebih memperbanyak memberikan beasiswa kepada masyarakat miskin. Membiayai pendidikan bagi rakyat miskin sudah pasti investasi yang lebih mahal, lebih rumit dan resiko yang lebih besar untuk tidak memberikan imbal balim yang memadai, tetapi tidak terbantahkan setiap keberhasilan memberikan imbal hasil yang jauh lebih besar. 

Imbal balik yang kecil adalah kritikan di #ShitLPDPAwardeeSay lebih sedikit dilakukan oleh awardee dari keluarga tidak mampu.  Masyarakat miskin yang dapat beasiswa kecil kemungkinan menjadi full time traveller dan part time students. Kemungkinan mengeluh bahwa Indonesia panas, macet serta tidak disiplin dan semrawut ketika pulang juga sepertinya kecil.

Imbal balik yang terbesar adalah multiplier effect-nya dalam pengentasan kemiskinan. Setiap keberhasilan mereka tidak saja akan memutus rantai kemiskinan bagi diri mereka sendiri tetapi bisa memberikan efek memutus rantai kemiskinan kepada anggota keluarganya yang lain.  Hasil balik investasi di bidang pendidikan yang sangat dibutuhkan negara kita tercinta ini. Hasil balik yang secara jangka panjang yang bahkan ekonom paling neo liberal sekalipun tidak akan bisa membantah sangat dibutuhkan oleh negara untuk sustainable economic development.  

Salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun