Pendidikan adalah industri. Istilah yang selalu berusaha untuk dihindari dan tidak disukai oleh seluruh scholar di bidang pendidikan.
Namun, tidak ada yang bisa membantah bahwa dunia pendidikan melibatkan jumlah uang yang besar, sumber lapangan kerja sekaligus penyedia tenaga kerja dan penggerak ekonomi suatu negara.
Pendidikan tinggi yang bisa dikatakan sebagai industri daripada tingkat pendidikan lain. Kota London mendapatkan sumbangan ekonomi dari pendidikan tinggi sebesar 3.45 milliar pound (hampir 7 Triliun rupiah). Nilai yang sangat fantastis dan karenanya pendidikan tinggi diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi di London.
Selain Inggris, Amerika Serikat dan Australia adalah negara utama penyerap mahasiswa asing. Nilai dari mahasiswa asing cukup besar bagi negara tersebut.
Hal lain yang menjadi sumber adalah kondisi dua negara pengekspor mahasiswa terbesar di dunia yaitu India dan China. Kondisi India yang membatasi jumlah biaya spp pada universitas mereka sebagian besar universitas memiliki kualitas rendah karena kekurangan pendanaan. Di China, efeknya lebih ke arah kekurangan jumlah universitas untuk menampung permintaan.Pada sisi lain walau keterbukaan untuk universitas asing dan dosen tapi adanya pengekangan kebebasan berpendapat menghalangi keinginan universitas asing buka cabang diChina. Besarnya kenaikan jumlah kelas menengah membuat permintaan atas pendidikan tinggi berkualitas tidak mampu dipenuhi oleh kursi yang tersedia. Banyak pelajar  dari kedua negara tersebut lalu memilih untuk belajar ke luar negeri. Malaysia dan Singapura mendapatkan limpahan yang besar dari mahasiswa kedua negara tersebut. Dalam jangka pendek ini, permintaan akan terus bertambah. Dan ada kecenderungan terlihat penurunan keinginan mahasiswa asing ke Amerika dan Inggris.Â
Indonesia harus mengambil kesempatan yang ada. Pada saat ini, dua negara yang merupakan tempat favorit bagi kedua pelajar kedua negara tersebut sedang bermasalah. Amerika Serikat bermasalah pada sisi Trump.
Kebijakan visa yang berat dan rasisme menjadi marak yang menyebabkan banyak mahasiswa dari kedua negara tersebut menjadi menurun untuk pergi kesana. Pada sisi Inggris, masalah Brexit juga memberikan ketakutan yang sama walau dengan intensitas lebih rendah.
Namun, pada sisi lain juga universitas top di Inggris sedang menghadapi banyak tekanan untuk mengurangi biaya pendidikan tinggi.Â
Walaupun ada keengganan untuk pergi ke kedua negara tersebut namun keinginan untuk berkuliah di universitas dari kedua negara tersebut masih tinggi. Universitas pada kedua negara tersebut pada sisi lain juga membutuhkan untuk terus memperbesar dan merekrut mahasiswa yang mampu bayar.
Ada supply berlebih dari sisi akademisi yang mereka hasilkan yaitu lulusan PhD yang tidak cukup menarik bagi industri di luar pendidikan tinggi. Pada sisi lain, biaya hidup yang tinggi di kedua negara tersebut cukup mengurangi permintaan. Solusi yang mereka dapatkan adalah membuka cabang di luar negeri sehingga tetap bisa menerima mahasiswa asing dengan lebih banyak dan mudah serta menyalurkan hasil lulusan PhD yang berlebih.
Malaysia dan Singapura adalah negara di Asia Tenggara yang berhasil merebut kesempatan tersebut. Jumlah mahasiswa dari China dan India sangat besar menuntut ilmu di cabang universitas asing di sana.Â
Namun, Malaysia dan Singapura memiliki kelemahan yang membuat universitas asing sebenarnya merasa tidak menarik membuka cabang di sana. Ke dua negara tersebut masih ada pengekangan pada kebebasan berpendapat.
Selain itu di Singapura biaya hidup yang mahal bahkan bisa melebihi negara asal universitas membuat banyak mahasiswa dari India dan China mengurungkan niat berkuliah disana. Beberapa universitas asing yang buka cabang di Singapura telah tutup, Â ditengarai penyebabnya adalah keengganan mahasiswa untuk kuliah di cabang ketika biaya yang dikeluarkan malah lebih besar daripada langsung di pusat universitas.
Indonesia harus menangkap peluang ini. Pembukaan universitas asing bukan saja akan mengurangi jumlah devisa negara karena mengurangi mahasiswa Indonesia yang kuliah ke luar negeri tetapi juga bisa menarik devisa dengan mendatangkan mahasiswa asing.
Selain itu spillover  efek dari universitas itu akan sangat baik untuk perekonomian lokal tempat universitas membuka cabang. Ketakutan bahwa universitas asing akan membunuh universitas swasta dalam negeri juga tidak beralasan. Pemerintah bisa membatasi rangking dari universitas yang boleh buka cabang.
Ketika itu dilakukan maka biaya kuliah yang ditarik oleh universitas top mencapai  ratusan juta per tahun. Nilai yang tentu saja tidak akan menjadi saingan dari universitas lokal.
Orang yang mampu kuliah di sana bukan merupakan orang yang akan memilih kuliah di universitas lokal walau universitas asing dilarang buka di Indonesia. Jadi merupakan ketakutan yang tidak wajar jika alasan penolakan pembukaan universitas asing karena melindungi universitas lokal.
Tempat yang baik untuk membuka universitas asing adalah daerah sekitar Banyuwangi. Daerah yang memiliki kedekatan wilayah dengan Bali ini akan bisa menjadi tambahan daya tarik bagi mahasiswa dan dosen asing untuk datang.
Pada sisi lain, walau tempatnya dekat namun harga lahan di daerah tersebut jauh lebih murah dari Bali yang akan mengurangi biaya akomodasi. Biaya akomodasi yang merupakan momok bagi banyak mahasiswa untuk kuliah di Singapura yang terkenal akan mahalnya biaya lahan.
Selain itu, daerah tersebut pasti memiliki tanah negara yang cukup luas dan bisa dipinjamkan kepada universitas asing secara gratis sehingga mereka mau berinvestasi di sana.
Pada sisi transportasi ke daerah tersebut juga mudah karena bisa melalui dua jurusan yaitu melalui Surabaya atau melalui Denpasar. Hal yang akan membuat universitas asing yang buka disana tidak sulit untuk dicapai dari luar negeri.
Pembukaan universitas asing tidak memiliki keburukan bagi Indonesia. Hal yang terjadi malah bisa menjadi sumber penyediaan tenaga kerja dan menyumbang perkembangan ekonomi di suatu daerah.
Satu hal yang harus diperhatikan pemerintah adalah untuk tidak memperbolehkan universitas yang tidak memiliki reputasi internasional yang diakui untuk buka cabang sehingga hanya manfaat positif yang bisa didapatkan. Penolakan universitas asing dengan alasan ketidak-relaan bahwa pendidikan dijadikan industri hanya akan menguntungkan negara lain dan menghabiskan devisa.
Kita tidak bisa melarang mahasiswa Indonesia yang memiliki kemampuan dana untuk pergi ke luar negeri dan menghabiskan devisa negara. Di sisi lain Indonesia tidak memiliki universitas lokal yang mampu menarik mahasiswa asing karena keterbatasan anggaran negara. Indonesia hanya bisa memberikan pilihan untuk mereka untuk berada di Indonesia.
Selain menghemat devisa, pembukaan cabang universitas asing akan berdampak untuk menambah devisa. Saat ini adalah kesempatan bagus dan jika Indonesia tidak cepat menangkap peluang tersebut maka negara lain akan dengan rela dan senang hati mengambilnya. Jika itu terjadi, maka peluang itu mungkin akan susah datang lagi.
Kita tidak bisa menjadi negara yang mampu menghalangi merebaknya knowledge economy yang berbasis neoliberal berkembang di Indonesia. Jika tidak mampu menghalangi, maka merupakan hal yang sia-sia jika kita tidak berusaha menangkap peluang yang ditawarkan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H