Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Industri "Air Biru" dan Uji Klinisnya

25 April 2018   04:08 Diperbarui: 25 April 2018   14:32 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat kasus 'cuci otak' dr. Terawan dari kacamata ilmu ekonomi mungkin bisa menjadi pembahasan menarik. Akan lebih menarik lagi diskusinya karena kasus ini bisa dikaitkan juga dengan penemuan jaket Warsito beberapa tahun yang lalu. Kedua penemuan yang dilarang untuk digunakan di Indonesia karena dianggap belum lulus uji klinis. Alasan yang disampaikan oleh para pihak yang "berwenang" adalah tentu saja perlindungan bagi pasien. Demi alasan perlindungan pasien inilah, sebuah penemuan membutuhkan waktu paling tidak sepuluh tahun agar sampai pada tahap lulus ujian klinis.

Dari sisi ekonomi, topik tentang pengobatan kanker pernah dibahas dalam sebuah buku ringan oleh Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner pada tahun 2009. Pada bukunya, mereka menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan di dunia untuk pengobatan kanker sebesar 50 milliar dolar (sekitar 700 triliun rupiah). Sebagian besar dari biaya tersebut untuk membayar biaya kemoterapi. Biaya besar untuk kemoterapi merupakan hal yang aneh karena menurut hasil penelitian yang ada, kemoterapi hanya bisa dilakukan secara efektif pada beberapa jenis kanker saja dan itupun jika dilakukan sejak dini. 

Tapi nyatanya, kemoterapi ini tidak bisa menyembuhkan secara efektif pada sebagian besar pengidap kanker ditemukan. Dari hasil penelitian yang tercantum dalam buku Levitt dan Dubner ini ditemukan bahwa dari sekitar 63% penyembuhan penyakit kanker di Amerika dan Australia, yang berhasil sembuh melalui kemoterapi hanya sekitar 2%. 

Mereka juga menyajikan data mengenai kanker paru-paru yang menelan korban 150 ribu orang pertahun. Dari data tersebut ditemukan bahwa biaya pengobatan satu pengidap kanker yang menghabiskan sebesar 40 ribu dolar (sekitar 500 juta rupiah) secara rata-rata mampu memperpanjang umur pasien selama 2 bulan saja.  Bahkan penemuan pengobatan kanker payudara dengan metode terbaru dengan biaya yang lebih mahal 360 ribu dolar (sekitar 4 miliar), seorang pasien hanya bisa bertahan hidup selama satu tahun. 

Walaupun ada yang bertahan hidup, banyak ditemukan bahwa kemoterapi menyebabkan efek samping yang dapat menghancurkan sistem imun tubuh si penderita hingga bisa menyebabkan cacat. Levitt dan Dubner bahkan mengklaim bahwa kemoterapi hanyalah metode yang dipakai dalam dunia kedokteran untuk mencari keuntungan semata. Pada tulisannya, mereka juga menyampaikan bahwa tingkat kematian dari kanker tidak berubah sejak sebelum ada pengobatan metode baru yaitu 200 dari 100.000 orang.

Kesimpulan mereka ini menarik untuk dibahas karena Levitt sebagai salah satu penulis merupakan seorang ekonomis.  Bisa dilihat dari tulisan-tulisannya bahwa dia sangat mendukung  industrialisasi dan kapitalisme serta neo-liberalisme. Dia menyampaikan pendapat bahwa paham enviromentalis yang menentang pabrik dan memperbesar efek rumah kaca berbahaya bagi keberlangungan ekonomi. Maka sangat menarik untuk melihat bahwa seorang ekonom pendukung kapitalisme bisa terang-terangan menuduh industri pengobatan mencari keuntungan dari para penderita kanker.

Penelitian di Copenhagen, Denmark yang dilakukan oleh Bronnum-Hansen bersama timnya pada tahun 2001 juga memiliki poin yang menarik untuk didiskusikan jika tentang stroke. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat kematian orang yang terkena serangan stroke pada waktu berkisar antara 28 hari, 1 tahun dan 5 tahun sangat tinggi. Presentasinya yakni 28%, 41% dan 60%. 

Data yang didapat di Inggris lebih jauh menunjukkan bahwa prosentase pasien yang terkena stroke di 12% pada 30 hari dan 25% pada setahun pasien stroke yang meninggal dari waktu terkena serangan. Data tersebut jika ditambah dengan resiko kecacatan yang bisa dialami oleh pasien selepas ia terkena stroke, maka jumlahnya akan jauh lebih besar lagi. 

Dari data ini kita bisa lihat bahwa efek samping dan kematian setelah terkena stroke belum bisa disembuhkan oleh industri medis. Walaupun tingkat kematian sangat tinggi namun biaya yang dikeluarkan pasien (pendapatan bagi industri medis) untuk pengobatan stroke sangat besar yaitu sekitar 1,7 miliar poundsterling (sekitar 32 triliun rupiah) per tahun hanya untuk wilayah Inggris saja.

Hal yang mendasari argumen mengenai keuangan disini bukan untuk menunjukkan bahwa dana yang dikeluarkan untuk memperpanjang hidup manusia itu sia-sia. Penekanannya adalah pada industri medis bukan industri yang fokus pada menyelamatkan manusia, namun ada kepentingan bisnis disana. Satu contoh kasus atas hal ini di Indonesia adalah mengenai Ibu Prita pada beberapa tahun lalu. 

Ketika beliau mengeluhkan bahwa dia menderita salah diagnosis, bukannya meminta maaf, rumah sakit bersangkutan beserta dokternya menuntut beliau ke pengadilan. Beliau ditahan karena terbukti merugikan penuntut secara ekonomis. Rumah sakit dan dokter menunjukkan ketidakpedulian pada sisi kemanusiaan bahwa pasien mereka menderita dalam perawatannya sehingga berhak membagikan pengalaman sebagai peringan rasa stress. Pelaku industri medis menunjukkan lebih perduli pada keuntungan mereka yang berkurang daripada kesejahteraan pasien.

Untuk menggambarkan hubungan antara kepentingan ekonomi dan uji klinis ingin saya gambarkan dalam bentuk ilustrasi atau model cerita.

"Kita bisa umpamakan bahwa ada ribuan orang yang tidak minum selama lebih dari 2 hari setelah menyeberangi gurun dan mereka harus segera minum karena manusia akan meninggal jika tidak minum melebihi 3 hari. Ketika mereka sampai di oasis ada air berwarna hijau. Orang-orang yang sampai awal lalu minum air itu dan tidak terjadi apa-apa pada mereka. 

Tapi orang selanjutnya dilarang untuk meminum air itu oleh pihak asosiasi penyedia air gurun. Alasan yang disampaikan oleh pihak berwenang adalah air itu belum diuji. Mereka harus minum dari air  berwarna biru yang telah diuji (tempat yang dimana para pihak berwenang juga bekerja, berinvestasi dan mencari uang). Dan ketika ada yang bertanya apakah air itu aman? Maka pihak berwenang menyatakan bahwa dari hasil uji coba bahwa minum air biru akan membuat sepertiga yang minum meninggal, sepertiga lagi cacat dan sisanya bisa hidup walau dengan tetap ada efek samping yang mengganggu seumur hidup. 

Dan ketika ada yang menyatakan bahwa toh ada yang behasil minum dan tidak apa-apa. Maka pihak berwenang menyatakan bahwa itu hanya testimony yang tidak bisa dijadikan kesimpulan. Mereka harus tetap minum air biru dengan konsekuensi meninggal, cacat atau menderita seumur hidup karena itu lebih baik sebab air biru telah melalui uji puluhan tahun dan air hijau juga bisa diminum setelah melalui uji puluhan tahun juga".

Ketika ada kejadian seperti pada ilustrasi diatas apakah kita bisa percaya bahwa para pihak industri air itu menerapkan uji untuk kepentingan para orang kehausan tadi atau karena takut kehilangan sumber pendapatan yang besar? Dan apalagi jika data menunjukkan bahwa investasi mereka pada air biru yang sangat besar dan terancam hilang jika ada saingan yang memberikan hasil lebih baik dengan biaya lebih murah. 

Waktu puluhan tahun untuk uji klinis akan memberikan mereka kesempatan untuk mengembalikan modal serta mengambil alih sumber air hijau yang mampu mempertahankan pendapatan mereka. Hal yang berbeda halnya ketika industri "air biru" mempersyaratkan uji jika air mereka terbukti bisa menyembuhkan kehausan dan melindungi peminum dari kematian atau cacat, maka syarat uji menjadi masuk akal karena para orang kehausan itu terlindungi secara pasti kesejahteraan dan nyawanya.

Hal yang tidak masuk akal mewajibkan orang minum "air biru" yang bisa membunuh, membuat cacat atau memberikan penderitaan tetapi melarang meminum air hijau yang secara testimoni berfungsi baik dengan alasan perlindungan. Jika tertarik menyelamatkan nyawa bukankah lebih baik secara terbuka memberikan peringatan tentang air tersebut dan dalam saat bersamaan mencatat statistik untuk diperbandingkan serta menyerahkan pada individu bersangkutan untuk pilihannya dari data dan peringatan yang ada. 

Jika langsung menghalangi maka para pihak industri "air biru"  seperti berkata gombal bahwa para orang yang kehausan tidak perlu melakukan pilihan. Biar mereka saja yang tentukan pilihannya karena itu berat. Tanpa perlu peduli bahwa para orang kehausan itu yang merasakan akibat dari pilihan yang ditetapkan industri "air biru".

 Salam   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun