Pinjaman pendidikan atau bahasa bulenya student loan adalah instrumen yang banyak dipakai oleh negara untuk pembiayaan khusus pendidikan tinggi. Hal ini berhubungan dengan pendidikan tinggi masih diperdebatkan sebagai public goods atau private goods oleh ahli ekonomi dan sosiologis. Pendidikan di bawah pendidikan tinggi normalnya tidak diperdebatkan dan hampir merupakan kesepakatan bahwa merupakan public goods yang wajib dibiayai oleh negara sehingga negara paling liberal sekalipun seperti Singapura dan Hongkong menggratiskan sekolah pada tingkat dasar.Â
Hal berbeda pada pendidikan tinggi di mana para mainstream ekonom menempatkannya sebagai private goods dengan alasan individual yang mendapatkan pendidikan tinggi lebih mendapatkan keuntungan daripada masyarakat ketika mereka memperoleh pendidikan tinggi sehingga biayanya sebagian besar harus ditanggung individual tersebut. Pada sisi lain dari pandangan sosiolog, ahli pendidikan dan ekonom yang non-mainstream, pendidikan tinggi memberikan efek lebih besar kepada masyarakat daripada individu sehingga menjadi kewajiban negara untuk membiayai secara sepenuhnya.
Perdebatan mengenai hal tersebut membuat student loansystem menjadi hal yang kontroversial. Namun, negara dengan pendidikan tinggi terbaik di dunia (jika dilihat dari rangking universitasnya) yaitu Amerika Serikat, Australia, Inggris, Jepang dan Selandia Baru menggunakan students loan sebagai instrumen pendanaan pendidikan tinggi. Bahkan Finlandia yang tidak menerapkan biaya kuliah juga memiliki students loan untuk memberikan pinjaman buat biaya hidup mahasiswa ketika mereka kuliah sehingga tidak membebani orang tua.
Baru-baru ini Presiden kita, Bapak Jokowi melontarkan saran untuk membuat pinjaman pendidikan. Di sini saya tidak membahas keburukan dari students loan atau bahwa secara UUD 1945 bahwa pendidikan di indonesia seharusnya public goods. Mengapa Indonesia tidak bisa menerapkan sistem pinjaman pendidikan. Alasannya sederhana, nama buruk dari students loans akan bisa ditemui lebih banyak (bukan semua) diberikan dengan pembuktian secara kualitatif.Â
Sementara, jika menggunakan metode kuantitatif maka secara bukti akan lebih banyak (bukan semua) menunjukkan bahwa students loan memberikan kebaikan. Sebagai contoh adalah masalah students loan di Amerika. Nama buruk dari students loan di Amerika akan bisa ditunjukkan dari metode kualitatif karena memang ada orang yang terbebani oleh students loan karena mereka sekolah di bidang atau universitas yang tidak memberikan mereka kemampuan untuk membayar. Sandy Baum (2016) di bukunya tentang students loan menunjukkan data secara kuantitatif bahwa mayoritas peminjam di Amerika Serikat hanya memiliki utang pendidikan yang rendah.Â
Hanya 1% yang memiliki utang besar. Dan walaupun tren nilai utang meningkat secara total tetapi dikarenakan kenaikan jumlah manusia bukan nilai utang per individu. Baum juga mengindikasikan bahwa nama buruk dari students loan tersebar karena media hanya membahas kasus individu yang secara nyata memang ada yang berat menanggulangi utang pendidikannya.Â
Namun, mereka adalah minoritas yaitu orang yang kuliah hanya karena ingin mendapatkan gelar atau ilmu saja tanpa pengetahuan bahwa pekerjaan yang bisa didapatkan dengan gelar itu tidak mampu membayar utangnya. Dan rata-rata mereka adalah mahasiswa dari kalangan yang tidak mampu, tidak memiliki kerabat yang pernah kuliah yang mampu memberi saran dan mendapatkan gelar dari universitas pencari keuntungan dengan kualitas pendidikan yang rendah.
Keuntungan besar dari pendidikan tinggi yang dibiayai oleh students loan adalah sistem pendidikan tinggi tersebut secara rata-rata lebih memiliki kemampuan finansial yang lebih baik dari sistem pendidikan tinggi yang tidak. Kemampuan finansial yang diterjemahkan dengan kesejahteraan para dosen yang lebih baik, fasilitas yang lebih lengkap dan dana penelitian yang lebih berlimpah yang membuat negara dengan dengan sistem students loan umumnya memiliki kualitas universitas lebih baik dari yang tidak.
Sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya Indonesia butuh memiliki sistem pinjaman pendidikan demi menalangi kekurangan pendanaan di pendidikan tinggi kita demi meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, sayangnya Indonesia tidak mampu menerapkan pinjaman pendidikan dalam sistem pendidikan tinggi kita.
Pada 1991, Albrecht and Ziderman dengan pembiayaan oleh World Bank mealkukan review program pinjaman pendidikan di 24 negara baik negara maju dan neagra berkembang. Negara berkembang belum memiliki sistem administrasi pajak, kependudukan dan penegakan hukum yang memadai sehingga tingkat gagal bayar atas utang pendidikan sangat tinggi. Selain itu, pada negara berkembang memiliki kelemahan pada mahalnya biaya modal namun murah pada biaya manusia.Â
Hal yang bertolak belakang dengan negara maju dimana biaya modal rendah dan biaya manusia tinggi. Keadaan yang menyebabkan pada negara maju, pemerintah bisa mendapatkan keuntungan dari selisih bunga pinjaman pemerintah ke pasar keuangan dengan beban bunga kepada mahasiswa sebagai biaya operasional. Pada negara berkembang, bukan saja pemerintah tidak bisa mendapatkan selisih bunga bahkan normalnya harus mensubsidi bunga karena gaji fresh graduate tidak mampu membayar bunga uang pasar. Keadaan yang membuat Albrecht dan Ziderman menyatakan bahwa sistem subsidi akan lebih ekonomis serta sustainable bagi negara berkembang.
Selain hasil penelitian tersebut, banyak penelitian yang mampu memberikan bukti bahwa sistem students loan tidak bisa diterapkan di negara berkembang. Salah satunya data yang ditunjukkan oleh Chapman dan Lounkaew menunjukkan perbandingan tingkat gagal bayar 4 negara yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Thailand, dan Malaysia, yang menunjukkan persentase 14,7%, 13%, 53% dan 49%. Mereka menyatakan perbedaan yang tinggi pada gagal bayar antara negara maju dan berkembang terletak pada rendahnya pendapatan manusia dan sistem administrasi yang buruk.Â
Jika Thailand dan Malaysia yang memiliki sistem adminsitrasi lebih baik (rasio pajak atas GDP lebih tinggi dari Indonesia), bunga modal lebih rendah dan pendapatan manusia lebih tinggi saja tingkat gagal bayarnya setinggi itu, maka ketika Indonesia menerapkan pinjaman pendidikan, maka pemerintah harus bersiap untuk mengeluarkan dana lebih besar untuk menalangi di masa depan.Â
Pada jangka pendek, sistem pinjaman pendidikan akan meringankan beban tapi secara jangka panjang akan memberatkan APBN dan tidak sustainable. Indonesia perlu melakukan perbaikan sistem administarasi kependudukan dan perpajakan, tingkat bunga modal dan sistem hukum sehingga setara negara maju baru kita bisa menerapkan pinjaman pendidikan yang memadai dan sustainable.
Tanggapan atas Komentar:
I. Tergantung jenis sistem student loannya jika melihat masalah manusiawinya. Ada 2 jenis model utama student loan yaitu Government Guaranteed Students Bank Loan dan Income Contingency Loans (ICL) (Chapman dan Lounkaew, 2016). Walau ada variasinya tapi hanya dua inilah model utama students loan di dunia. Sistem ICL lebih manusisawi karena pinjaman dibayar jika pendapatan pengutang mencapai batas tertentu dan biasanya setelah beberap tahun jika tidak dilunasi maka dihapus oleh negara. Penagihannya dilakukan melalui kantor pajak sehingga merupakan pajak tambahan. Jadi, sistem loans bisa dibuat manusiawi dan menyesuaikan kemampuan  individu. Tetapi semanusiawinya sistem  pinjaman tetap akan ditentang oleh mahasiswa karena tetap saja lebih enak yang gratis. Dan secara theoritical banyak kelemahannya (maaf saya tidak bisa bahas di komentar ini). Tetapi pada sisi lain ini merupakan buah simalakama. Jika, dilakukan mahasiswa menderita keuangannya tetapi jika tidak maka para dosen yang menderita. Pendidikan tinggi yang tidak menerapkan pinjaman pendidikan normalnya akan keurangan pendanaan dan yang pasti dikorbankan adalah kesejahteraan dosen dan pendanaan untuk researchnya karena uang negara normalnya tidak akan mampu membiayai secara penuh. Tingkat kesejahteraan dosen di negara free tuition fee seperti Jerman dan Finlandia jauh dibawah dosen di negara yang memiliki sistem students loans. Pendapatan dosen di Jerman on average kurang dari setengah pendapatan dosen di UK. Indonesia sebenarnya sangat membutuhkan adanya pinjaman pendidikan tapi sebaiknya model ICL, tetapi sayangnya kantor pajak kita belum memiliki kemampuan untuk itu dan tingkat suku bunga yang tinggi serta gaji manusia yang rendah akan membuat gagal bayar tinggi. Kita tidak punya pilihan selain mencari sistem subsidi yang tepat untuk sementara ini.
II. Ilustrasi angka atas ketidak mungkinan students Loan diterapkan
Jika kita lakukan asumsi bahwa uang kuliah mahasiswa sebsar 15 juta rupiah per semester maka untuk tamat jika tepat waktu selama 8 semester dibutuhkan pinjaman sebesar 120 juta rupiah. Jika bunga uang yang diterapkan sebesar 8% per tahun dengan jangka waktu pelunasan selama sepuluh tahun maka cicilan per bulan yang dibayar mahasiswa akan sebesar 1.8 juta sebulan. Peraturan perbankan kalau tidak salah menunjukkan bahwa cicilan hanya boleh 20% dari total pendapatan maka agar individu diwajibkan membayar cicilan jika gajinya mencapai 9 juta sebulan. Jumlah gaji yang sangat tinggi karena berdasarkan data Sakernas 2016 untuk gaji rata-rata pekerja berusaha sendiri dengan pendidikan SMA ke atas hanyalah 2.5 jutaan dan pekerja bebas pada  angka 1.6 juta. Gaji 9 juta per bulan untuk fresh graduate hanya bisa didapat jika bekerja di BUMN besar dan atau perusahaan multinasional. Sehingga jika negara berniat melaksanakan pinjaman pendidikan dengan model ICL maka akan cukup besar nilai yang harus dihapus. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H