Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sistem Pinjaman Pendidikan (Student Loan), Tidak Cocok untuk Indonesia?

20 Maret 2018   08:51 Diperbarui: 20 Maret 2018   23:57 12158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tribun Jogja - Tribunnews.com

Selain hasil penelitian tersebut, banyak penelitian yang mampu memberikan bukti bahwa sistem students loan tidak bisa diterapkan di negara berkembang. Salah satunya data yang ditunjukkan oleh Chapman dan Lounkaew menunjukkan perbandingan tingkat gagal bayar 4 negara yaitu: Amerika Serikat, Kanada, Thailand, dan Malaysia, yang menunjukkan persentase 14,7%, 13%, 53% dan 49%. Mereka menyatakan perbedaan yang tinggi pada gagal bayar antara negara maju dan berkembang terletak pada rendahnya pendapatan manusia dan sistem administrasi yang buruk. 

Jika Thailand dan Malaysia yang memiliki sistem adminsitrasi lebih baik (rasio pajak atas GDP lebih tinggi dari Indonesia), bunga modal lebih rendah dan pendapatan manusia lebih tinggi saja tingkat gagal bayarnya setinggi itu, maka ketika Indonesia menerapkan pinjaman pendidikan, maka pemerintah harus bersiap untuk mengeluarkan dana lebih besar untuk menalangi di masa depan. 

Pada jangka pendek, sistem pinjaman pendidikan akan meringankan beban tapi secara jangka panjang akan memberatkan APBN dan tidak sustainable. Indonesia perlu melakukan perbaikan sistem administarasi kependudukan dan perpajakan, tingkat bunga modal dan sistem hukum sehingga setara negara maju baru kita bisa menerapkan pinjaman pendidikan yang memadai dan sustainable.

Tanggapan atas Komentar:

I. Tergantung jenis sistem student loannya jika melihat masalah manusiawinya. Ada 2 jenis model utama student loan yaitu Government Guaranteed Students Bank Loan dan Income Contingency Loans (ICL) (Chapman dan Lounkaew, 2016). Walau ada variasinya tapi hanya dua inilah model utama students loan di dunia. Sistem ICL lebih manusisawi karena pinjaman dibayar jika pendapatan pengutang mencapai batas tertentu dan biasanya setelah beberap tahun jika tidak dilunasi maka dihapus oleh negara. Penagihannya dilakukan melalui kantor pajak sehingga merupakan pajak tambahan. Jadi, sistem loans bisa dibuat manusiawi dan menyesuaikan kemampuan  individu. Tetapi semanusiawinya sistem  pinjaman tetap akan ditentang oleh mahasiswa karena tetap saja lebih enak yang gratis. Dan secara theoritical banyak kelemahannya (maaf saya tidak bisa bahas di komentar ini). Tetapi pada sisi lain ini merupakan buah simalakama. Jika, dilakukan mahasiswa menderita keuangannya tetapi jika tidak maka para dosen yang menderita. Pendidikan tinggi yang tidak menerapkan pinjaman pendidikan normalnya akan keurangan pendanaan dan yang pasti dikorbankan adalah kesejahteraan dosen dan pendanaan untuk researchnya karena uang negara normalnya tidak akan mampu membiayai secara penuh. Tingkat kesejahteraan dosen di negara free tuition fee seperti Jerman dan Finlandia jauh dibawah dosen di negara yang memiliki sistem students loans. Pendapatan dosen di Jerman on average kurang dari setengah pendapatan dosen di UK. Indonesia sebenarnya sangat membutuhkan adanya pinjaman pendidikan tapi sebaiknya model ICL, tetapi sayangnya kantor pajak kita belum memiliki kemampuan untuk itu dan tingkat suku bunga yang tinggi serta gaji manusia yang rendah akan membuat gagal bayar tinggi. Kita tidak punya pilihan selain mencari sistem subsidi yang tepat untuk sementara ini.

II. Ilustrasi angka atas ketidak mungkinan students Loan diterapkan

Jika kita lakukan asumsi bahwa uang kuliah mahasiswa sebsar 15 juta rupiah per semester maka untuk tamat jika tepat waktu selama 8 semester dibutuhkan pinjaman sebesar 120 juta rupiah. Jika bunga uang yang diterapkan sebesar 8% per tahun dengan jangka waktu pelunasan selama sepuluh tahun maka cicilan per bulan yang dibayar mahasiswa akan sebesar 1.8 juta sebulan. Peraturan perbankan kalau tidak salah menunjukkan bahwa cicilan hanya boleh 20% dari total pendapatan maka agar individu diwajibkan membayar cicilan jika gajinya mencapai 9 juta sebulan. Jumlah gaji yang sangat tinggi karena berdasarkan data Sakernas 2016 untuk gaji rata-rata pekerja berusaha sendiri dengan pendidikan SMA ke atas hanyalah 2.5 jutaan dan pekerja bebas pada  angka 1.6 juta. Gaji 9 juta per bulan untuk fresh graduate hanya bisa didapat jika bekerja di BUMN besar dan atau perusahaan multinasional. Sehingga jika negara berniat melaksanakan pinjaman pendidikan dengan model ICL maka akan cukup besar nilai yang harus dihapus.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun