Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kompetensi atau Kapasitas? Pilihan Kebijakan Pendidikan

10 Januari 2018   00:12 Diperbarui: 10 Januari 2018   03:45 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia ekonomi pendidikan, terdapat dua buah pemikiran utama yang bertolak belakang dan mewakili banyak perdebatan pada ribuan bahkan mungkin puluhan ribu jurnal yang membahas tentang pendidikan.  Pertama adalah konsep pendidikan abadi yang dianggap telah ketinggalan jaman, namun belakangan ini menjadi 'hit' kembali, yaitu pendidikan sebagai penambah kapasitas manusia. Jika kita melihat asas pemikiran Ki Hajar Dewantara, maka pendidikan yang beliau sarankan adalah teori pendidikan dengan basis ini. 

Pendidikan adalah proses memanusiakan dari manusia. Pengetahuan diperlukan oleh amnesia gar dia bisa memenuhi kebutuhan untuk hidup sebagai manusia paripurna dan memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Di dalam konsep pendidikan dengan pemikiran ini maka arah pendidikan digunakan untuk mendidik anak-anak untuk tumbuh sebagai manusia pencinta pengetahuan dan penyebar dari pengetahuan semata demi memenuhi kebutuhan sebagai manusia untuk memiliki pengetahuan. 

Pengetahuan dikonsepsikan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Ada prinsip kesetaraan dan kebahagiaan dalam mendapatkan kependidikan yang diutamakan apda konsep pemikiran ini. Prinsip yang sebenarnya bisa dikatakan prinsip dasar dan menjadi teori yang dipegang ketat oleh para scholar ilmu pendidikan ‘murni’.

Prinsip kapasitas ini menjadi teori yang banyak digunakan sebagai antitesis dari prinsip kompetensi yang dimotori oleh makin kuatnya human kapital teori sebagai prinsip yang digunakan oleh para teknokrat untuk menjadi dasar pemberian pendidikan. Maka, kita sering menemukan keduanya ada di tujuan dari pendidikan secara bersamaan walaupun dari sisi konsep mereka sebenarnya sangat bertolak belakang. 

Prinsip kompetensi yang tenar relatif baru yaitu setelah perang dunia kedua dikembangkan oleh para ekonom yang berbasis neoclassic atau banyak dijuluki neoliberal oleh para scholar di bidang pendidikan dan sosiologi. Pemikiran ini mendorong pendidikan sebagai pemberi kemampuan sumber daya manusia untuk penambah kemampuan demi meningkatkan produktivitas. Istilahnya sebagai penambah modal (capital) dalam bentuk sumber daya manusia (human) demi menjadi negara yang mampu bersaing di era ‘knowledge economy’.

Prinsip kapasitas lebih mengutamakan pendidikan untuk mengajarkan anak-anak bagi antusiasme atas ilmu dan kecintaan akan ilmu dan jika ternyata menambah kompetensi, maka dianggap hanya sebagai bonus bukan tujuan utama. Pada sisi lain, pemikiran kompetensi mewajibkan adanya fokus pada kompetensi dan mengurangi banyak pendidikan yang membebani pendanaan namun tidak memberi banyak sumbangan untuk meningkatkan kompetensi. 

Selain itu tentu saja pertanggungjawaban atas hasil pendidikan harus selalu diukur dan dari hasil menjadi dasar pemberian tambahan sumber daya. Kelebihan dari sistem pendidikan kapasitas adalah sifatnya yang humanis dan menghargai perbedaan dan konsep kebahagiaan dan kesetaraan. Tujuan utama pendidikan adalah pencerahan dan memberikan dorongan kepada manusia untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan. Sistem pengajaran diserahkan sepenuhnya pada guru dengan minimum bahkan bisa tanpa pengawasan. Sistem yang paling dibanggakan oleh para pendukung pemikiran ini (dari yang literatur yang saya baca hampir seluruh scholar ilmu pendidikan murni dan sosiologi) tentu saja Finlandia.

Kita tidak banyak mendengar betapa suksesnya pendidikan di Singapura, Korea Selatan, Jepang dan Hong Kong. Padahal dari ukuran prestasi, negara-negara tersebut lebih sering ada di atas Finlandia dalam hal peringkat maupun nilai pada tes PISA oleh OECD. Hal ini karena para negara tersebut murni menggunakan prinsip kompetensi dalam sistem pendidikannya. Anak-anak diarahkan untuk menjadi yang memenangkan PERSAINGAN. 

Dilakukan pengelompokan sejak muda atas dasar tingkat nilai akademis. Hasil tes dijadikan patokan sebagai tingkat dan strata sebagai manusia. Meritocracy sangat diagungkan. Pertarungan untuk mendapatkan nilai terbaik dan banyak tes diberikan yang lalu menjadi dasar strata si anak. Pengelompokan anak atas tingkat nilai akademis bukan hanya terbagi pada sekolah namun di sekolah juga pada penentuan kelas. Istilahnya adalah streaming. 

Pembagian kelas berdasarkan nilai akademis yang sama memiliki dua fungsi. Pertama,memberikan kemudahan bagi guru untuk memberi materi karena dengan tingkat kecerdasan yang sama maka lebih mudah bagi guru memberi pengajaran dengan tingkat kecepatan yang bisa diatur sesuai kecerdasan murid. 

Kedua, memudahkan menilai kualitas seorang guru. Ketika satu kelas memiliki tingkat kecerdasan yang sama maka tingkat kinerja guru bisa lebih mudah dinilai. Tingkat rata-rata nilai murid ketika masuk bisa dibandingkan dengan nilai tingkat rata-rata setelah diajar guru tersebut. Maka kinerja guru bisa dibandingkan dari apakah sang guru berhasil mempertahankan, memperbaiki atau memperburuk nilai rata-rata murid di kelasnya. Dari ini bisa dengan mudah memberi insentif kepada guru yang lebih berprestasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun