Beranjak menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan menerbitkan Manufacturing Hope setiap awal pekan, dan kini sudah capai 114 seri. Tulisan ini menceritakan segala sepak terjang kementerian BUMN dalam mengemban amanat untuk di satu sisi menjadi motor penggerak ekonomi nasional dan juga menjadi pendukung penyediaan layanan publik bagi pemerintah; dan di sisi lain, menjadi entitas bisnis yang menguntungkan dan menyumbang deviden bagi negara. Tulisan-tulisan Dahlan yang aspiratif menumbuhkan motivasi, semangat dan harapan baru di tengah skeptisme dan apatisme terhadap arah pembangunan negeri yang terkoyak-koyak dan terkotak-kotak oleh simbol-sombol ideologi dan kepentingan yang saling bertabrakan. Tulisan-tulisan ini seperti memberi pesan bahwa Indonesia ini negeri besar dan dengan kerja keras, kita akan bisa menjadi bangsa yang lebih besar lagi karena itu semua pihak harus bersemangat dan bekerja keras untuk kemajuan negeri.
Dahlan Iskan juga piawai dalam berkomunikasi di depan umum. Ini terlihat tidak saja saat dia menjadi pembicara di pelbagai seminar baik di kalangan pengusaha, kampus maupun di tengah-tengah petani; namun juga saat debat dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat yang tengah berlangsung saat ini. Gaya bicara Dahlan mirip Gus Dur; yang jujur dan apa adanya. Tidak diplomatis seperti Obama. Namun, ketiganya memiliki kesamaan, yakni selalu menghadirkan humor di antara pesan-pesan dan pemikiran-pemikiran yang dalam.
Namun, Dahlan Iskan juga kaya akan banyolan. Dia menanggapi masalah-masalah sulit dengan banyolan. Namun kadang ini disalahpahami. Salah satu banyolannya adalah tentang jodoh dan KRL. Katanya, jodoh itu seperti (kereta rel listrik), tidak jalan kalau tidak ada sinyal. “Saya memilih menghadapi dengan humor. Tapi meskipun saya berhumor, masih saja ada yang menanggapinya dengan serius. Sepertinya bukan produksi minyak saja yang butuh kita tingkatkan, tapi selera humor bangsa ini juga perlu ditingkatkan,” ujar Dahlan Iskan.
Kualitas Pribadi
Nah, kesamaan Gus Dur, Obama dan Dahlan Iskan dalam kepiawian menulis dan berbicara di depan publik, serta memiliki selera humor yang baik, adalah kualitas pribadi yang terdiri dari intelektualitas yang tinggi, pengalaman hidup yang kaya, serta pembelajaran yang tiada henti dengan banyak membaca buku dan berdiskusi.
Menurut penulis Willa Cather, kebanyakan bahan dasar yang digarap seorang penulis didapatkannya sebelum ia berusia lima belas tahun. Di sini ada kesamaan antara ketiga figur ini. Masa kecil mereka yang berat namun penuh petualangan, membuat mereka memiliki kaya pengalaman, warna dan imajinasi.
Namun pengalaman saja tentu saja tidak cukup. Perlu kerja keras untuk menjadi penulis yang baik. Orang tidak perlu tahu bahwa Anda harus belajar menulis. Biarkan mereka mengira bahwa Anda memang terlahir sebagai penulis, kata Hemingway. Sementara Edgar Rice Burroghs mengatakan bahwa dia berhasil menjadi penulis karena dia selalu menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang menulis dan semata terus mencoba untuk menyampaikan cerita secara menawan.
Menulis juga dituntut kedisiplinan karena ada tengat yang harus dipenuhi. Saya menyukai tengat. Saya menyukai suara desisannya saat dia berlalu. Demikian kata Douglas Adams.
Demikian juga halnya kemampuan untuk berbicara di depan umum sangat dipengaruhi oleh intelektualitas, pengalaman dan keterampilan.Kecerdasan yang dibawa dari lahir tentu saja tidak memadai. Perlu didukung dengan pembelajaran yang keras. Seperti kata Socrates, saya tahu bahwa saya cerdas karena saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa. Dengan sikap itu, Socrates terus belajar dan menjadi pemikir besar. Selaras dengan yang dikatakan oleh sang jenius Albert Einstein, bukan karena saya begitu cerdik, namun karena saya bertahan lebih lama untuk memikirkan permasalahan-permasalahan yang ada.
Tentu saja untuk menjadi pembicara yang hebat perlu kerja keras dan persiapan-persiapan. Seperti kata Dale Carnegie, hanya pembicara yang telah menyiapkan diri dengan baik yang bisa percaya diri.
Sedangkan untuk memiliki selera humor yang baik, juga diperlukan intelektualitas yang tinggi. Seperti dikatakan Jensen (1998), kemampuan seseorang untuk menghasilkan dan memehami humor merupakan buktiintelektual dasarnya.