2) Jasa pengerahan massa untuk kampanye dan tim sukses. Tim sukses selalu sukses walaupun jagoannya gagal.
3) Perusahaan percetakan yang membuat baliho, spanduk, flier, kartu nama, dll
4) Perusahaan media, terutama TV dan Koran, akan banyak kehilangan pendapatan
5) Dukun dan paranormal akan kehilangan klien. Namun mungkin tukang santet masih mungkin dapat orderan untuk mencelakai lawan.
6) Pemilih, kehilangan hak untuk memilih calon secara langsung. Hak politik dirampas.
7) Pegawai, bakal kehilangan minimal satu hari libur dalam 5 tahun untuk mencoblos.
Pertanyaan kedua, lalu siapa yang untung dengan pilkada tidak langsung:
1) Negara akan untung karena biaya pilkada tidak langsung akan jauh lebih murah. Mungkin tidak sampai 10% dari biaya pilkada langsung. Biaya pilkada langsung per kabupaten sekitar Rp25 miliar. Jadi negara harus keluar uang sekitar Rp12,5 triliiun. Jadi kalau 10% berarti hanya Rp1,25 triliun. Lumayan untuk menutup deficit anggaran.
2) Anggota DPRD terpilih yang sekarang duduk di kursi dewan. Mereka bakal menjadi rebutan para calon bupati. Hukum permintaan dan penawaran berlaku di sini. Permintaan naik, penawaran tetap, maka harga akan naik ceteris paribus. Berapa nilainya? Dengar-dengar untuk tingkat kabupaten di luar Jawa, satu kursi DPRD Kabupaten harganya Rp1 miliar. Ada total 17.560 kursi DPRD kabupaten/kota di Indonesia. Jadi ada peluang uang beredar sebesar Rp17,56 triliun dari kandidat bupati/walkot ke para anggota dewan. Mantap. Pas untuk bayar hutang dan tunggakan modal pileg yang lalu.
3) Partai politik pasti dapat bagian dari transaksi dukung-mendukung para calon bupati dan para legislator. Bisa jadi modal untuk penggalangan konstituen untuk pemilu lima tahun ke depan.
4) Rakyat, untung tidak ikut rebut-rebut soal pilkada. Tidak cekcok dalam rumah tangga karena perbedaan kandidat. Potensi perceraian akibat perbedaan dukungan calon bupati akan berkurang. Pengadilan agama akan senang.