Yang Untung (Buntung) Pilkada (Tidak) Langsung
Oleh: Kasan Mulyono
Komedian dan bintang film Groucho Marx, pernah bilang, politik adalah seni mencari masalah, menemukan masalah di mana-mana, mendiagnosis secara tidak benar dan memberikan obat yang salah. Sedangkan Napoleon pernah berujar, dalam politik kebodohan bukanlah sebuah penghalang. Sedangkan penulis Kuba, Jose Marti mengatakan: "Tugas pertama seorang manusia adalah memikirkan dirinya sendiri".
Kiranya tiga kutipan politik di atas cukup mewakili perdebatan dua kubu politisi di Senayan tentang opsi antara pilkada langsung dan tidak langsung yang sedang gencar saat ini.
Pertama, sudah tugas politisi memang untuk mencari-cari masalah. Nah, masalah itu adalah pilkada. Mereka temui banyak masalah di mana-mana terkait pilkada ini. Lalu mereka membuat resep-resep untuk mengobati masalah itu. Sialnya, obatnya belum tentu bisa mengobati permasalahan-permasalahan itu. Mungkin bahkan bisa memperburuk permasalahannya. Keduanya sah-sah saja karena seperti kata Groucho Marx, memang begitulah adanya tugas para politisi.
Yang kedua, kalau sudah begitu, berarti solusi-solusi yang dibahas ini adalah suatu kebodohan? Masak sesuatu yang sudah bagus mau dirusak? Atau bahkan sebuah kejeniusan karena mengakui bahwa keputusan yang diambil sebelumnya adalah sebuah kebodohan jadi harus diperbaiki sekarang. Keduanya sah-sah saja karena dalam politik, seperti kata Napoleon, kebodohan bukanlah sebuah halangan namun malah menjadi sebuah terobosan.
Yang ketiga, pada akhirnya adalah what in it for me. Setiap orang memikirkan apa yang dia dapat. Itu juga yang terjadi pada para politisi kita. Tugas pertama mereka adalah memikirkan diri mereka sendiri. Memikirkan rakyat atau negara, memang penting, tapi bukan tugas yang maha utama.
Siapa Untung (Buntung)?
Menyadari realitas dan hakikat para politisi seperti itu, tidaklah perlu kita terlalu memikirkan mana yang benar antara pilkada langsung dan tidak langsung. Keduanya benar. Keduanya baik. Keduanya buruk. Tergantung kita sedang di posisi yang mana. Toh yang buruk bisa diperbaiki lagi nanti. Jadi, yang bakal menang adalah mayoritas, bukan akal sehat. Dalam situasi permainan habis-habisan seperti ini, pemenang mendapatkan semuanya.
Nah, yang perlu kita lihat adalah siapa-siapa saja yang untung dengan opsi pilkada langsung dan siapa-siapa yang untung dengan pilkada tidak langsung. Mereka yang untuk pada satu opsi, berarti rugi pada opsi lainnya. Tidak bisa kedua-duanya. Namun karena sekarang perubahannya adalah dari pilkada langsung ke pilkada tidak langsung, maka pertanyaan pertama adalah siapakah yang buntung bila pilkada dilaksanakan secara tidak langsung. Berikut yang bisa penulis identifikasi:
1) Lembaga survei dan konsultan politik. Bisa dibilang mereka akan gulung tikar. Klien tidak ada lagi. Pilkada bupati saja butuh sekitar Rp10 - 20 miliar untuk jasa konsultan politik. Ada berapa kabupaten di Indonesia? Ada sekitar 500 kabupaten/kota. Jadi ada potensi bisnis sekitar 3 kandidat, dikalikan 500 kabupaten kota, dikalikan Rp10 miliar, sama dengan Rp15 triliun. Wuih! Potensi bisnis yang besar. Mereka akan buntung. Itu pun belum seluruh biaya yang dikeluarkan masing-masing calon yang biasanya sekitar Rp25 miliar per calon. Jadi ada sekitar Rp20an triliun lagi yang dulu beredar dan akan hilang atau berkurang.