Masih ingat dalam kenangan kita saat duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Kebanyakan dari kita akan menjawab dengan lugu jika ditanya persoalan cita-cita. Beberapa profesi yang selalu disebutkan oleh anak-anak yaitu guru, dokter, polisi, pilot, dan petani selalu dipilih menjadi profesi ketika dewasa. Meski dengan menjawab demikian, tentu mereka masih menerka-nerka tentang pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Setelah berjalannya waktu, mereka akan sedikit memahami apa itu guru, dokter, polisi, pilot, dan petani. Namun, meski mengetahuinya mereka masih bingung bagaimana cara menggapainya. Iming-iming profesi itu juga tak lantas memberikan jalan kepada kita untuk mudah meraihnya. Sebab kita harus menghadapi sulitnya realita dalam pendidikan dan ditambah sulitnya untuk memasuki profesi yang dicita-citakan.Â
Selain itu, bertambahnya usia serta bertambahnya pemikiran diri maka akan mengubah keinginan cita-cita pada saat kecil. Itu terjadi karena masih banyak profesi yang lebih menguntungkan.
Alur pemikiran cita-cita dapat terjadi karena suatu tontonan atau pendengaran yang disugesti secara sengaja atau tidak sengaja. Setelah itu, anak akan mencernanya dan mencoba menanamnya meski dengan keterbatasan pengetahuan pada satu profesi pilihan. Dari alur tersebut, maka tidak heran kenapa cita-cita kerap berubah-ubah sesuai masanya.
Secara umum, cita-cita tidak memiliki peraturan khusus untuk memilihnya. Semua profesi dapat kita jadikan cita-cita sesuai keinginan dan tujuan hidup diri sendiri. Jika demikian, maka bolehkan kita bercita-cita menjadi seorang koruptor? pertanyaan ini jelas akan memancing pro kontra jika menjawab boleh. Sebelum menjawabnya maka saya akan mencoba mengorek fenomena para koruptor di Indonesia.
Kita tahu, Indonesia setiap tahunnya selalu memberikan panggung dan drama korupsi. Hampir disetiap pulau di Indonesia pasti memiliki tokoh yang menjadi tersangka koruptor. Sejarah mencatat, korupsi sudah bergulir sejak dulu. Mulai dari status pelanggaran hukum hingga menjadi budaya Indonesia. Ini dikarenakan oleh histori Indonesia dalam hal korupsi sendiri.Â
Tak tanggung-tanggung catatan yang pernah saya baca, Indonesia mengalami fenomena korupsi sejak pra dan pasca kemerdekan. Kemudian berlanjut pada era orde lama, orde baru, dan era reformasi hingga saat ini. Maka tidak salah jika status korupsi sebagai pelanggaran hukum berubah menjadi budaya.
Setiap masa dan era selalu memiliki catatan korupsi. Tentu dengan permasalahan yang sama selalu menyisakan hal-hal yang tidak memuaskan rakyat jelata. Meski media selalu mengekspose fenomena tersebut tetap saja korupsi menjadi lahan basah bagi para pelakunya. Anehnya, hukum tidak selalu menjerakan para pelaku. Hukuman yang diterima oleh koruptor hanya sebagai penumpukan berkas pengadilan saja. Sebab, koruptor masih saja bisa merasakan kenikmatan dari kekayaan yang didapat meski pernah mendekam dalam penjara.
Jika dibandingkan dengan profesi seperti guru, maka akan lebih berisiko. Kita bisa lihat dalam kejadian yang sering tampil dalam berita. Banyak guru dihukum karena pemukulan siswa. Bahkan kasus ini cenderung tidak merugikan negara secara finansial. Namun, ganjaran yang diterima oleh pelaku selalu memberatkan baik pelaku dan keluarga. Apalagi jika pelaku berstatus sebagai tulang punggung. Maka dampak yang dirasakan akan diicip oleh keluarganya.
Segi finansial guru masih jauh berbeda bak langit dan bumi. Sebab, guru dengan bayaran ratusan ribu dan paling mentok Rp. 7 juta perbulan jika PN (Pegawai Negeri), harus sirna jika terjerat hukum. Berbeda dengan koruptor yang selalu memiliki kemewahan luar biasa. Meski pihak yang berwenang menyita hasil korupsinya.Â
Ditambah masa hukuman selalu berbanding terbalik dengan kasus yang berprofesi sebagai guru. Guru PN yang terjerat hukum kemudian bebas dari masa tahanan akan secara otomatis kehilangan status PN. Berbeda dengan koruptor yang dapat menyelinap kembali pada kotak-kotak besi pemerintahan.
Perbandingan ini pula juga dapat dirasakan pada profesi dokter. Ketika salah satu dokter terjerat malpraktik maka secara otomatis jabatan dan wewenang sebagai dokter akan dicabut. Tentu dengan hukuman yang berat pula. Pasti akan berbanding terbalik dengan korupsi. Selanjutnya juga dirasakan pada profesi pilot.Â
Taruhan nyawa selalu membayangi seorang pilot. Namun, pada koruptor nyawa seakan-akan masih melekat dalam diri meski berstatus tersangka. Ini dikarenakan hukum yang diterapkan pada koruptor terbilang biasa dan masih bertoleransi. Apalagi profesi lainnya yang tergolong sama melanggar hukum, seperti pencuri lebih menyesensarakan ganjaran hukum yang diterima.
Korupsi sudah menjadi wajah utama bangsa Indonesia. Meski UU berkali-kali diubah dengan tujuan agar lebih mengontrol pergerakan korupsi sendiri tetap korupsi akan menjadi solusi sebagai lahan kenikmatan hidup diri. Banyaknya media yang memberitakan tentu juga akan memberikan dampak negatif dan positif terhadap penikmat terutama rakyat jelata. Rasa iri dengan keadaan ini akan terlintas pada rakyat. Itu semua merujuk pada hukuman yang diterima oleh koruptor.
Memang menakutkan kata "korupsi". Tetapi, ketika berbifikir secara risiko dalam setiap tindakan profesi maka saya sendiri akan lebih memilih sebagai koruptor. Itu semua tidak semata-mata muncul karena keinginan hidup yang lebih nyaman. Karena dalam kehidupan yang paling utama adalah kenikmatan sementara dalam mengarungi perjalanan hidup. Tentu untuk mengarungi perjalanan hidup dengan kenikmatan perlu adanya finansial yang kuat dan minim resiko, tapi dengan hasil luar biasa. Terlepas dari bahasa "barokah" pada ajaran agama.
Gembor-gembor dan slogan anti korupsi tetap saja itu hanya sebagai selingan belaka. Hasilnya, setiap tahun drama itu selalu tampil dalam balutan berita utama di media cetak dan daring. Yang paling aneh adalah guru di doktrin agar menciptakan dan memperkenalkan bahwa korupsi adalah kesalahan fatal dalam kehidupan. Terlepas dari peran guru, maka bagaimana tindakan hukum yang paling progesif untuk memberikan ganjaran setimpalnya. Seribu ucapan anti korupsi dan sejuta guru motivasi bahwa korupsi itu salah akan hilang jika masih ada publik figur yang terjerat kasus korupsi.Â
Layak saya katakan itu semua dagelan yang terselip dari balik topeng slogan itu sendiri. Sebab, cita-cita akan muncul dari apa yang dilihat, di dengarkan, dan dirasakan dengan bukti-bukti yang dirasa sebagai kebiasaan di mata sosial. Maka tidak akan terelahkan, suatu saat bibit-biti penerus bangsa akan mengutarakan bahwa "saya bercita-cita menjadi sebagai seorang koruptor". Dan jika terbukti maka, "Budi, apa cita-citamu sayang? Cita-citaku menjadi seorang koruptor bu guru".
Jika sudah begitu, siapa yang akan disalahkan? Gurukah? atau ajaran orang tua? atau bahkan ajaran agama sekalipun? Tentu bangsa sendiri tidak akan dapat menjawabnya secara tepat. Sebab, birokasi pemerintah Indonesia masih selalu menjadi alur keuangan utama dan membuka gerbang bahwa koruptor adalah cita-cita.
Penulis
Jember, 27 Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H