Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gila

9 April 2018   22:35 Diperbarui: 9 April 2018   22:43 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Mata masih terpejam, namun telinga tetap mendengar beberapa suara genting dari luar rumah dan beberapa kelontengan piring di dapur. Mungkin ini sudah pagi, tapi aku masih tak bisa membuka mata, sebab aku sudah menghabiskan waktu malam hingga menjelang subuh. Sesekali aku mengingat kejadian tadi malam, meski pandanganku tertutup namun hawa pagi menyadarkan otakku yang sengaja aku diamkan sejenak meskti tidak bisa. 

Kejadian tadi malam masih membekas jelas, ini juga kesempatan bagiku sebelum aku membuka mata yang bisa saja kegilaan menyerangku. Sebelum itu semua terjadi aku merenungkan persoalan tadi malam. Namun, renungan ini seperti tidak ada gunanya, setiap kali memikirkan persoalan yang aku lihat tadi malam, otakku selalu buntu untuk memberikan win solusi. Tapi rasa ingin memecahkan teka-teki ini masih terus bergelora dalam diri.

Ada suara pintu terbuka, mungkin dari arah pintu kamarku, mungkin juga istriku akan membangunkan diriku. Jika anak-anak, pasti tidak mungkin. Karena secara situasi yang aku rasakan meski dengan mata tertutup, waktu sudah menunjukkn sekitar pukul 07.00 lewat. Jadi kemungkinan besar yang membuka pintu kamar adalah istriku. Telapak kaki mulai mendekatiku, nafas lembut yang biasa ku dengar semakin mendekat. Tetapi, mataku masih saja menginginkan terpejam dengan otak yang berkeliaran mengira-ngira kajadian sekitar tubuhku. 

Tangannya mengagapai kepalaku, dengan kelembutan suaranya dia mengatakan "Ayah, sudah jam 07.15, waktunya ke kantor. Sudah seminggu Ayah tidak pernah menjenguk kantor yang kamu banggakan". Rasanya aku tidak ingin merespon, namun aku juga sadar bahwa satu minggu karyawan kantor, aku biarkan leha-leha. Mungkin juga mereka memanfaatkan waktu ini. Tapi aku juga tidak mau ke kantor, setiap kali datang kesana, pemandangan orang gila selalu tersuguhi ke indra mataku.

Aku menjawab dengan mata terpejam "Iya, Ma, bentar lagi, tadi malam, Ayah tidur subuh". Dalam pikirku, meski tidak berangkat ngantor, tidak akan ada yang memecatku, sebab itu adalah perusahaanku sendiri. Mendengar jawabanku, istri memutuskan keluar kamar. Dengan tidak nyaman, aku bergegas membuka mata, lalu membuka pintu kamar dan mencari dimana istri tercintaku. 

Aku tidak mau istriku marah karena persoalan membangunkan tidur. Sehingga aku lihat setiap celah rumah, ku dengar suara tertawa istriku. Aku pikir hanya melihat kartun pagi yang membuatnya terbawa hingga selepas itu. Rupanya, kegilaan itu mulai kambuh, tertawa memandang sorotan cahaya yang dipegangnya. Aku sudah mulai tidak nyaman dengan suguhan pagi ini. Sebelum mandi aku berniat sarapan. Ku buka penutup lauk berwarna merah, bukan lauk yang aku lihat, melainkan sebuah handphone, dengan cepat aku menutupnya dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap serta mencari makan di luar rumah.

***

Tepat jam menunjukkan pukul 08.00 aku sudah di atas mobil, mesin sudah hidup, meski belum sepenuhnya panas. Langsung saja, aku berangkat tanpa memikirkan keadaan mesin yang dingin. Perjalanan ini akan memakan waktu cukup lama karena sebelum ke kantor aku berencana mencari sarapan terlebih dahulu. Tidak lama berselang, ku belokkan roda mobil. Lagi-lagi aku di arahan oleh tukang parkir yang gila. Tetap saja, aku menuruti intruksinya dan cepat-cepat pergi meninggalkan si gila yang selalu menganggukan kepala dengan kabel putih yang bergelantungan dari telinganya. 

Kebetulan pagi ini aku menginginkan makanan khas desa. Karena sudah lama, aku tidak pergi ke kampungku di desa. Hampir 10 tahun meninggalkan kedua orang tuaku demi menghindari gila yang menyebar ke desaku. Hijrahku ini juga terbilang sukses dengan keadaan finansialku sangat tercukupi tetapi tujuan menghindari fenomena gila terus menghantui. Malah, semakin parah pada orang-orang kota.

Makanan sudah tersedia di atas meja. Aku memesan sayur kelor (moringa) dengan lauk bergedel kentang, ikan asin, dan nasi glepung jagung, serta sambal terasi. Ini makanan khas desaku, biasanya di makan saat panen tiba ketika Emak mengirim makanan ke sawah. Aku menikmati sambil memperhatikan pemilik warung yang duduk di kasir sambil tertawa, menganggukkan kepala, hingga bicara sendiri. Kegilaan ini sudah sangat meluas, sampai warung makananpun juga dihuni dengan orang-orang gila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun