Mohon tunggu...
Karunia Nurma
Karunia Nurma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nyala Obor

31 Agustus 2017   19:13 Diperbarui: 1 September 2017   08:50 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi-pagi sekali orang-orang sudah ramai, meramaikan jalan setapak. Berjalan berderetan di pematang sawah yang membentang berhektar-hektar. Ada yang berhenti di satu sawah dan ada yang hanya melalui jalan panjang ini untuk sampai ke Alas Wetan.

Alas Wetan entah berasal dari warisan generasi nenek moyang abad berapa. Setiap hektarnya telah diberi titi mangsanya masing-masing. Alas yang paling dekat dengan Kali Daun adalah alas milik Ki Satyo. Entah dipatok pakai apa, alas itu berdampingan dengan alas milik Mbah Surip. Begitu, berderetan semua, dan telah dimiliki penduduk setempat Desa Larangan dan sekitarnya.

Kadang alas satu dengan yang lainnya seperti tak bergaris, tapi orang-orang sudah tahu sampai batas mana kepemilikan lahannya. Terkadang juga batas itu jelas jika ada aliran air kali atau pemakaman dan jalur setapak.

Alas bukanlah seperti petakan sawah-sawah yang jelas batasnya. Tapi penduduk desa sangat jeli,  tahu batas lahannya masing-masing. Bahkan meski yang empunya pembuat batas itu sudah meninggal dan kemudian diurus anak cucunya.

Setiap hari alas memang masih sepi, tapi setiap alas-alas itu selalu berpenghuni. Satu-dua orang sudah pasti menengok lahannya. Entah sekadar menengok atau pun panen mencari bahan makanan untuk dijual atau dimasak sendiri. Misalnya, memetik kelapa, gadung, pisang, atau kapolaga. Semua jenis tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, hingga rempah-rempah bisa tumbuh subur di sana.

Dian, setiap hari Minggu selalu ikut Nini ke alas. Alas Nini lumayan jauh dari perdesaan. Jadi, Dian dan Nini harus berangkat pagi-pagi buta agar tidak kepanasan di jalan. Nini tak pernah memakai sandal jepit, tubuhnya kecil tapi masih sangat kuat. Dari banyaknya Tetua di Desa Larangan, Nini termasuk yang awet muda dari yang lain. Memakai tudung hijau, kain jarit ditapihnya, dan kebaya kuning. Nini jalan di belakang. Dian pun sudah tahu jalan alas keluarganya itu, mungkin salah satu warisan Nini untuknya nanti, pikirnya.

Mereka pun berjalan menyusuri persawahan, menyebrangi Kali Daun, dan naik turun bukit. Tak perlu olahraga, kaki Dian tak akan pegal-pegal meski berjalan jauh. Setelah dua jam, akhirnya Dian dan Nini sampai. Alasnya dekat dengan Kali Ujung yang masih jernih dan segar. Alirannya mengalir dari Curug Telu dari puncak bukit.

Sementara Nini memasuki alas mencari apa-apa yang bisa dipetiknya, Dian berhamburan lari ke kali Ujung. Bermain air dan berdendang. Usianya menginjak 13 tahun. Dia sudah remaja, wajahnya putih langsat dan ayu. Terkadang ia teriak iseng di tengah-tengah keheningan. Beradu dengan kicau burung, tapi dia senang, karena setiap teriakannya pasti disambut teriakan dari alas lain.

"Haiiiii....," serunya. Dia teriak sambil berdiri di atas batu besar dipinggir kali menghadap dinding tanah. "Haloooo..." terdengar sahutan entah dari alas sebelah mana. Suara itu suara laki-laki. "Hai lagi apa? Di mana?" Tanya Dian iseng. Dia selalu mencari teman karena merasa kesepian di tengah hutan. Sesekali Nini ngomel karena berisik."Diaan," tegurnya lembut, tapi sorot matanya dibalik dedaunan selalu tajam mendelik. Dian nyengir saja.

Dari kejauhan terdengar suara kaki berlari-lari. Lama-lama suara hentakannya pelan dan ternyata suara itu semakin dekat.

"Kau sedang apa berdiri di atas batu besar itu, itu batu suci." katanya tiba-tiba. "Ah," hampir saja Dian terpeleset kaget mendengarnya. "Aku sudah biasa menginjaknya tiap kali ke sini, ini singgasana besarku," jawab Dian. "Awas kamu!." usir dia. Spontan Dian bergeser. Lalu disiraminya batu itu dengan air.

"Batu ini suci, aku sering melihat Ibuku berdoa dan mandi di sini setiap kali bersedih, aku pun demikian," cerita anak laki-laki itu, yang sepertinya seumuran dengan Dian atau lebih tua beberapa angka saja.

"Kenapa berdoa pada batu, berdoa kan bolehnya dengan Allah, Tuhan semesta alam," cetus Dian yang menganggap anak itu berdoa pada Batu. Tiba-tiba dari balik daun-daun,Nini datang mencuci Daun So (Daun Melinjo muda).

"Dian, kita hidup ini berdampingan dengan berbagai orang, kita beragam suku, agama, dan ras," tuturnya.

"Siapa namamu Nak?" Tanya Nini pada anak laki-laki itu.

"Nama saya Damar Ni," jawabnya santun.

"Oh, maafkan cucu Nini ya, namanya Dian. Dian ayo bersalaman."

 "Dian," Dian mengulurkan tangannya yang disambut hangat dengan senyum oleh Damar.

"Kamu pasti anak dari Desa Tunggang di balik alas ini ya?" lanjut Nini sambil terus mencuci daun So.

"Iya Ni, saya sering ke sini dengan Ibu untuk berdoa agar lebih tenang," ceritanya.

"Mana ibumu,Nak?" Tanya Nini lagi. Sementara Dian meraih daun-daun So dan ikut mencucinya.

"Ibu sedang sakit Ni, jadi saya ke sini sendirian, saya ingin berdoa pada Dewa di sini untuk kesembuhan Ibu, saya juga mencari daun Jarak, di alas saya, ini," sambil menunjukkan daun jarak petikkannya.

"Oh, Ibu sakit gigi?" Tanya Nini menebak.

"Iya, Ni, sudah dua hari tidak mau makan. Saya kasihan," Damar menjelaskan dengan sangat santun. Tubuhnya kurus kecil tapi sudah tinggi, suaranya sudah mulai serak.

"Umurmu berapa? Tanya Nini.

"Umur saya 15 tahun Ni, kelas tiga SMP.

"Wah aku kelas satu SMP," Dian tiba-tiba nimbrung yang sedari tadi diam mendengarkan.

"Pantas saja,masih kecil," ledeknya Damar.

"Ih aku sudah besar tahu!" Jawab Dian sewot.

"Sudah-sudah, hari sudah mulai gelap, kamu tidak ingin pulang Damar?" Nini mengingatkan sembari melihat salatan yang semakin sepi dan gelap. Orang-orang di desa sangat hafal perhitungan waktu. "Tampaknya sudah Ashar, kita pun harus pulang Dian, biar sampai rumah tidak sandekala," lanjut Nini.

Mereka bertiga pun beranjak dari Kali, jalan bersama hingga menemukan persimpangan jalur antardesa. Damar berpisah dengan Nini dan Dian.

"Terimakasih Ni, dan Dian salam kenal." kata Damar pamit. Baru beberapa langkah maju, Damar putar balik, dan memanggil.

"Diaaan, malam 17 Agustus, aku mau mengajakmu bermalam di kali tadi, bawa obor ya, Nini juga," teriaknya.

Kaget, Dian bingung.

"Iya Nak, nanti Nini datang sama Dian, hati-hati pulangnya," sahut Nini.

Selama perjalanan pulang, Nini bertutur banyak hal. Di balik alas ini, ada Desa Tunggang, penduduknya mayoritas Buddha, mereka mengagungkan Dewa. Dan kita, sebagai manusia yang baik harus bisa menghargai perbedaan itu.

"Tidak boleh mencela satu sama lain," kata Nini.

Dian jadi ingat pelajaran IPS di sekolah, tapi baru kali ini Dian bertemu dengan orang beda agama. "Dian baru paham, Ni," jelas Dian sambil mengingat-ingat isi LKS IPS, buku wajib di sekolahnya.

Malam tujuh belasan, di Desa Larangan mengadakan panggung gembira. Tapi Nini dan Dian pamit pada Bapak dan Ibu untuk bermalam di alas. Ada gubuk di dekat alas mereka, jaraknya hanya terpaut satu alas dari alas Nini. Mereka bertemu dengan Damar yang sudah entah sejak kapan terlihat berdoa di depan batu besar itu. Mendengar pijakan kaki dan desas-desus, Damar segera mengakhiri semedinya. Dia menyambut Dian dan Nini. "Wah, senang sekali kalian datang," kata Damar antusias.

Mereka pun berjalan melewati satu alas dari tempat itu, alas milik Mbah Parna, menuju gubug. Tepat maghrib, mereka sampai. Damar bergegas menyalakan Obor dan di tempatkan di sisi-sisi gubug, dan satu di letakkan di tengah-tengah. Tak ada yang berpikiran untuk ke alas malam Agustusan begini, jadi alas begitu sepi. Tapi mereka memang sudah akrab dengan alas ini, seperti rumah kedua.

"Dian, kamu tahu tidak, kenapa aku suruh kamu bawa obor?" Tanya Damar mengajak berbincang.

Sementara Nini menyiapkan makan malam kami, membakar ikan di depan gubug.

"Ya tahu lah, kan buat penerang. Emangnya mau gelap-gelapan di tengah hutan," jawab Dian jutek.

"Iya benar sekali, seperti kita,"katanya

"Hah?" kaget Dian.

"Kita itu Dian dan Damar, artinya sama dengan Obor, Penerang," tutur Damar dengan sangat jenakanya.

"Memangnya Damar juga artinya penerang?" Tanya Dian antusias.

"Iya, dan tepat malam tujuh belas Agustus ini, aku ingin mengajakmu merayakan ulang tahun Indonesia."

"Merayakan ulang tahun dengan sepi, di tengah hutan? Itu bukan merayakan namanya. Merayakan itu... pesta, panggung, ramai, dan senang-senang," cibir Dian.

"Adakalanya, peringatan hari ulang tahun itu tidak mesti dirayakan dengan kesenangan belaka, Nak," timbrung Nini yang masuk membawa ikan bakar.

"Wah,ikannya sudah matang,pasti enak," sambut Dian ceria.

Sembari menikmati hidangan, Nini melanjutkan tuturnya, "Damar, kamu sangat cerdas sekali. terimakasih sudah mengajak kami ke sini, ide bagus Nak," ungkap Nini sambil mengelus kepala Damar.

"Kita sebagai generasi penerus bangsa, harus bisa jadi penerang untuk bangsa ini, seperti Damar, Dian, dan Obor, ya Ni," kata Damar antusias.

"Betul sekali Nak," jawab Nini.

"Jadi sekarang kita berdoa untuk negeri ini, supaya Indonesia menjadi Negara yang maju dan makmur," ajak Damar.

"Dan bisa menghargai perbedaan. Namanya Bhineka Tunggal Ika, kalau nggak salah Ni," tambah Dian.

"Berbeda-beda tetapi tetap satu Jua, hahahaha" lanjut ketiganya, serempak dan spontan.

Malam berjalan sangat syahdu, Damar dan Dian tidur di dekat Nini, memeluk Nini untuk saling menghangatkan hingga pagi.

 

"Kamilah nyala Obor,

kami penerang Negeri,

kami generasi Bangsa yang Berbudi pekerti.

17 Agustus 2017.

Damar, Dian, dan Nini."

 Sebuah tulisan ditorehkan Damar di atas batu menggunakan Tipex kemudian menggambar bendera yang dicat merah dan putih disamping tulisan itu. "Dirgahayu Indonesiaku!"***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun