Kaget, Dian bingung.
"Iya Nak, nanti Nini datang sama Dian, hati-hati pulangnya," sahut Nini.
Selama perjalanan pulang, Nini bertutur banyak hal. Di balik alas ini, ada Desa Tunggang, penduduknya mayoritas Buddha, mereka mengagungkan Dewa. Dan kita, sebagai manusia yang baik harus bisa menghargai perbedaan itu.
"Tidak boleh mencela satu sama lain," kata Nini.
Dian jadi ingat pelajaran IPS di sekolah, tapi baru kali ini Dian bertemu dengan orang beda agama. "Dian baru paham, Ni," jelas Dian sambil mengingat-ingat isi LKS IPS, buku wajib di sekolahnya.
Malam tujuh belasan, di Desa Larangan mengadakan panggung gembira. Tapi Nini dan Dian pamit pada Bapak dan Ibu untuk bermalam di alas. Ada gubuk di dekat alas mereka, jaraknya hanya terpaut satu alas dari alas Nini. Mereka bertemu dengan Damar yang sudah entah sejak kapan terlihat berdoa di depan batu besar itu. Mendengar pijakan kaki dan desas-desus, Damar segera mengakhiri semedinya. Dia menyambut Dian dan Nini. "Wah, senang sekali kalian datang," kata Damar antusias.
Mereka pun berjalan melewati satu alas dari tempat itu, alas milik Mbah Parna, menuju gubug. Tepat maghrib, mereka sampai. Damar bergegas menyalakan Obor dan di tempatkan di sisi-sisi gubug, dan satu di letakkan di tengah-tengah. Tak ada yang berpikiran untuk ke alas malam Agustusan begini, jadi alas begitu sepi. Tapi mereka memang sudah akrab dengan alas ini, seperti rumah kedua.
"Dian, kamu tahu tidak, kenapa aku suruh kamu bawa obor?" Tanya Damar mengajak berbincang.
Sementara Nini menyiapkan makan malam kami, membakar ikan di depan gubug.
"Ya tahu lah, kan buat penerang. Emangnya mau gelap-gelapan di tengah hutan," jawab Dian jutek.
"Iya benar sekali, seperti kita,"katanya