Aku tidak ingin kau dengarÂ
dengan telingamu yang tuli dilanda emosi
Aku tidak pula ingin mendengar
ocehanmu saat sensi
Jika kamu marah
Pikiranmu gundah
dan Hatimu resah
Setidaknya tak usah kau bentak-bentak
Hidup kita ini susah
Jangan kau tambah dengan memikirkan yang sudah
Dari emosi, tak akan pula dapati solusi
Jika tak bisa diam
Jangan pula geram dengan membanting pintu
Pergilah ke air dan biarkan marahmu mengalir
Disembuh dari wudhu, pesan Rasul padamu
Jangan kau dekati aku dengan muka masam lesu begitu
Pergilah ke kamar, sungkurkan wajahmu ke bantal
Aku akan matikan lampu biar dingin hatimu tenang
Aku tidur di depan televisi
Di sofa yang sudah tak lagi berisi
Sejak lama tak diganti
Sofa sudah tipis menjadi saksi
Waktu antara kita bermesra maupun saling murkaÂ
Seperti saat ini
Jika sofa saja bisa diam
menjadi pendengar tanpa telinga
menjadi saksi tanpa mata
ia tak akan bocorkan rahasia
Kisah kita hingga tua
Kehidupan ini laksana rimba
yang rindang namun juga penuh bala
Jika tak berdua, dengan siapa aku lewatiÂ
Gelap dan sepinya belantara
Tentang air curah yang curamÂ
atau pohon besar yang tumbang
Dihinggapi laba-laba dan bunga-bunga di antara
Daun-daun jatuh, ranting-ranting runtuh
Tanah basah dan hujan mengguyur
Tentu aku tak mau sendiri
Tak juga meminta banyak, cukup satu, kau ada
Hidup ini sudah pasti usainya
Tentang kita yang jodoh hingga tutup usia
Sebuah doa jadi wirid bersama
sepanjang jalan pernikahan
Tangerang, Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H