Malam itu, Angga duduk sendirian di teras rumahnya. Lampu halaman yang remang-remang membuat bayangan pohon mangga melambai samar di dinding. Hawa dingin menusuk kulitnya, tapi hatinya jauh lebih kacau daripada sekadar dingin yang ia rasakan. Ia menatap kosong ke arah langit malam, mencari jawaban yang entah di mana.
Ia mencoba mengingat masa-masa dulu, saat hidupnya terasa begitu penuh dengan cahaya iman. Dulu, ia adalah ketua Rohis di SMA, seseorang yang dihormati karena kesungguhannya mengajak teman-teman mendekat kepada Allah. Setelah lulus, ia memilih untuk melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren terkenal. Di sana, ia menghafal Al-Qur'an, mempelajari kitab-kitab, dan menjadi panutan bagi banyak santri lainnya. Saat itu, ia merasa hidupnya begitu jelas tujuannya.
Namun, segalanya mulai berubah ketika ia masuk kuliah. Dunia baru yang penuh kebebasan itu menjadi awal dari pergulatan batinnya. Tugas-tugas kuliah yang menumpuk, teman-teman baru dengan pandangan hidup yang beragam, dan lingkungan yang jauh dari nilai-nilai pondok membuat Angga mulai melonggarkan kebiasaan ibadahnya.
Awalnya, ia hanya absen beberapa kali dari shalat berjamaah. Kemudian, ia berhenti membaca Al-Qur'an dengan alasan sibuk. Hingga tanpa sadar, ia nyaris meninggalkan shalat sama sekali. Ia sibuk dengan organisasi, tugas, dan pergaulan yang lebih banyak diisi dengan diskusi-diskusi duniawi.
Rasa bersalah sering menghantui, tapi ia merasa sudah terlalu jauh untuk kembali. Hingga suatu malam, sebuah pesan dari ibunya membangkitkan kenangan lama.
"Nak, ibu rindu dengar kamu ngaji. Kapan terakhir kali kamu buka Al-Qur'an?"
Pesan sederhana itu seperti cambuk bagi Angga. Ia terdiam lama di teras rumah, memikirkan pertanyaan itu. Kapan terakhir kali ia membaca Al-Qur'an? Bahkan ia sendiri tak bisa mengingatnya. Rasanya sudah bertahun-tahun berlalu.
“Kenapa aku begini?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Malam itu, Angga memutuskan untuk mencari jawaban. Ia membuka kembali buku-buku agama yang dulu selalu menemani hari-harinya. Salah satu kutipan yang ia baca dari seorang ulama besar berbunyi:
"Janganlah pernah malu untuk kembali kepada Tuhan, sebab Dia tidak pernah malu menerima hamba-Nya yang bertobat."
Kata-kata itu menampar hatinya. Selama ini, ia merasa terlalu kotor untuk kembali, terlalu jauh untuk dimaafkan. Namun, mungkin ia salah. Ia mulai berpikir, apakah ia masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?
Di tengah kegelisahannya, Angga memberanikan diri untuk bangun di sepertiga malam. Ia berwudhu dengan gemetar, lalu mendirikan shalat tahajud meski dengan bacaan yang terseok-seok. Saat sujud, tangisnya pecah. Ia memohon ampunan atas segala kelalaiannya, atas semua waktu yang ia sia-siakan.
Hari-hari berikutnya tidak mudah. Awalnya, ia sering merasa malas untuk shalat atau membaca Al-Qur'an. Namun, ia berusaha melawan rasa malas itu. Ia mulai meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur'an, meski hanya satu halaman setiap hari. Ia juga mencoba menjauh dari pergaulan yang membawanya pada kebiasaan buruk.
Suatu sore, di masjid kampus yang sudah lama tak ia datangi, Angga bertemu dengan teman lamanya dari pondok. Temannya tersenyum lebar dan berkata, “Aku senang lihat kamu di sini, Ga. Aku selalu yakin, seburuk apa pun kita, Allah pasti kasih jalan untuk balik.”
Kata-kata itu meneguhkan hatinya. Angga sadar, perjalanan ini tidak akan mudah. Mungkin ia akan jatuh lagi, mungkin ia akan merasa putus asa lagi. Tapi selama ia terus berusaha, ia yakin Allah akan selalu membukakan pintu bagi siapa pun yang ingin kembali.
Malam itu, di teras rumahnya, Angga kembali menatap langit. Ia merasa jauh lebih ringan. Mungkin ia belum sepenuhnya menjadi seperti dirinya yang dulu, tapi setidaknya ia telah melangkah. Langkah kecil yang ia yakini akan membawanya mendekat kembali kepada Sang Pencipta.
;)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H