Gadget baru setiap hari muncul dari seluruh dunia. Satu hal yang tidak disadari semua orang bahwa sebenarnya gadget hanyalah sebuah simbol status seseorang. Itu artinya kita terhasut oleh kemilau objek baru yang muncul dari tebaran iklan-iklan di berbagai media. Beberapa waktu lalu media sosial media khususnya yang membahas tentang teknologi, dibanjiri oleh topik tentang kedatangan produk-produk anyar dari smartphone.
Sudah banyak pula media, blogger, YouTuber yang mempromosikan kecanggihan gadget-gadget tersebut, mulai dari artikel sampai ulasannya berupa video. Saya tak bisa memungkiri, betapa menyenangkan menyaksikan aksi para YouTuber atau jurnalis teknologi yang sangat lihai menyajikan ulasan mereka mengenai suatu perangkat teknologi untuk audiensnya.
Gadget anyar memang selalu manis. Tapi di balik kepuasan yang kita rasakan saat mampu membeli gadget baru, ada dampak terhadap beberapa hal berikut ini:
1. Lingkungan
Menurut pandangan saya sebagai konsumen, apakah ada orang yang mau membeli produk refurbished? Bahkan vendor kenamaan sekelas Apple yang menjual rekondisi iPhone 4 atau iPhone 5s, banyak yang sanksi dengan produk maupun garansinya.
Ketika rekondisi bukan solusi, jadi ke manakah semua sampah elektronik?
Menurut data dari UN Environment Programme (UNEP), sampah elektronik dunia mencapai 41,8 juta ton pada 2014, setara dengan 1,15 juta truk berat yang ditumpuk bersama-sama. Volume sampah meningkat drastis dari 2013 yang hanya sekira 39,8 juta ton. Diperkirakan mencapai 50 juta ton pada 2017.
Negara di Afrika dan Asia adalah target utama ekspor sampah elektronik, baik untuk tempat pembuangan akhir atau sebagai bahan baku perangkat daur ulang. Di Afrika ada negara Ghana, Nigeria, Pantai Gading, Kongo, sedangkan di Asia ada China, Hong Kong, Pakistan, India, Bangladesh, dan Vietnam. Ini pun tidak menutup kemungkinan sampah elektronik tersebut masuk ke Indonesia, pasalnya di negara kita terdapat ratusan pelabuhan tikus.
2. Buruh dan Pekerja di Bawah Umur
Masalah ada pada pihak yang memasok bahan baku untuk pabrik. Masih ingat Rianto? Seorang bocah 12 tahun yang ditemukan oleh tim wartawan dari program dokumenter BBC Panorama pada tahun 2014 silam. Rianto bekerja sebagai salah satu dari sejumlah pekerja di bawah umur yang ikut menggali bijih timah di lokasi pertambangan ilegal di di wilayah Kepulauan Bangka, Indonesia. Material logam itu diketahui untuk bahan baku pembuatan iPhone di China.
Kasus lainnya, dalam memasok bahan baku untuk pembuatan baterai gadget dan smartphone, dikabarkan dari Kongo, negara Afrika bagian tengah, mempekerjakan anak di bawah umur sebagai penambang logam Kobalt. Anak-anak tersebut dikaryakan demi mendapatkan tenaga kerja dengan harga murah, ketika faktor kemiskinan menjerat mereka.
3. Tabungan (Berhutang?)
Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2016, jumlah kredit yang disalurkan perbankan kepada industri menunjukkan pertumbuhan 8,71% dibanding Kuartal I 2015, yakni dari Rp 3.679,87 triliun menjadi Rp 4.000,44 triliun.
Pertumbuhan tersebut cukup fluktuatif, dari Kuartal I 2014 ke Kuartal I 2015, pertumbuhan kredit perbankan mencapai 11,27%. Jadi pertumbuhan kredit tahun lalu masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 ini.
Sekarang mari kita menerjemahkan data statistik tersebut ke dalam kondisi riil kehidupan keseharian. Ketika seseorang karena satu dan lain hal, tidak berkesempatan memiliki kartu kredit atau pinjaman konvensional, maka kredit tanpa agunan (KTA) dan kredit multiguna bisa jadi solusi.
Dengan adanya kemudahan pinjaman tersebut, banyak orang yang jatuh ke dalam perangkap ‘tenor’ selama setahun atau lebih. Padahal usia gadget yang mereka pakai juga hanya setahun atau dua tahunan saja. Jika sudah begini, jadi teringat film Warkop DKI tahun 1982 berjudul “Setan Kredit”. Yup, kredit barang seolah menjadi arwah penasaran yang menghantui kamu sebulan sekali, hehehe… Ironis memang.
Benarkah Kita Butuh Gadget Baru?
Ada beberapa faktor yang memaksa kita harus membeli gadget baru, antara lain: rusak akibat kesalahan pengguna, kehilangan/tidak sengaja menjatuhkan di suatu tempat, atau jadi korban pencurian. Namun ada dua faktor lain yang mana pengaruhnya lebih besar, karena terkait dengan gaya hidup dan konsumerisme, yaitu:
1. Dipaksa Upgrade
Ya, demi kelancaran komunikasi dengan kolega, mau tak mau, harus upgrade. Tanpa sadar, konsumen dipaksa upgrade perangkat alias membeli gadget baru keluaran suatu vendor.
2. Pengaruh Lingkungan Sosial
Sebagai contoh, seorang anak merengek-rengek ke orangtuanya, meminta smartphone baru, tablet, atau laptop gaming anyar, PSP atau Apple watch. Yang pasti anak-anak tidak akan melakukannya jika bukan karena melihat gaya hidup peer group mereka di sekolah.
Teknologi yang Melahirkan Lapangan Kerja Baru
Pekerjaan baru itu antara lain: Youtube partner (YouTuber), blogger, admin sosial media, IG influencer, online seller (bisnis UKM), dan terutama adalah profesi di bidang IT seperti programmer yang semakin banyak dicari, serta masih banyak lagi bidang pekerjaan lain di dunia digital.
Saatnya Introspeksi Diri
Ada hal negatif dan juga positif dari lahirnya jenis perangkat baru dan teknologi yang mengiringinya. Namun ketika menginginkan gadget baru sebelum gadget yang lama usang, saatnya introspeksi diri, karena mungkin ada motif gaya hidup yang mempengaruhi keinginan itu.
Pastikan kamu tidak mudah ‘ngiler’ dengan ulasan tokcer dari penulis tekno, tech blogger atau vlogger di tech channel YouTube. Siapa tahu kan, dia dibayar buat ngebuzzer produk itu, hehehe (no offense).
Perhatikan kembali tiga dampak negatif yang telah saya sebutkan di atas. Terkadang kita lupa, bahwa di sekitar masih banyak orang yang tidak seberuntung kita, yang bisa menikmati teknologi dengan mudah.
“Ngobrol soal mimpi, soal teknologi. Nggak akan ada habisnya, ya memang begitu…” (*sambil mendendangkan lagu Bondan Prakoso – Take It Easy).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H