"Tanpa tanda jasa."Pastinya banyak yang tahu kutipan lirik terakhir lagu tersebut. Ya, lagu Hymne Guru yang diciptakan oleh Bapak Sartono. Beliau seorang guru musik dari Madiun.Â
Lagu ini mulai dipopulerkan era 80 an. Hymne Guru menjadi sangat terkenal bagi para pelajar pada saat itu. Rasanya  tidak ada siswa yang tidak hapal lagu tersebut.Â
Bagi anak-anak milenial, apakah mereka hapal dengan lagu tersebut? Entahlah, saya belum pernah mencoba survey dan saya pun tidak akan membahas soal tersebut.
Disini, pada hari spesial guru hari ini, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih. Begitu banyak guru-guru hebat yang saya temui. Mulai dari ibu kandung yang merupakan guru pertama dalam kehidupan saya.Â
Beliau juga seorang guru SD negeri era 60 an dan pensiun di tahun 2000. Kemudian saya mengenal guru yang lain, yaitu dua orang guru mengaji. Keduanya sudah berpulang sejak lama. Setelahnya, ada guru-guru di sekolah formal yang mendidik saya dari jenjang SD hingga perguruan tinggi.Â
Selain itu, ada juga guru-guru non formal, yaitu guru les  yang sudah membantu saya hingga dapat menapaki dunia kerja. Suami dan anak-anak juga merupakan guru bagi  saya. Mereka telah mengajarkan kepada saya bagaimana manis pahitnya rumah tangga itu sebenarnya.
Terakhir adalah pengalaman. Ya, pengalaman sepanjang usia saya hingga hari ini yang telah menjadi guru kehidupan dalam setiap langkah yang saya ambil.
berbicara mengenai guru, banyak  hal-hal mengesankan yang saya temui dan dengar. Kisah ibu saya, misalnya. Beliau sering mendapat amanah menjadi wali kelas 1, dimana seluruh siswa-siswinya pada tahun 60 an hingga 70 an belum ada yang bisa baca tulis dan  belum mampu mengurus diri sendiri. Walhasil, selain mengajar baca tulis berhitung,Â
Ibu juga harus sabar dan bersedia membantu saat anak didiknya-maaf, ada yang BAB atau BAK di kelas. Suatu waktu Ibu diminta menjadi wali kelas 3.Â
Ada seorang siswanya yang belum bisa membaca. Apa yang dilakukan Ibu saya? Beliau tak pernah bosan mengajarkan baca untuk anak tersebut bahkan saat di luar jam belajar. Dalam setiap salat malamnya, Ibu selalu memohon agar dimudahkan baginya untuk mengajarkan  anak tersebut. Dan ... Ibu berhasil. Akhir tahun ajaran, anak itu sudah mampu membaca dengan baik.Â
Ada pula kisah saya sendiri saat masih kelas 1 SD. Waktu itu saya belum bisa membaca dengan lancar. Guru saya yang bernama Pak Mimin meminta anak-anaknya maju satu persatu untuk membaca tulisan yang ada di blackboard.Â
Saya perhatikan, setiap teman yang dipanggil hanya mengetuk papan tulis yang berwarna hitam tersebut dengan menggunakan penggaris kayu panjang. Ketika nama saya dipanggil, dengan percaya diri saya maju ke depan kelas dan langsung mengambil penggaris kayu.Â
Setelah itu, saya ketuk-ketuk papan tulis dengan mulut yang tetap terkatup. Hahaha ... kisah itu begitu lekat diingatan. Â Sabar sekali guru saya itu. Beliau tak menegur apalagi memarahi. Saya hanya diminta duduk kembali. Barangkali dalam hati beliau terkekeh-kekeh juga ya, melihat gaya saya.
Sebuah cerita tentang seorang guru swasta menyentuh hati saya. Beliau seorang perempuan muda yang dipercaya menjadi wali kelas. Sayangnya, saat itu tahun ajaran baru saja dimulai, tetapi beliau sudah tak mampu menemani anak-anak didiknya karena hamil di trimester pertama.Â
Kondisi kesehatannya tidak bisa diajak kompromi, sehingga pihak sekolah mengganti sementara dengan guru yang lain. Apa yang terjadi setelahnya? Beliau mendapat cacian dari wali murid.Â
Hujatan serta ucapan yang tak pantas keluar dari mulut para orang tua yang mengaku terdidik lengkap dengan embel-embel the have nya. Alasan kehamilan dianggap dibuat-buat.Â
Mereka dengan bangga mengatakan bahwa mereka juga pernah hamil beberapa kali dan tetap bekerja seperti biasa. Hellooo ... apa kabarnya saya yang juga seperti ibu guru tersebut saat hamil. Siapa yang ingin sakit dan lemah saat diberi amanah? Tetapi, bukankah setiap perempuan memiliki kekuatan yang berbeda-beda? Â Pada akhirnya, ibu guru itu pun tak melanjutkan lagi pekerjaannya di sekolah tersebut.
Kisah guru vs wali murid atau dengan muridnya memang tak ada habisnya. Adakalanya guru berada dalam posisi lemah, tetapi tak sedikit juga posisi orang tua atau si anak yang merasa terjepit. Â
Pernah ada seorang siswa SD kelas 1 yang belum bisa mengerjakan tugas dengan cepat dan tidak  bisa menulis dengan bagus dan rapi. Sang guru berulang-ulang menegur anak dan orang tuanya.  Terciptalah label "lelet (lambat)" pada diri si anak yang dicap gurunya. Tersinggungkah orang tuanya?Â
Oh ... jelas saja! Label lelet itu diucapkan di depan orang tuanya. Hingga akhirnya sang orang tua mencari sekolah lain dan meminta kepastian dari pihak sekolah baru bahwa tak ada bullying, baik yang dilakukan guru maupun anak didik.Â
Saat meninggalkan sekolah lama, sang orang tua berkata kepada guru tersebut, "Lambat pada anak kelas 1 SD adalah sebuah proses, sementara tulisan bagus dan rapi tidak menjamin anak akan menjadi orang hebat. Bukankah tulisan dokter di setiap resepnya tidak mudah dibaca?"
Satu lagi curhatan guru swasta yang pernah saya dengar. Banyak orang tua murid yang suka menunda pembayaran uang SPP bulanan yang harus dibayar. Â
Padahal gaji para guru tentunya berasal dari pos itu juga, ya. Wah, kalau soal seperti ini saya tak berani komentar he ... he .... Pasti ada satu alasan mengapa mereka menunda.Â
Semoga saja bukan karena sengaja menunda. Untuk hal ini saya percaya, jika kita memudahkan urusan sekolah anak-anak, maka akan berdampak baik pula bagi anak-anak.Â
Terakhir, saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada guru-guru anak saya. Dimana pun bapak dan ibu guru anak-anak  saya berada, semoga Tuhan selalu memberi kelapangan rejeki dan kesehatan. Menjadi guru yang digugu dan ditiru. Tegas dan sabar menjalankan amanah. Aamiin.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H